Melihat Bara Politik 'Dekrit Presiden' Dinilai Jadi Penyebab Pemakzulan Gus Dur

Tak ada penyebab tunggal yang bisa menjelaskan krisis politik antara parlemen dan Gus Dur kala itu. Krisis ini adalah buah dari persoalan demi persoalan yang menumpuk tanpa penyelesaian, yang melibatkan parlemen dan presiden.

Jan 11, 2023 - 15:17
Melihat Bara Politik 'Dekrit Presiden' Dinilai Jadi Penyebab Pemakzulan Gus Dur

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Pemakzulan pada 23 Juli 2001 adalah ujung kiprah politik Abdurrahman Wahid atau Gus Dur sebagai Presiden.

Peristiwa tersebut didahului sejumlah perbedaan pendapat antara Gus Dur dengan sejumlah pihak seperti DPR, partai politik, hingga TNI/Polri.

Dalam sebuah kesempatan, Gus Dur berupaya untuk mencari jalan tengah guna mengatasi perseteruan itu. Lobi-lobi politik diupayakan hingga pada satu titik, Gus Dur mengakui dirinya terjerembap di jalan buntu. 

Pengakuan itu disampaikan Gus Dur pada hari kedua di bulan Juli 2001, di hadapan para menterinya.

Gus Dur bicara di atas mimbar. Kesan serius tapi santai yang selama ini melekat pada sosoknya lenyap.

Pada beberapa titik suaranya seakan pasrah, pada titik lain intonasi Gus Dur meninggi namun lepas, seolah menantang segala kemungkinan politik.

"Saya protes kepada Tuhan. Protesnya, semua orang bilang jangan ada keadaan bahaya, tapi semua jalan menuju kompromi ditutup. Semua memble, dalam hal ini," kata Gus Dur seperti terekam dalam dokumentasi kantor berita AP.

"Lalu maunya apa? Maunya biar masyarakat datang, bakar gedung MPR/DPR apa?" lanjutnya, melempar pertanyaan retorik. 

Gus Dur mengaku setuju dengan sidang istimewa yang diwacanakan para politisi Senayan.

Namun, Gus Dur tegas menolak jika dalam sidang itu diselipkan agenda meminta pertanggungjawaban presiden. "Sebab itu dalam sistem kenegaraan kita tidak dikenal," tegasnya.

Ia pun mengingatkan bahwa upaya memakzulkan dirinya lewat sidang istimewa sebagai makar. "Kalau itu terjadi maka negara kita akan pecah belah enggak karu-karuan," ujar dia. 

Peringatan yang diutarakan Gus Dur nyatanya tak mampu menghentikan proses politik di Senayan.

Pada Minggu pagi, 22 Juli 2001, sejumlah ketua umum partai politik bertemu di kediaman pribadi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri di bilangan Kebagusan, Jakarta Selatan. Mega saat itu juga menjabat sebagai wakil presiden.

Sejumlah laporan media mencatat pertemuan di Kebagusan dihadiri oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Amien Rais, Ketua DPR Akbar Tanjung, Ketua Umum PPP Hamzah Haz, dan Megawati selaku tuan rumah.

Pertemuan menghasilkan sejumlah keputusan. Salah satunya adalah menyelesaikan masalah kepemimpinan nasional imbas perseteruan presiden dengan DPR.

Sementara di kawasan Medan Merdeka sekitar Istana, tensi politik meninggi. Massa yang kontra telah berhadap-hadapan dengan para pendukung Gus Dur. Sementara prajurit TNI sudah bersiaga di Lapangan Monas.

Pengerahan militer di kawasan Monas melibatkan kendaraan tempur berat. Aksi ini mengingatkan sebagian kalangan pada peristiwa 17 Oktober 1952, ketika militer mengerahkan kendaraan tempur berat ke Istana. Aksi yang disebut-sebut sebagai protes terhadap kepemimpinan Sukarno saat itu.

Tanda-tanda kejatuhan Gus Dur pun semakin jelas. Namun, ketegangan politik pada Juli 2001 itu sejatinya adalah rangkaian dari perseteruan politik yang terjadi jauh hari sebelumnya.

Perseteruan Gus Dur dan Politisi Senayan
Tak ada penyebab tunggal yang bisa menjelaskan krisis politik antara parlemen dan Gus Dur kala itu. Krisis ini adalah buah dari persoalan demi persoalan yang menumpuk tanpa penyelesaian, yang melibatkan parlemen dan presiden.

Dalam bunga rampai berjudul Pengawasan DPR Era Reformasi: Realitas Penggunaan Hak Interpelasi, Angket, dan Menyatakan Pendapat yang diterbitkan LIPI Press 2014 silam, ditulis bahwa legislatif menggunakan hak angket atas Gus Dur untuk perkara dugaan korupsi Buloggate dan Bruneigate pada September 2000. Dua kasus yang dituduhkan ke Gus Dur itu tak pernah terbukti secara hukum sampai hari ini.

Hasil pansus Buloggate dan Bruneigate yang menuding indikasi keterlibatan Gus Dur selaku presiden kemudian berbuah memorandum I dan II.

Gus Dur menjawab Memorandum I namun mengabaikan yang kedua karena merasa telah menjawabnya di Memorandum 1. DPR kemudian membalas dengan rekomendasi Sidang Istimewa MPR, hasil keputusan rapat Badan Pekerja MPR 1 Juni 2001. Dalam rekomendasi itu, Sidang Istimewa MPR sedianya digelar 1 Agustus 2001.

Interpelasi selanjutnya adalah permintaan keterangan karena mencopot Jusuf Kalla (JK) dan Laksamana Sukardi dari kabinet persatuan nasional. JK adalah elite Golkar, sementara Sukardi politikus PDIP. DPR juga menggunakan dua hak interpelasi selama periode singkat kepemimpinan Gus Dur. Interpelasi pertama dilayangkan mempertanyakan keputusan Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial.

"Jadi kemarahan partai-partai itu karena Gus Dur mengganti menteri. Menteri BUMN Laksamana Sukardi dan JK. Itu dua menteri dari parpol terbesar. Itu kesalahan secara politik [Gus Dur]," kata peneliti Gus Dur, Ahmad Suaedy.

Suaedy mengatakan ada alasan mengapa presiden mencopot Sukardi dan JK, serta rela bersitegang dengan dua parpol besar di DPR saat itu. Ia tak mengungkap alasan itu.

Langkah Gus Dur melakukan reformasi dalam tubuh TNI/Polri ikut dianggap sebagai penyulut krisis politik. TNI/Polri saat itu masih merupakan kekuatan politik yang terwakili di parlemen dengan nama Fraksi TNI/Polri.

Gus Dur membuat lompatan signifikan ketimbang pendahulunya, Presiden BJ Habibie, dalam upaya demiliterisasi politik. Dia terus mendorong pemisahan TNI dan Polri, sebuah kebijakan substantif yang menegaskan pemisahan TNI dengan sipil. Lewat itu Gus Dur mengirim pesan agar militer kembali ke barak, fokus mengurus pertahanan negara.

Demiliterisasi politik yang diupayakan Gus Dur tak berjalan mulus. Beberapa kebijakannya menggantikan sejumlah perwira tinggi di kepolisian dan TNI, menyulut polemik yang pada akhirnya melibatkan parlemen.

Kebijakannya mengaktifkan lagi jabatan Wakil Kapolri dengan menunjuk Chaerudin Ismail mendapat kritik. Puncaknya saat Gus Dur memecat Kapolri Surojo Bimantoro awal Juli 2001.

Tak berselang lama, 20 Juli 2001 Gus Dur membuat 'blunder' dengan mengangkat Chaerudin sebagai pejabat sementara Kapolri tanpa konsultasi terlebih dulu dengan parlemen.

Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), mesin politik Gus Dur, saat itu Effendy Choiri mengatakan ada pergerakan para politikus di luar Parlemen maupun di dalam Parlemen semacam untuk menjatuhkan Gus Dur.

"Terus Gus Dur difitnah menerima uang dari Sultan Brunei. Padahal Gus Dur enggak seringgit pun, enggak menerima itu, dalam pengadilan juga enggak terbukti. Kemudian macam-macamlah. Juga situasi politik Gus Dur enggak mau berkompromi pada skenario elite politik," kata Effendy yang kini politikus NasDem.

"Akumulasinya Gus Dur harus segera dijatuhkan dengan berbagai cara itu," imbuhnya.

Langkah Gus Dur mencopot Bimantoro membuat posisinya kian terpojok. Sebaliknya, wacana pemakzulan semakin menguat. Gus Dur diklaim melanggar haluan negara, serta tak berkonsultasi dengan DPR soal penggantian Kapolri.

Sehari sebelum pengangkatan Chaerudin, 19 Juli 2001, Ketua MPR Amien Rais bahkan telah mengumumkan Sidang Istimewa MPR yang sedianya digelar pada Agustus dipercepat menjadi 23 Juli 2001. Di tanggal itu, tepat 20 tahun pada hari ini, Gus Dur dimakzulkan oleh MPR.

Dinamika politik berjalan begitu cepat. Reaksi keras parlemen atas pemecatan Bimantoro, percepatan Sidang Istimewa, hingga pertemuan di Kebagusan, jadi rangkaian politik yang mengindikasikan kian terkikisnya dukungan bagi Gus Dur.
Opsi terakhir pun diambil. Opsi yang telah diutarakan Gus Dur sejak jauh hari sebelumnya: Dekrit Presiden. 

Pada Senin dini hari, 23 Juli 2001, sekitar pukul 01.00 beberapa jam sebelum Sidang Istimewa digelar, dekrit itu dikeluarkan. Dekrit dibacakan oleh juru bicara presiden saat itu, Yahya Staquf di Istana Negara.

Dekrit atau maklumat presiden saat itu adalah:

1. Membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun.

3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru, dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.

Parlemen tak tinggal diam. Pagi harinya Ketua DPR Akbar Tanjung mengirim surat permintaan fatwa kepada Mahkamah Agung untuk menanggapi dekrit Gus Dur itu dengan tembusan pimpinan MPR dan fraksi-fraksi DPR.

Ketua MA Bagir Manan membalas surat tersebut dengan menyatakan dekrit yang dikeluarkan presiden berlawanan dengan hukum.

Akbar lantas membagikan surat fatwa MA tersebut kepada seluruh anggota MPR. Upaya mendongkel Gus Dur, mendapat suntikan tenaga baru. 

"Agar respons MA bisa cepat, saya komunikasi dengan Ketua MA Bagir Manan," kata Akbar dalam wawancara khusus dengan CNNIndonesia.com pertengahan Januari 2016 lalu.

Anggota DPR dari fraksi Golkar pada 1999-2004 silam, Priyo Budi Santoso mengklaim tak ada pilihan lain bagi MPR kala itu selain memakzulkan Gus Dur.

Alih-alih jadi senjata, dekrit tersebut terkesan jadi 'peluru hampa'. Priyo menilai keputusan Gus Dur mengeluarkan dekrit dengan membubarkan DPR, MPR, termasuk partainya, sebagai keputusan ceroboh dan permusuhan kepada semua pihak.

"Kalau masuk masalah pribadi, saya termasuk di menit-menit terakhir (Gus Dur), saya ikut ngritik Gus Dur. Tapi kalau suruh milih, tidak setuju untuk dilengserkan. Tapi, itu semua pelatuknya adalah dekrit. Enggak ada pilihan lain," kata Priyo saat diskusi buku Menjerat Gus Dur, Jakarta,7 Januari 2020.

Gus Dur tak hadir pada Sidang Istimewa yang digelar pagi hari setelah dekrit dikeluarkan. Sebaliknya, Wakil Presiden Megawati hadir di SI MPR.

Jalan berbeda yang ditempuh Megawati ini jadi sinyal politik kesiapannya menggantikan Gus Dur. Hal yang benar-benar diwujudkan hari itu juga dalam sidang yang dipimpin oleh Amien Rais. 

Menurut Suaedy, pun bila Gus Dur tak mengeluarkan dekrit yang disebut-sebut Priyo jadi pemicu pemakzulan, cucu dari pendiri NU itu tetap akan dilengserkan.

"Situasinya sudah sangat konfrontatif. Saya kira pada saat itu sudah diputuskan untuk menggulingkan Gus Dur," ujar Suaedy.

Sementara Greg Barton, penulis buku biografi Gus Dur menyebut dekrit presiden yang diteken Gus Dur kala itu sejatinya merupakan aksi simbolik. Sebuah pengingat sejarah politik Indonesia.

Ditulis Barton bahwa lewat dekrit itu Gus Dur ingin menggugah perhatian publik akan manuver-manuver politik para politisi Senayan yang dianggapnya tidak sah.

Gus Dur sendiri, kata Barton, telah menyadari dekritnya tak akan mendapat dukungan militer dan polisi. Dengan kata lain, Gus Dur menyadari masanya telah habis, bahkan sebelum ia mengeluarkan dekrit.

"Gus Dur tahu bahwa ia menandatangani surat kematian politiknya sendiri; oleh karena itu ia membacakan dekritnya dengan harapan bahwa dengan begitu ia akan mengundang perhatian orang akan ketidakbsahan tindakan DPR dan MPR terhadapnya," tulis Barton.(han)