Melihat Sejarah dan Sentimen Anti Yahudi di Eropa

Pada 1920 dan awal 1930-an, Jerman masih berjuang melawan krisis ekonomi hebat. Jerman yang saat itu dikuasai Partai Nazi dan Hitler lantas memandang bahwa mengusir bahkan membinasakan orang-orang Yahudi merupakan solusi paling efektif.

Jan 21, 2023 - 02:50
Melihat Sejarah dan Sentimen Anti Yahudi di Eropa

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Bangsa Yahudi selama ini kerap dipandang negatif. Kaum yang tersebar di hampir seluruh dunia itu pernah menerima kebencian, terutama oleh bangsa Eropa, khususnya Jerman.

Kala Adolf Hitler memerintah Jerman, negara itu menjadi yang terparah dalam menunjukkan sikap antisemitisme, istilah bagi mereka yang membenci Yahudi.

Hitler menganggap warga Yahudi sebagai penyebab kekalahan Jerman saat Perang Dunia I. Hitler juga menuding Yahudi sebagai penyebab atas pergolakan sosial dan ekonomi negaranya usai PD I.

Pada 1920 dan awal 1930-an, Jerman masih berjuang melawan krisis ekonomi hebat. Jerman yang saat itu dikuasai Partai Nazi dan Hitler lantas memandang bahwa mengusir bahkan membinasakan orang-orang Yahudi merupakan solusi paling efektif.

Pada sekitar 1939 dan 1945, Nazi pun membantai habis-habisan orang Yahudi di negara itu. Peristiwa yang terjadi selama Perang Dunia II itu dinamakan Holocaust dan menewaskan sekitar enam juta orang Yahudi.

Perang Dunia II

Pada 1939, rezim Nazi Jerman pimpinan Hitler memperluas wilayahnya ke sejumlah negara Eropa. Nazi mulanya menyerang Polandia yang banyak dihuni warga Yahudi. Namun selang dua tahun kemudian, Nazi Jerman berhasil menduduki sebagian besar wilayah Eropa.

Dalam perang ini, Nazi menyasar berbagai pihak yang diduga sebagai musuh domestik dalam masyarakat Jerman. Orang-orang Yahudi diklasifikasikan sebagai "musuh" prioritas.

Bersama dengan sekutunya, Nazi menyiksa dan menganiaya kaum Yahudi baik yang berada di wilayahnya maupun yang berada di luar Jerman. Mulai dari diskriminasi hukum, pengucilan publik, pengusiran dan pengasingan, penahanan, penjarahan, kerja paksa, sampai penembakan dan pembantaian massal dilakukan terhadap Yahudi.

Banyak orang Yahudi yang tewas akibat hal tersebut. Mereka yang masih bertahan pun melarikan diri dari wilayah Eropa yang dikuasai Jerman.

Beberapa di antaranya lari ke Amerika Serikat, Inggris Raya, serta negara-negara lain yang tidak terjamah atau di luar ancaman Jerman seperti Palestina.

Israel di Palestina
Setelah dibantai besar-besaran oleh Nazi Jerman, bangsa Yahudi salah satunya lari ke Palestina.

Yahudi sebetulnya sudah mulai ke Palestina setelah Perang Dunia I.

Mereka ke sana lantaran Inggris, selaku penguasa Palestina kala itu, mengeluarkan Deklarasi Balfour pada 1917 yang menjanjikan kampung halaman di Palestina untuk Yahudi.

Janji itu diberikan Inggris kepada Yahudi karena dahulu Inggris meminta bantuan Yahudi di Amerika untuk memenangkan Perang Dunia I dengan beraliansi bersama AS.

Janji itu pun bukanlah kedaulatan Yahudi atas seluruh tanah Palestina. Namun, Yahudi menganggap bahwa inisiatif deklarasi itu ialah awal yang baik untuk pengakuan negara Israel di Palestina.

Bangsa Arab di Palestina lantas geram dan melakukan pemberontakan karena merasa wilayahnya direbut.

Setelah Perang Dunia II, kaum Yahudi zionis yang kian banyak berdatangan ke Palestina pun menambah rumit konflik itu.

Inggris tak kuasa mengatasi masalah tersebut hingga akhirnya memilih mundur dari Palestina. Inggris menyerahkan mandat Palestina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

PBB kemudian membentuk UNSCOP (United Nations Special Committe on Palestine) untuk melakukan investigasi dan menemukan solusi guna menuntaskan masalah kedua bangsa itu.

UNSCOP merekomendasikan rencana membagi Palestina menjadi dua, yakni negara Yahudi dan negara Arab.

Para pemimpin Yahudi zionis menerima rencana tersebut. Namun orang Arab Palestina menentang keras.

Kendati demikian, pada 1948, Yahudi mengambil langkah berani. Mereka mendeklarasikan diri sebagai Negara Israel.

AS dan Uni Soviet mendukung deklarasi tersebut. Negara-negara Arab marah besar hingga memutuskan menginvasi Palestina untuk menyerang Israel.

Hingga kini, perang yang melibatkan Israel dan lima negara Arab yakni Yordania, Irak, Suriah, Mesir, dan Lebanon itu mencatat babak baru peperangan di Timur Tengah.

Sejarah Penyebaran Bangsa Yahudi

Yahudi selama ini dikenal sebagai bangsa yang tersebar di muka bumi. Kaum itu bahkan dikaitkan dengan istilah "diaspora" yang berarti penyebaran.

Saking masifnya penyebaran, bangsa Yahudi seolah-olah 'menguasai' dunia karena terpencar di berbagai penjuru dunia.

Suzanne Rutland dalam jurnalnya yang terbit pada 2014 menyebutkan bangsa Yahudi memiliki empat pusat diaspora utama yang masing-masing berlangsung hingga berabad-abad.

Empat pusat itu antara lain Babilonia, Spanyol, Eropa Timur, dan Amerika.

Dalam tiga pusat pertama, bangsa Yahudi bahkan memiliki sebuah julukan khusus untuk menggambarkan bahwa mereka adalah keturunan Yahudi.

Julukan pertama yaitu Mizrachi untuk orang Yahudi di dunia Arab-Muslim, kemudian Sephardi untuk Yahudi di Spanyol pada abad pertengahan, dan Ashkenazi untuk Yahudi di Eropa Timur, khususnya Jerman.

Bangsa Yahudi yang tersebar di empat kawasan tersebut pada hakikatnya telah terpengaruh oleh mayoritas masyarakat setempat. Mereka mengalami akulturasi sekaligus integrasi selama hidup di sejumlah wilayah.

Diaspora di Babilonia
Diaspora Yahudi di Babilonia dimulai sejak abad ke 586 SM. Saat itu, Kerajaan Yehuda ditaklukkan oleh Raja Babilonia Nebukadnezar.

Para pemimpin dan bangsa Yahudi dijadikan tawanan oleh Raja Nebukadnezar. Mereka diperbudak dan dibawa ke Babilonia.

Kendati demikian, pengasingan pertama ini tidak berlangsung lama. Sejak Raja Persia, Cyrus, menaklukkan Babilonia pada 550 SM, ia mengizinkan bangsa Yahudi kembali ke tanah air.

Akan tetapi, bangsa Yahudi menolak dan memilih tinggal secara sukarela di Babilonia.

Pada 515 SM, Yahudi kemudian membangun Bait Kedua yang diresmikan sebagai periode Persemakmuran Kedua Yahudi.

Pada masa ini, pusat diaspora kedua Yahudi juga muncul di Alexandria, Mesir. Pada abad ke-1 SM, sekitar 40 persen penduduk Alexandria merupakan orang Yahudi, seperti dikutip Britannica.

Diaspora di Spanyol

Orang Yahudi juga tercatat tinggal di Spanyol sejak masa kekaisaran Romawi.

Setelah dua pemberontakan besar pada abad pertama dan kedua masehi, banyak budak Yahudi dibawa ke Roma. Namun, komunitas lokal Yahudi dengan cepat membeli dan membebaskan mereka.

Beberapa dari mereka yang dibebaskan ini pindah ke Semenanjung Iberia.

Sejarah orang Yahudi di Spanyol sendiri sebetulnya sejarah yang rumit. Sebab penyebaran mereka bisa dibagi ke dalam tiga periode, yakni periode Visigoth, periode keemasan Islam, dan periode Kristen.

Bangsa Yahudi di periode Visigoth hidup dengan damai terutama pada abad kelima. Namun, pada 586 M, salah satu raja Visigoth memeluk agama Katolik Roma dan memberikan bangsa Yahudi pilihan, yakni pergi, menerima agama Kristen, atau mati.

Menghadapi ultimatum ini, banyak bangsa Yahudi yang akhirnya beralih ke agama Kristen, sambil diam-diam tetap menjalankan Yudaisme, agama mereka.

Pada periode kejayaan Islam, Yahudi tak lagi ibadah secara sembunyi-sembunyi. Pada 711 masehi, hubungan antara Yahudi dan Muslim di bawah Dinasti Umayyah merupakan hubungan yang simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan.

Periode Kristen juga merupakan saat-saat di mana hubungan Yahudi-Kristen saling menguntungkan. Namun, sejak akhir abad ke-14, situasi Yahudi memburuk di Spanyol.

Terjadi kerusuhan di mana bangsa Yahudi dipaksa memeluk Kristen. Meski begitu, mereka tetap menjalankan Yudaisme namun secara diam-diam.

Diaspora di Eropa Timur
Pusat diaspora ketiga muncul di Eropa Timur sejak abad ke-13 kala raja-raja Polandia mengundang orang-orang Yahudi dari wilayah Rhineland Jerman serta orang Jerman non-Yahudi untuk menetap di kerajaan.

Namun, kehadiran Yahudi di Eropa Timur dituding menyebabkan wabah mengerikan yang dikenal sebagai Maut Hitam. Meski begitu, raja-raja Polandia saat itu memberikan perlindungan khusus ke Yahudi.

Diaspora di Amerika
Pusat diaspora terbaru bangsa Yahudi yaitu di Amerika Serikat. Orang Yahudi juga menetap di Amerika Utara yakni dari kalangan Yahudi Sephardi Belanda yang kabur dari persekusi koloni Portugis dan Spanyol di Amerika Selatan.

Pada 1830-1880, sekitar 300 ribu orang Yahudi Jerman pergi ke Amerika Serikat usai Napoleon kalah dan revolusi gagal pada 1830 dan 1848 di Eropa Barat.

Kemudian, pada rentang 1880 hingga 1924, lebih dari dua juta orang Yahudi Rusia tiba di pantai Amerika.

Pada 1950-an, populasi Yahudi di Amerika telah meningkat menjadi lima juta.

Akulturasi

Hasia R Diner dalam jurnalnya yang dirilis pada 8 Desember 2021 menuliskan bahwa orang Yahudi yang telah terdiaspora atau tersebar bukan cuma sekadar tinggal di wilayah barunya. Mereka membentuk jaringan dengan sesama Yahudi yang meninggalkan tempat asalnya.

Setelah membentuk jaringan, mereka sama-sama mempertahankan ritual keluarga, praktik liturgi, preferensi makanan, dan melabeli diri sesuai dengan tempat tinggal mereka sebelumnya.

Kendati demikian, setelah tinggal lama di wilayah baru, bangsa Yahudi secara bertahap mengadopsi bahasa, ritual, dan budaya di negara tujuan masing-masing.

Beberapa bahkan mencemplungkan diri sepenuhnya dengan budaya non-Yahudi ketika tinggal di kawasan tersebut.(han)