KPU SIDOARJO DIDUGA BERANGUS KEBEBASAN PERS; AWS Segera Lapor DKKP
Selain melapor ke DKKP, AWS juga tengah menjajaki kemungkinan membawa ke rana hukum karena kebijakan KPU Sidoarjo yang melarang wartawan itu berindikasi kuat melanggar UU Pers No. 40 Tahun 1999 .
NUSADAILY - SIDOARJO: Kebijakan KPU Kabupaten Sidoarjo membatasi wartawan saat meliput acara penetapan dan pengundian pasangan calon (Paslon) Pilkada 2024, berbuntut. Puluhan insan pers melalui wadah Aliansi Wartawan Sidoarjo (AWS), segera melayangkan surat pengaduan ke Dewan Komisi Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKKP).
Langkah ini ditempuh setelah beberapa wartawan melakukan kajian atas kebijakan KPU tersebut. Di antara mereka yang melakukan kajian, terdapat Ludy Pramono, Saiful Bahkri, M. Asadilah, Loetfi Hermawan, Imam, Agus Soetopo dan beberapa insan pers lainnya yang selama ini bertugas di Sidoarjo, pada Rabu (25/9) siang.
Hasilnya disimpulkan; bahwa kebijakan KPU membatasi wartawan, jelas-jelas merupakan tindakan berindikasi melangar UU Pers No. 40 Tahun 1999. Di mana, KPU sebagai institusi pemerintah yang bertugas melaksanakan pesta demokrasi, sepatutnya memberikan ruang kepada wartawan untuk meliput kegiatan penetapan dan pengundian nomor paslon untuk kepentingan informasi ke publik.
Namun jutru KPU membuat kebijakan menjurus tindakan yang memberangus kebebasan pers. Caranya mengeluarkan kartu (keplek) media dengan jumlah terbatas, berikut parameternya tidak jelas,--siapa dan media bagaimana dinilai memenuhi syarat mendapatkan kartu identitas tersebut. Sehingga para insan pers sempat saling berebut untuk mendapatkan kartu media yang dikeluarkan KPU tersebut.
Dalam kajian ini juga disimpulkan, langkah KPU mengeluarkan kartu media itu sah-sah saja, sebagai bentuk identifikasi terhadap pekerja media yang meliput kegiatan tersebut. Hanya saja, ketika ada sejumlah wartawan yang tidak kebagian,--tidak mendapatkan keplek identitas dari KPU itu, semestinya tetap diperbolehkan menjalankan tugas keprofesian, apalagi yang diliput merupakan kegiatan pleno terbuka untuk umum.
Pagar gedung KPU Sidoarjo yang ditutup saat pengundian nomor urut Paslon Pilkada, termasuk wartawan tidak bisa masuk meski menunjukkan kartu pers untuk melakukan liputan.
Namun yang terjadi justru pihaknya melakukan pelarangan. Bahkan beberapa wartawan yang terlanjur masuk di halaman KPU, telah diusir beberapa stafnya dengan meminta bantuan petugas polisi. Meski beberapa wartawan mencoba menyakinkan sedang bertugas dengan menunjukan kartu pers, tetap saja tidak digubris.
Padahal kartu pers itu dikeluarkan perusahaan media bersangkutan, atau kartu pers dari PWI, maupun kartu pers dikeluarkan Dewan Pers dan organisasi kewartawanan lainnya, tetap saja tidak berlaku. Istilahnya, masih kalah "sakti" dengan kartu keplek media yang dikeluarkan KPU Sidoarjo.
Sehingga wartawan yang diperbolehkan meliputi kegiatan itu hanya mereka yang bisa menunjukkan keplek identitas media dikeluarkan KPU setempat. Ironisnya lagi, mereka dengan kesewenangannya mengusir wartawan yang sudah terlanjut masuk halaman kantor KPU setempat. “Jika ini dibiarkan bisa menjadi preseden buruk ke depannya. Harus ada klarifikasi dari KPU, dan kami pun segera mengirim pengaduan ke DKKP,” kata Loetfi, wartawan harian Duta, salah satu inisiator pelaporan ke DKKP atas permasalahan tersebut.
Dia menambahkan untuk memperkuat pengaduan ini sudah ada 20 orang wartawan yang tanda tangan, mendukung langkah tersebut. “Kami juga masih membuka ruang bagi teman-teman lain untuk ikut bergabung dengan sebuah kebebasan pers yang bertanggungjawab sesuai diatur dalam UU Pers itu,” ujarnya.
Langkah ini segera ditempuh, lantaran pihaknya menganggap tak ada niat baik dari pihak KPU Sidoarjo untuk menyelesaikan masalah ini. "Mereka sendiri yang menutup pintu dialog dengan kami sebagaimana yang disebut Fauzan (Ketua KPU Sidoarjo-red) di WA grup," ujar Loetfi, seraya menambahkan selain ke DKPP pihaknya juga tengah menjajaki kemungkinan membawa masalah ini ke ranah pidana karena sangat kuat memenuhi unsur pelanggaran UU Pers No. 40 Tahun 1999.
Senada dikatakan Ludy maupun Agus Sutopo bahwa hal ini patut dijadikan KPU sebuah pembelajaran sekaligus koreksi. “Bahwa kami media mempunyai tanggung jawab terhadap kebutuhan informasi publik. Kami sangat mendukung pelaporan ke DKPP,” ujarnya. (*/Cak ful)