Mahkota untuk Ibu

Anak lelaki berusia sembilan tahun itu memandang kosong ke hamparan pasir. Sorot matanya penuh dengan kepiluan. Wajahnya suram, sesuram suasana sore disapa langit yang menghitam. Angin sepoi-sepoi menyapa lembut tubuhnya yang mematung. Ia bergeming, ditahan gejolak rindu yang membuncah. Di sini, lima hari lalu Bu Yatmi, ibunya masih duduk di samping gerobak pentol ikan. Senyuman manis di wajah ibu masih jelas terbayang saat melayani pembeli.

Mar 1, 2023 - 23:13
Mahkota untuk Ibu
Ilustrasi (Foto: Shutterstock)

Oleh:  Fauzi Rohmah

Anak lelaki berusia sembilan tahun itu memandang kosong ke hamparan pasir. Sorot matanya penuh dengan kepiluan. Wajahnya suram, sesuram suasana sore disapa langit yang menghitam. Angin sepoi-sepoi menyapa lembut tubuhnya yang mematung. Ia bergeming, ditahan gejolak rindu yang membuncah. Di sini, lima hari lalu Bu Yatmi, ibunya masih duduk di samping gerobak pentol ikan. Senyuman manis di wajah ibu masih jelas terbayang saat melayani pembeli.

 

***

 

Bu Yatmi membesarkan anak semata wayangnya seorang diri. Suaminya telah dulu menemui Sang Pencipta tujuh tahun lalu. Tidak berselang lama, Bu Yatmi membawa Ratno meninggalkan tanah Jawa. Bermodalkan tekad yang kuat untuk mengubah nasib, ia berangkat ke Kalimantan. Secarik kertas bertuliskan alamat yang pernah ditinggalkan tetangganya, ia genggam dengan penuh harap.

Pagatan, daerah pesisir dengan pantai panjangnya menjadi satu pilihan untuk ditinggali. Di sini, Bu Yatmi berjualan pentol ikan di Pantai Pagatan. Sesekali di saat sepi pengunjung, Bu Yatmi akan jualan dengan berkeliling. Berangkat pagi dan pulang menjelang malam. Pentol ikan yang dijajakan ia ambil dari rumah produksi di Desa Batuah. Hasil upah yang diperoleh pun cukup untuk makan bersama Ratno. Ia juga menyisihkan sebagian untuk membayar kontrakan dan biaya sekolah Ratno.

 

***

 

“Ratno, bagaimana sekolahmu?” tanya Bu Yatmi ketika Ratno mulai melepas seragam sekolahnya.

“Alhamdulillah baik, Bu. Oh ya, kata Pak Amir, sebentar lagi mau ujian akhir semester.” jawab Ratno.

“Kamu harus lebih rajin belajar supaya nilaimu bagus. Kalau kamu rajin belajar, nanti cita-citamu juga akan tercapai.”

“Iya, Bu. Ratno akan belajar dengan sungguh-sungguh.” sahutnya dengan tersenyum.

“Nilai-nilaimu yang bagus membuat Ibu lebih semangat lagi dalam bekerja.” ucap Bu Yatmi dengan mata berbinar.

“Tapi, ibu juga jangan lupa istirahat. Ibu jangan pulang malam lagi. Ratno khawatir kalau Ibu masih berkeliling dengan gerobak pentol ketika malam. Ratno takut terjadi sesuatu.” ucap Ratno mengkhawatirkan ibunya yang beberapa hari belakangan ini pulang sampai malam.

“Tidak masalah, No. Ibu sudah hapal betul daerah sini, kita kan sudah lama tinggal di sini. Aman kok kalau malam. Kamu tidak perlu khawatir. Tugasmu hanya berdoa dan belajar. Kamu satu-satunya harapan Ibu.” Bu Yatmi berusaha meyakinkan Ratno.

“Ratno, sini duduk!” sambung Bu Yatmi sambil merapikan lipatan bajunya.

Ratno pun mengambil tempat di sebelah ibunya.

“Ratno, Ibu sangat berharap kamu bisa mengaji dengan lancar. Terlebih lagi jika kamu bisa menghapal alquran.”

Pandangan Ratno kosong. ‘Menghapal alquran? Apa mungkin?’ pikirannya mengembara. Sedang ia, masih belajar membaca surat-surat pendek.

“Jangan seperti Ibu yang tidak bisa membaca alquran,” sambung Bu Yatmi.

“No, sekarang kan di kabupaten kita sedang digalakkan program satu desa satu masjid. Selain itu, ada juga rumah tahfidz. Ibu pasti sangat bahagia kalau kamu nanti bisa menjadi penghapal alquran. Belajarlah di sana, No!” ucap Bu Yatmi dengan semangat.

“Tapi, Bu, membaca alquran saja aku belum lancar. Apa mungkin bisa menghapalnya?” sahut Ratno dengan hati menciut.

“Justru karena itu, kamu harus belajar mengaji! Besok Ibu antar kamu untuk menemui Ustadz Basir, ya. Ibu harap kemudian hari kamu dapat dengan disiplin belajar mengaji dan ilmu agama yang lain dengan beliau. Ibu tidak bisa mengajarimu karena Ibu sendiri tidak cukup ilmunya.”

Ratno mengangguk tanda setuju.

“Bapakmu pasti bahagia di sana, No.” ucap Bu Yatmi sambil pikirannya mengenang almarhum suaminya.

 

***

 

Selepas salat Magrib, seperti biasa Ratno melanjutkan belajar membaca alquran di masjid dekat tempat tinggalnya. Dilanjutkan mendengarkan ceramah agama selepas salat Isya. Tiga kali dalam seminggu, ia bersama teman yang lain bermalam di masjid. Kegiatan keagamaan pun terkadang dilaksanakan sampai pukul sebelas malam. Ratno juga belajar membiasakan diri untuk bangun dini hari. Mendirikan salat tahajud dan perbanyak zikir, dilanjutkan salat Subuh berjamaah.

Dua bulan sudah, rutinitas di masjid dilaksanakan. Ia mulai terbiasa dan banyak mendapatkan ilmu agama.

“Ratno, Ratno!” Suara yang tak asing itu memanggil Ratno dari luar masjid.

“No, Ratno!”

Ratno yang sedang menyetor hapalan surat pendek pun lantas bergegas lari keluar. Dahi Ustadz Basir mengernyit.

“Ada apa, Husin?” tanya Ratno. Terlihat mimik wajah Husin penuh kecemasan.

“Ibumu, No.”

“Ada apa dengan ibuku?”

“Ibumu kecelakaan, jadi korban tabrak lari. Aku lihat tadi dibawa warga ke puskesmas.” Husin menjelaskan.

Ratno lunglai. Tubuhnya seketika lemas tidak berdaya. Kakinya tidak mampu lagi menopang tubuhnya, hingga terjatuh. Bulir air mata menghujani pipi tirusnya. Pandangannya kosong. Semua terasa hampa.

“Ratno, ayo Abah antar ke puskesmas!” ajak Ustadz Basir.

 

***

 

Di ranjang dekat dinding putih itu, ia lihat tubuh ibunya. Kain putih telah menutup seluruh tubuh. Ia hampiri dan membuka kain yang nenutup wajah ibunya.

“Maaf, apa adik adalah anak dari pasien ini?” tanya seorang perawat berjilbab hijau.

“Iya, saya anak Bu Yatmi. Bagaimana kondisi ibu saya?” tanya Ratno dengan penuh kekhawatiran.

“Selain kamu, apakah ada keluarga yang lain, ayahmu, misalnya?” tanya perawat.

“Hanya saya. Saya anak satu-satunya, ayah saya sudah meninggal. Bagaimana kondisi ibu saya?” kembali ia bertanya.

“Adik yang sabar, ya! Ibumu sudah tidak merasakan sakit lagi.” jelas laki-laki berjas putih.

“Maksud Bapak?” Ratno kebingungan.

“Saya sangat menyesal harus menyampaikan ini. Ibumu sudah kembali kepada Sang Pencipta. Kamu yang sabar, ya!” jelasnya lagi.

“Maksud dokter, ibu saya meninggal dunia?”

Dokter itu mengangguk pelan sambil mengusap lembut kepala Ratno.

Ratno terduduk di samping ranjang dengan memeluk kedua lututnya yang tak bertenaga lagi. Ratno mengutuk apa yang telah terjadi, ‘sekejam ini kah dunia? Kau telah merenggut bapak dan ibuku!’ Air mata Ratno menganak sungai.

“Ratno, kamu harus sabar. Kamu harus kuat. Ibu sudah bahagia. Coba kamu lihat wajahnya. Bersih dan meninggal dengan tersenyum. Itu tandanya, ibumu meninggal dengan bahagia tanpa rasa sakit.” ucap Ustadz Basir sambil mengelus punggungnya.

“Sekarang kita harus cepat-cepat mengurus jenazah ibumu,” sambung Ustadz Basir.

 

***

 

Sepeninggal ibunya, Ratno melangsungkan hidup dengan berjualan pentol. Pekerjaan yang sudah lama dijalani ibunya. Ratno berkeliling menjajakan pentol ikan sepulang sekolah, jika hari libur ia berjualan di Pantai Pagatan. Upah yang didapat hanya cukup untuk makan. Ia pun tidak mampu membayar kontrakan. Ia putuskan untuk tidur di masjid. Memahami kondisi Ratno, Ustadz Basir pun mengizinkannya tinggal di salah satu ruangan yang disediakan untuk pengurus masjid.

“Ratno, kamu bisa tinggal di sini. Kamu bisa kan bantu-bantu Amang Sihab untuk bersih-bersih masjid?” kata Ustadz Basir.

“Bisa, Ustadz. Alhamdulillah, terima kasih banyak sudah memberikan saya tempat tinggal.” ucap Ratno penuh haru.

“Sekarang tugas kamu adalah sekolah. Fokus belajar dan fokus mengaji. Silakan saja kalau mau melanjutkan jualan pentol, tapi kamu harus pintar membagi waktu.” Nasihat Ustadz Basir.

“Siap, Ustadz.”

“Pesan Abah, kamu jangan larut dalam kesedihan karena tiadanya ibu. Kamu harus ingat harapan besar yang ibumu ucapkan dulu. Kamu bisa jadi penghapal alquran dan mengamalkan isinya sehingga kamu bisa menghadiahkan mahkota untuk ibumu di surga nanti.”

Ratno mengangguk pelan. Segala laku dan ucapan ibunya kembali terkenang dalam benaknya.

“Kalau ada keperluanmu di sekolah yang harus dibayar, jangan sungkan sampaikan saja ke Abah, ya!”

Ratno mengangguk pelan lalu memeluk Ustadz Basir. Air mata pun merimis menyusuri pipinya. Ia terharu atas kebaikan Ustadz Basir. Hidupnya yang sebatang kara ini tidak lagi merasa sendirian.

 

***

 

“Ratno, kamu sebagai anak laki-laki harus bermental baja, mempunyai sifat yang bertanggung jawab, dan harus kuat di segala tantangan. Hidup ini keras, No, akan banyak onak yang menghalangi langkah kita. Kamu harus siap menghadapi setiap badai kehidupan yang datang. Semua itu tentunya untuk tujuan kebahagiaan hidup kita. Kamu harus tahu, Allah akan memberikan kita ujian dalam bentuk apa pun untuk menaikkan derajat kita. Jadi, kamu harus sabar, kuat, dan siap untuk itu semua,” ucap Bu Yatmi di senja itu.

Ratno yang saat itu belum genap sembilan tahun hanya nyengir kuda.

Ucapan ibunya saat itu pun kembali terngiang di telinganya. “Ini kah yang dikatakan ibu?” “Hidup ini keras. Ya, apa lagi tanpa kedua orang tua,” batin Ratno perih.

“Allah tidak akan menguji hambanya di luar kemampuannya. Abah yakin, kamu nanti akan menjadi orang yang sukses jika sudah melewati semua jalan terjal ini,” ucap Ustadz Basir senja itu di pelataran masjid sambil menepuk punggungnya. Membuyarkan lamunan Ratno tentang ibunya.

 

***

 

Ratno, anak sebatang kara itu telah didewasakan oleh kerasnya kehidupan. Di usianya yang belum genap sebelas tahun membuatnya harus siap menghadapi segala badai yang menghadang. Kasih sayang Ustadz Basir kerap merengkuhnya dengan hangat, ketika ia terpuruk dalam kedukaan. Petuah Ustadz Basir pun memberikan kekuatan untuk bangkit dan melanjutkan langkah.

Delapan bulan kepergian ibunya, Ratno telah berhasil menyelesaikan hapalan sepuluh jus. Ia sangat bersemangat, ketika dalam tidur ia selalu memimpikan wajah ibunya yang teduh sedang tersenyum manis. Seakan ikut bahagia dengan pencapaian Ratno, sesuai harapan ibunya.

Di sela kesibukannya, bersekolah dan berjualan pentol, Ratno tidak pernah alpa untuk selalu mengulang bacaan alquran yang ia pelajari. Kitab alquran kecil selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Melihat keteguhan Ratno untuk dapat menghapal tigapuluh jus sangat mengesankan hati Ustadz Basir.

Abah yakin, ibumu pasti bahagia di sana. Apalagi, jika kamu benar-benar dapat menghapal dan mengamalkan isi alquran,” ucap Ustad Basir dengan tersenyum.

Ratno pun membalas senyum Ustadz Basir, mencium telapak, dan punggung tangan Ustadz Basir.

“Terima kasih, Abah, telah membimbing Ratno sampai di titik ini,” ucapnya lirih.

‘Ibu, bapak, suatu saat nanti akan kubawakan mahkota untukmu,’ batin Ratno dengan semangat membara.

 

***

 

Catatan

Abah: ayah (penyebutan untuk orang yang dituakan).

 

Fauzi Rohmah, S.Pd. adalah guru Bahasa Indonesia SMPN 1 Kusan Hilir Kapubaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd., dosen PBI, FISH, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).