Melihat Geliat Partai Golkar di Era Reformasi Meski Dipersepsi Anak Kandung Orba

Ada yang menyebut, Sekber Golkar didirikan oleh Presiden kedua RI Soeharto dan tokoh politik Suhardiman pada 20 Oktober 1964. Namun, ada juga yang mengatakan, Sekber Golkar berdiri atas inisiatif Presiden Soekarno.

Nov 26, 2022 - 17:03

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Pada awal berdirinya, Golkar bukanlah sebuah partai politik (parpol), melainkan perwakilan golongan dengan nama Sekretariat Bersama (Sekber) Golkar yang berdiri pada 1964.

Hari ini, Kamis (20/10), Partai Golongan Karya (Golkar) genap berusia 58 tahun.

Berbagai situasi dan dinamika politik telah mewarnai perjalanan partai berlambang pohon beringin ini.

Ada yang menyebut, Sekber Golkar didirikan oleh Presiden kedua RI Soeharto dan tokoh politik Suhardiman pada 20 Oktober 1964. Namun, ada juga yang mengatakan, Sekber Golkar berdiri atas inisiatif Presiden Soekarno.

Dikatakan, berdirinya Golkar merespons Peraturan Presiden Nomor 193 Tahun 1964 yang menginstruksikan seluruh organisasi di dalam Front Nasional bergabung dengan parpol atau membentuk organisasi sendiri.

Kelahiran Sekber Golkar tak lepas dari gerakan PKI yang meluas di Indonesia.

Sekber Golkar pertama kali diketuai oleh Brigadir Jenderal Djuhantono, kemudian diganti oleh Mayjen Suprapto Sukowati lewat Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) I pada Desember 1965.

Seiring perjalanan waktu, jumlah anggota Sekber Golkar bertambah dengan cepat dari 61 menjadi 291 organisasi.

Ratusan organisasi itu kemudian dikelompokkan menjadi tujuh Kelompok Induk Organisasi (KINO) menurut kekaryaannya.

Yakni, Koperasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Organisasi Profesi, Ormas Pertahanan Keamanan (HANKAM), Gerakan Karya Rakyat Indonesia (GAKARI), serta Gerakan Pembangunan.

Sekber Golkar keluar sebagai pemenang di Pemilu 1971 dengan meraup sebanyak 236 dari 260 kursi DPR atau 62,8 persen.

Setelah itu Sekber Golkar pun berubah menjadi Golkar demi menyesuaikan dengan ketentuan dalam ketetapan MPRS tentang perlunya penataan ulang partai politik Indonesia.

Golkar kemudian menggunakan struktur baru. Kelompok Soeharto dan militer mendominasi dengan memiliki kekuasaan paling besar di organisasi tersebut.

Golkar menggelar Musyawarah Nasional (Munas) pertama di Surabaya, Jawa Timur pada September 1973. Ketika itu, Mayor Jenderal Amir Murtanto terpilih menjadi Ketua Umum Golkar.

Berbagai wadah profesi kemudian terbentuk di tubuh Golkar seiring perjalanan waktu, antara lain Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI), dan Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI).

Golkar menciptakan dan melaksanakan semua politik Orde Baru. Selama puluhan tahun berkuasa, jabatan-jabatan dalam struktur eksekutif, legislatif, hingga yudikatif dikuasai oleh Golkar lewat kader-kadernya.

Golkar terus meraih kemenangan dari pemilu ke pemilu yang berlangsung sepanjang Orde Baru, yakni pada 1977, 1982, 1987, 1992, hingga 1997. Pemilu-pemilu yang diragukan kredibilitasnya oleh masyarakat internasional dan kalangan oposisi domestik.

Kekuasaan Soeharto selama 32 tahun runtuh.

Presiden kedua itu mundur setelah mendapat desakan luas dari berbagai kelompok masyarakat sipil hingga mahasiswa pada 21 Mei 1998.

Golkar sebagai penyokong utama Orde Baru pun kena imbas. Bahkan sejumlah kalangan menuntut Golkar dibubarkan ketika itu.

Akbar Tanjung terpilih menjadi Ketua Umum Golkar pada masa kelam itu. Ia membawa Golkar berubah wujud menjadi Partai Golkar dengan mengusung citra baru.

Partai Golkar bisa berpartisipasi pada Pemilu 1999. Namun, perolehan suara Golkar turun drastis pada pemilu pertama di era Reformasi.

Suara Golkar disalip oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Golkar berada di posisi kedua dengan 22,43 persen suara.

Perlahan tapi pasti. Golkar kembali keluar sebagai pemenang pada Pemilu 2004 dengan memperoleh 21,57 persen suara.

Namun setelah itu, perolehan suara Golkar kembali anjlok dan terus menurun. Pada Pemilu 2009, Golkar hanya meraih 14,45 persen suara. Kemudian pada Pemilu 2014 mendapat 14,75 persen suara.

Terakhir pada Pemilu 2019, partai beringin itu hanya memperoleh 12,31 persen suara.

Tabiat Berkuasa
Pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komaruddin menyatakan Golkar merupakan parpol dengan karakter kekuasaan. Menurutnya, setiap parpol pasti bertujuan untuk meraih kekuasaan.

"DNA [karakter] Golkar itu kekuasaan. itu tidak salah karena parpol dibuat untuk meraih kekuasaan. Golkar demokratis dan terbuka," kata Ujang.

Hal ini bisa dilihat ketika Golkar tetap menjadi koalisi pemerintahan meskipun capres dan cawapres yang diusungnya kalah. Golkar tak pernah menjadi oposisi pemerintah sejak 2004 lalu.

Saat itu Golkar mengusung Wiranto dan Sholahuddin Wahid. Namun, pasangan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) yang menang di Pemilu 2004. Meskipun demikian Golkar tetap masuk koalisi pemerintah setelah JK terpilih menjadi Ketum Golkar.

Kondisi ini berlanjut usai Pemilu 2009, 2014, hingga 2019.

Ujang menilai Golkar harus melakukan evaluasi diri jelang Pemilu 2024. Ia menyebut perolehan suara Golkar dalam beberapa pemilu terakhir terus menurun.

Menurutnya, keberhasilan Golkar di Pemilu 2024 sangat bergantung pada langkah yang diputuskan dalam pengusungan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Tergantung ada atau tidak capres atau cawapres internal Golkar, karena akan ada efek ekor jas bagi Golkar," ujarnya.

Ujang berpendapat keputusan mengusung kader nonparpol atau kader parpol lain akan membuat perolehan suara Golkar mandek bahkan turun di Pemilu 2024 nanti.

"Kalau capres atau cawapres dari luar Golkar kelihatan akan sama perolehannya seperti di 2014 dan 2019, dan akan berjuang lebih mati-matian," katanya. Selamat Ulang tahun Partai Golkar.(han)