Melestarikan Keunikan Kosakata Dialek Bawean

BAWEAN merupakan salah satu pulau kecil yang di dalam peta Indonesia hampir tidak jelas terlihat. Luas dari Pulau Bawean yang dikenal dengan “Pulau Putri” ini hanya sekitar 196 kilometer persegi. Bawean sendiri termasuk wilayah Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur yang terdiri dari dua kecamatan, yakni Kecamatan Tambak dan Kecamatan Sangkapura. Terdapat tiga puluh desa yang tersebar di pulai ini.

May 13, 2023 - 22:34
Melestarikan Keunikan Kosakata Dialek Bawean
(Foto: Istimewa)

Oleh: Agus Salimullah, M.Pd.

BAWEAN merupakan salah satu pulau kecil yang di dalam peta Indonesia hampir tidak jelas terlihat. Luas dari Pulau Bawean yang dikenal dengan “Pulau Putri” ini hanya sekitar 196 kilometer persegi. Bawean sendiri termasuk wilayah Kabupaten Gresik Provinsi Jawa Timur yang terdiri dari dua kecamatan, yakni Kecamatan Tambak dan Kecamatan Sangkapura. Terdapat tiga puluh desa yang tersebar di pulai ini.

Penduduk Pulau Bawean berjumlah sekitar 107.000 jiwa dengan mayoritas suku Bawean serta perpaduan beberapa suku dari Jawa, Madura, Kalimantan, Sulawesi, dan Sumatra.

Mata pencaharian utama penduduknya adalah nelayan dan petani serta pekerja rantauan di Malaysia dan Singapura. Orang Bawean ada pula yang menetap di Australia dan Vietnam.

Kendati masuk kategori pulau kecil, namun Bawean memiliki keistimewaan tersendiri karena mempunyai variasi ragam dialek bahasa. Saat kita mendengar orang Bawean berbicara awalnya kita akan menyangka bahwa mereka berbahasa Madura. Padahal, mereka memiliki bahasa sendiri, yaitu bahasa khas Bawean.  Memang secara umum bahasa masyarakat Bawean sangat mirip dengan bahasa Madura, namun jika dicermati keduanya tetap memiliki perbedaan terutama dalam penggunaan kosakata.

Selain mendapat pengaruh bahasa Madura, kosakata masyarakat Pulau Bawean juga mendapat pengaruh dari bahasa lain seperti bahasa Jawa (utamanya dari wilayah Gresik),  bahasa Banjar, Bugis, maupun Makassar. Bahkan, sebagian kosakata yang digunakan juga mendapat pengaruh dari bahasa Inggris.

Perbedaan dialek bahasa bisa kita temukan di beberapa desa yang ada di Bawean, antara lain Desa Daun (Sangkapura), Desa Suwari (Sangkapura), Desa Kepuhteluk (Tambak) dan Desa Diponggo (Tambak). Ragam dialek dari empat desa tersebut tercermin dalam penyebutan kata “saya”. Orang-orang Desa Daun menyebut saya dengan kata “eson”, Desa Suwari menyebutnya “ehon”. Kemudian, warga Kepuhteluk akan menyebut saya dengan kata “bule” dan warga Diponggo menyebutnya dengan “engkok”.

Namun, dari empat desa di atas, dialek warga Desa Diponggo lah yang paling mencolok di antara dialek-dialek lain dalam bahasa Bawean. Sebagian besar kosakata yang digunakan dalam dialek Diponggo nyaris sama dengan kosakata dalam bahasa Jawa. Hal ini tidak mengherankan karena mayoritas warga Desa Diponggo merupakan keturunan orang-orang Jawa sehingga  dialek Diponggo pun sedikit banyak dipengaruhi oleh bahasa Jawa. Seperti kosakata de’e, iki, sewu, ayu, saiki, isuk, dan lain-lain.

Selain ada pengaruh bahasa Jawa, dialek warga Diponggo juga dapat pengaruh bahasa Madura. Contohnya kosakata "Kalaaken" yang berarti "ambilkan". Sama dengan kosakata bahasa Madura "Kalaaghi" yang artinya sama "ambilkan". Ada juga kosakata

"Sakotik" artinya "sedikit". Dalam bahasa Madura ada kosakata "Sakonik" yang artinya "sedikit". Ada pula  "kathirik" artinya "sendiri". Dalam bahasa Madura "Kadhibik" yang artinya "sendiri". Demikian juga kata "Kean" yang artinya "juga". Dalam bahasa Madura "Keah" yang artinya sama "juga".

Yang tidak kalah menariknya, ada sebagian kosakata warga Desa Diponggo mendapat pengaruh dari bahasa Inggris. Contohnya kosakata "gohed" yang artinya "pergi". Ada juga kosakata "besikar" yang artinya "sepeda ontel". Dalam bahasa Inggris "Bicycle" . Ada pula kosakata "Mathoka" yang berarti "mobil". Dalam bahasa Inggris "Motor Car".

Yang menjadi pertanyaan sekarang, apakah kekayaan bahasa daerah khas Pulau Bawean, khususnya kekhasan bahasa di Desa Diponggo ini akan bertahan? Apakah tidak mungkin lambat laun akan punah seiring laju perkembangan zaman? Jawabannya bergantung sejauh mana keseriusan semua pihak, terutama warga Desa Diponggo khususnya dan warga Pulau Bawean pada umumnya untuk melestarikannya.

Melestarikan memiliki arti bagaimana  menjaga kelangsungan sesuatu agar tetap dan tidak berubah dari kondisi semula.

Lantas, bagaimanakah cara melestarikan "keunikan" bahasa Pulau Bawean? Ini yang menjadi "PR" kita semua, khususnya warga Pulau Bawean. Baik mereka yang menetap di pulau ini atau mereka yang kini dalam perantauan.

Berdasarkan data terakhir yang dikutip dari riset Badan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, saat ini tercatat ada 742 bahasa daerah di Indonesia. Jumlah ini tentu bukan angka stabil lantaran bisa saja pencatatan jumlah bahasa daerah ini berubah-ubah.

Perlu diketahui penyebaran 742 bahasa daerah berbanding terbalik antara jumlah bahasa dan jumlah penduduk. Di pulau Jawa sendiri terdapat 123 juta penduduk namun bahasa daerah yang digunakan hanya ada 20 bahasa.

Ironisnya, bahasa daerah saat ini  kian asing dituturkan dan dikenali dalam kehidupan sehari-hari. Minimnya penggunaan bahasa daerah jelas berpengaruh dengan kemungkinan terjadinya kepunahan bahasa daerah yang ada di Indonesia.

Maka dari itu, perlu adanya gerakan dari generasi muda sebagai penerus bangsa dalam melestarikan bahasa daerahnya.

Salah satu cara  melestarikan bahasa daerah, khususnya bahasa "khas" Bawean antara lain menerbitkan bacaan dengan menggunakan bahasa Bawean. Pasalnya, di era digital saat ini, sangat jarang bahkan tidak ada sama sekali bacaan atau buku dengan bahasa daerah setempat. Hanya terdapat beberapa majalah yang menggunakan bahasa daerah bahkan mungkin di era digital sudah tidak produktif lagi. 

Itu sebabnya, salah satu jalan keluar yang bisa ditempuh yakni adanya kepedulian pemerintah daerah dengan memberikan wadah penerbitan  bacaan dengan bahasa daerah. Agar menarik dan praktis, penerbitan tidak hanya dilakukan melalui bahan  cetakan, melainkan juga membuat inovasi bacaan dalam versi digital. (*)

 

Penulis adalah guru Bahasa dan Sastra Indonesia SMAN 2 Batu.