Meikarta Oh Meikarta, Mimpi Konsumen Miliki Hunian Masa Depan yang Tinggal Kenangan

PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pemilik proyek belum juga melaksanakan serah terima unit seperti Penegasan dan Persetujuan Pemesanan Unit (P3U) kepada konsumen.

Dec 20, 2022 - 16:30
Meikarta Oh Meikarta, Mimpi Konsumen Miliki Hunian Masa Depan yang Tinggal Kenangan
Suasana Proyek Hunian Masa Depan

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Malang tak bisa ditolak, mujur tak bisa diraih. Mungkin pepatah ini dapat menggambarkan nasib konsumen Apartemen Meikarta yang dulunya disebut sebagai hunian masa depan.

Jangankan hunian masa depan yang didapat oleh para konsumen, nasib mereka kini ibarat kata mundur kena, majupun juga kena.

Cerita bermula dari hasrat para konsumen untuk mendapatkan hunian vertikal yang digadang-gadang jadi hunian masa depan.

Namun apa boleh dikata, angan-angan itu boleh dibilang tinggal angan-angan saja karena belum ada satu pun unit properti yang diserah-terimakan kepada calon penghuni.

Padahal, sesuai janjinya di awal pemasaran dulu, serah terima unit apartemen bakal dilakukan pertengahan 2019-2020 lalu. Namun, tahun-tahun terlewati, penyelesaian proyek malah molor.

PT Mahkota Sentosa Utama (MSU) selaku pemilik proyek belum juga melaksanakan serah terima unit seperti Penegasan dan Persetujuan Pemesanan Unit (P3U) kepada konsumen.

Walhasil, sejumlah konsumen memilih berhenti membayar cicilan atawa angsuran. Alih-alih, dana yang masuk dikembalikan (refund), konsumen justru mendapat peringatan dari Bank Nobu selaku bank yang memberikan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA).

"Kalau surat peringatan itu kan berarti ada yang mengancam, memperingati, 'eh kamu bayar dong unitnya, bayar angsuran kamu', bagaimana konsumen mau bayar kalo unitnya nggak ada? Stress dong," terang Kuasa hukum Perkumpulan Komunitas Peduli Konsumen Meikarta Rudy Siahaan di depan Gedung Bank Nobu, Plaza Semanggi, Jakarta Selatan, Senin (19/12).

Bak buah simalakama, nasib konsumen Apartemen Meikarta malah makin sulit. Sederhananya, maju kena, mundur pun kena. Artinya, jika konsumen berhenti membayar, mereka mendapatkan ancaman dari bank mengenai kolektibilitas kredit.

Di sisi lain, jika konsumen terus membayar, maka konsumen bertaruh nasib uang yang mereka keluarkan bisa saja raib, mengingat tidak ada kejelasan mengenai penyelesaian proyek yang dibangun.

Praktisi Hukum Perumahan Joni Tanamas mengakui posisi konsumen Apartemen Meikarta memang sulit. Bahkan, cenderung serba salah. Sebab konsumen tak hanya berurusan dengan pengembang, tetapi juga dengan perbankan.

"Ini memang kompleks. Relasi konsumen ke developer (pengembang) dan konsumen ke bank pemberi KPA. KPA dengan bank tentu cicilannya harus jalan terus," kata Joni.

Memang, menurut Joni, konsumen bisa saja mengajukan setop bayar cicilan ke perbankan. Namun, proses yang harus dilewati cukup panjang.

Pertama-tama, konsumen harus mengajukan penundaan pembayaran dengan menyerahkan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN). Dalam hal ini, PN harus memenangkan gugatan pembeli. Sebaliknya, jika gugatan itu kalah, maka perbankan berhak tetap menagih cicilan bulanan.

"Kalau soal cicilan bank, ya bisa digugat pembatalan perjanjian kredit karena objek apartemennya bermasalah. Caranya, ya gugat ke Pengadilan Negeri. Minta setop (pembayaran) bunga atau moratorium," jelasnya.

Langkah ini dinilai paling memungkinkan untuk dilakukan. Jika ingin pengembalian uang atau refund dari perbankan tidak akan bisa karena sudah diserahkan kepada developer sejak akad kredit dilakukan.

Konsumen juga tidak memiliki pilihan untuk menjual unit, karena apartemen belum rampung dan juga belum serah terima. Apartemen masih atas nama pengembang dan belum sah menjadi milik pembeli.

Kalaupun mau memaksakan untuk tidak membayar cicilan kredit, maka konsumen yang akan rugi. Sebab, uang yang selama ini sudah masuk bisa hangus, sehingga solusi penundaan pembayaran dengan gugatan ke PN memang paling aman saat ini.

"Jika mau kuat-kuatan, ya nggak usah bayar KPA. Tapi sudah ada cicilan masuk yang relatif besar dan ada yang segera lunas bahkan sudah lunas," imbuhnya.

Pengamat sekaligus Senior Researcher Knight Frank Indonesia Syarifah Syaukat menilai tidak ada yang bisa disalahkan dalam kasus ini. Tidak pengembang, tidak pula masyarakat atau konsumen.
Sebab, pemasaran apartemen yang belum masuk proses konstruksi memang dimungkinkan untuk dilakukan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.

Menurut UU terkait, pemasaran apartemen yang belum masuk fase pembangunan bisa dilakukan jika telah memiliki lima aspek. Pertama, kepastian peruntukan ruang yang ditunjukkan lewat surat keterangan rencana kota yang sudah disetujui oleh pemerintah daerah.

Kedua, kepastian hak atas tanah, ditunjukkan dengan sertifikat atas tanah dari lahan yang akan dibangun. Ketiga, kepastian status penguasaan rumah susun, ditunjukkan dengan hasil pertelaan dari pemerintah daerah, baik kepemilikan berupa SHM Sarusun atau SKBG Sarusun.

Keempat, perizinan pembangunan rumah susun, ditunjukkan dengan IMB. Kelima, jaminan atas pembangunan rumah susun dari lembaga penjamin, berupa surat dukungan, baik bank maupun non bank.

Berkaca dengan kasus ini, ia hanya berharap ke depannya masyarakat bisa lebih teliti sebelum melakukan pembelian hunian. Apalagi, permasalahan serupa sering kali terjadi, baik untuk pembelian unit apartemen maupun rumah tapak, terutama yang inden (belum dibangun).

"Karena itu, calon pembeli yang berminat pada unit apartemen yang belum dibangun perlu memastikan kelima unsur diatas terpenuhi. Selain itu juga perlu memastikan skema pembiayaan, mengenali reputasi pengembangnya, dan detail klausul jual beli dengan teliti," ungkap Syarifah.

Masyarakat juga diminta untuk berhati-hati dan jangan mudah tergoda dengan iming-iming harga yang murah, dengan fasilitas lengkap. Pasalnya, dia menilai fasilitas yang ditawarkan akan sejalan dengan fasilitas yang didapatkan.

"Memang, apartemen yang belum dibangun umumnya menawarkan harga unit yang menggiurkan, namun ada risikonya, calon pembeli harus teliti sebelum membeli," pungkasnya.(han)