Krisis Literasi, Sebuah Alarm?
Oleh: Agus Sholeh
Pendidikan Indonesia sedang dihadapkan pada krisis yang mengkhawatirkan, dan rendahnya tingkat literasi siswa menjadi salah satu gejala utamanya. Baru-baru ini, sebuah video viral di TikTok (akun @sarah_2293) yang diunggah oleh seorang guru SMP, membuka mata banyak orang tentang realita ini.
Dalam video tersebut, sang guru dengan nada prihatin mengungkapkan fakta mengejutkan: banyak siswa SMP di Indonesia masih belum bisa membaca dengan baik. Meskipun seharusnya sudah menguasai keterampilan dasar tersebut sejak di bangku SD, kenyataannya, banyak siswa masih tertinggal dalam hal literasi dasar. Tak jarang, para guru terpaksa memberikan pelajaran tambahan di luar jam sekolah untuk membantu siswa yang masih kesulitan mengenali alfabet.
Fenomena ini hanyalah sebagian kecil dari masalah besar dalam sistem pendidikan kita. Berdasarkan survei PISA (Programme for International Student Assessment) yang dilakukan oleh OECD, Indonesia terus berada di posisi terbawah dalam hal literasi membaca. Pada survei terbaru, Indonesia berada di peringkat ke-72 dari 78 negara.
Hasil ini tidak hanya menandakan kurangnya kompetensi dalam membaca, tetapi juga menunjukkan bagaimana sistem pendidikan kita belum mampu membekali siswa dengan keterampilan literasi yang memadai. Padahal, kemampuan literasi yang kuat sangat penting untuk memahami materi pelajaran yang lebih kompleks, terutama ketika siswa memasuki jenjang SMP dan jenjang lebih tinggi.
Dalam konteks global yang semakin kompetitif dan didorong oleh teknologi, rendahnya tingkat literasi ini dikhawatirkan menjadi semakin serius. Generasi muda Indonesia diharapkan mampu berpikir kritis, menganalisis informasi, dan beradaptasi dengan perubahan yang cepat, namun keterbatasan literasi akan menghambat mereka mencapai potensi tersebut. Selain itu, kurangnya penerapan metode pembelajaran yang berbasis Self-Directed Learning (SDL), Self-Regulated Learning (SRL), atau Autonomous Learning memperparah masalah ini.
Banyak siswa di Indonesia masih sangat bergantung pada instruksi guru dan tidak memiliki inisiatif atau kesadaran pribadi untuk belajar secara mandiri. Ketergantungan ini, di satu sisi, menciptakan pola pikir pasif yang membuat mereka tidak siap menghadapi tantangan dunia modern.
Untuk menghadapi krisis ini, perlu ada upaya serius guru atau pendidik dalam meningkatkan learner engagement—keterlibatan siswa secara aktif dan mandiri dalam proses belajar. Ketika siswa terlibat secara mendalam dalam proses pembelajaran, mereka tidak hanya akan meningkatkan kemampuan literasi, tetapi juga akan lebih siap menghadapi tantangan akademis maupun kehidupan sehari-hari.
Inisiatif ini membutuhkan sinergi antara guru, sekolah, orang tua, dan pemerintah. Dengan pendekatan yang lebih holistik, kita bisa membangun generasi yang tidak hanya mampu membaca, tetapi juga memiliki kemampuan berpikir kritis dan keterampilan literasi yang relevan untuk era globalisasi.
Learner Engagement sebenarnya bisa sebagai salah satu solusi untuk keterkejutan kita.karena ketika siswa terlibat secara aktif, mereka cenderung lebih termotivasi, fokus, dan berpartisipasi penuh dalam pembelajaran. Engagement dapat diterapkan untuk meningkatkan literasi dan kemampuan pembelajaran mandiri adalah sebagai berikut.
Pertama, cognitive engagement: membuat siswa terlibat secara intelektual, mendorong mereka untuk menjadi penasaran dan mencari jawaban sendiri. Ini dapat meningkatkan literasi melalui eksplorasi mandiri terhadap bacaan dan teks yang dipelajari.
Kedua, emotional engagement: menciptakan hubungan emosional yang positif dengan pembelajaran, sehingga siswa merasa senang dan puas dengan kemajuan mereka. Hal ini dapat meningkatkan motivasi intrinsik dan memicu pembelajaran mandiri, di mana siswa merasa bertanggung jawab atas keberhasilan mereka,
Ketiga, social engagement: interaksi dengan teman sekelas dan guru melalui diskusi kelompok atau kolaborasi sangat penting dalam membangun kemampuan berpikir kritis dan membaca secara mendalam.
Keempat, physical and technology engagement: menggunakan teknologi interaktif atau aktivitas kinestetik, seperti permainan edukasi atau alat bantu visual, dapat memperkuat keterlibatan siswa dalam membaca dan belajar secara mandiri. Teknologi ini memungkinkan siswa mengakses sumber belajar di luar kelas dan memperdalam literasi mereka.
Mengapa engagement dalam pembelajaran penulis sarankan untuk memaksimalkan motivasi dan keterlibatan siswa. Berikut beberapa alasan penulis mengapa engagement sangat penting yaitu karena learning engagement (a) meningkatkan motivasi, siswa yang terlibat cenderung memiliki motivasi internal yang kuat untuk belajar dan merasa tertantang oleh materi, (b) meningkatkan pemahaman dan retensi (keterlibatan aktif membantu siswa memahami materi dengan lebih mendalam dan lebih mampu mengingat informasi), (c) membangun lingkungan kelas yang positif (engagement menciptakan budaya kolaboratif di dalam kelas, di mana siswa saling mendukung dan berkolaborasi), dan (d) mengembangkan keterampilan sosial (aktivitas kolaboratif dapat membantu siswa mengembangkan keterampilan sosial yang penting, seperti komunikasi dan kerja sama).
Ada relevansi kah antara learning engagement dengan pembelajaran deep learning yang sedang digagas oleh menteri pendidikan sekarang dan diharapkan menyelesaikan pendidikan yang dianggap tertingga. Karena deep learning adalah salah satu bagian dari machine learning yang menggunakan jaringan syaraf tiruan (neural networks) dengan banyak lapisan (layer) untuk menganalisis data dan membuat keputusan atau prediksi maka learning engagement sangat penting dalam konteks deep learning, baik dari sisi pedagogi maupun teknologi, karena keduanya saling berhubungan dalam meningkatkan efektivitas dan hasil pembelajaran, terutama dalam penggunaan teknologi canggih seperti AI dan deep learning dalam pendidikan.
Engagement atau keterlibatan dalam pembelajaran memainkan peran kunci dalam membangun motivasi intrinsik siswa. Siswa yang terlibat dengan aktif dalam materi atau aktivitas pembelajaran cenderung lebih termotivasi untuk terus belajar dan mengatasi tantangan. Dalam deep learning, ketika teknologi digunakan untuk membuat pengalaman pembelajaran lebih personal dan interaktif, siswa akan merasa lebih terhubung dan tertarik untuk terus terlibat.
Deep learning memungkinkan pembuatan sistem pembelajaran yang sangat adaptif dan personal. Learning engagement berperan penting karena hanya siswa yang terlibat secara aktif dalam pembelajaran yang dapat merasakan manfaat dari sistem yang dipersonalisasi ini. Sistem pembelajaran berbasis AI yang menggunakan deep learning dapat memonitor kemajuan siswa dan secara otomatis menyesuaikan materi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan mereka, sehingga membuat pembelajaran lebih menarik dan bermakna. (****)
Agus Sholeh adalah anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI) dan dosen Pendidikan Bahasa Inggris Universitas PGRI Kanjuruhan Malang.