Ketika Wacana Coblos Partai Kembali Mengemuka

"Memang saya mendapatkan informasi bahwa ada pihak yang sedang mengajukan judicial review (JR). Apakah Hasyim menjadi bagian yang mendorong pihak yang mengajukan JR tersebut? Atau apakah MK sudah mengambil keputusan yang cuma Hasyim yang tahu?" ujarnya.

Dec 30, 2022 - 17:38
Ketika Wacana Coblos Partai Kembali Mengemuka
Ilustrasi Pemilu

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia mempertanyakan kapasitas Ketua KPU Hasyim Asy'ari soal pernyataan kemungkinan Pemilu 2024 kembali memakai sistem proporsional tertutup atau coblos hanya partai.

Menurut Politisi partai Golkar ini, hal itu hanya bisa terjadi jika ada revisi undang-undang yang prosesnya mesti matang.

"Itu saudara Hasyim dalam kapasitas apa mengeluarkan pernyataan seperti itu. KPU adalah institusi pelaksana undang-undang. Sementara bila ada perubahan sistem pemilu itu artinya ada perubahan Undang-Undang. Perubahan UU hanya terjadi bila ada revisi UU, terbitnya Perppu yang melibatkan DPR dan pemerintah atau berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi," kata Doli dalam keterangannya, Kamis (29/12).

Doli menyinggung pihak yang sedang mengajukan judicial review terkait pelaksanaan sistem Pemilu. Ia lantas mempertanyakan apakah Ketua KPU menjadi salah satu yang mendorong proses itu.

"Memang saya mendapatkan informasi bahwa ada pihak yang sedang mengajukan judicial review (JR). Apakah Hasyim menjadi bagian yang mendorong pihak yang mengajukan JR tersebut? Atau apakah MK sudah mengambil keputusan yang cuma Hasyim yang tahu?" ujarnya.

Lebih lanjut, Doli berharap MK bisa netral dalam menyikapinya isu ini. Menurutnya, pembahasan UU Pemilu, partai politik, dan UU politik mesti dilakukan dengan banyak pertimbangan.

"Jadi kalaupun mau diubah, harus melalui revisi UU yang harus dilakukan kembali lagi kajian yang serius. Karena itu akan menyangkut masa depan sistem politik dan demokrasi Indonesia," tutur Doli.

"Itulah kenapa dua tahun lalu Komisi II mendorong adanya revisi UU. Bila terjadi perubahan pasal secara parsial dan sporadis satu atau dua pasal berdasarkan putusan MK. Apalagi kita sudah memasuki tahapan Pemilu seperti saat ini, maka itu dapat menimbulkan kerumitan baru dan bisa memunculkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaan Pemilu 2024," sambungnya.

Pernah Didorong PDIP
Wasekjen Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Syaiful Huda juga mengulas kemungkinan Pemilu 2024kembali proporsional tertutup. Huda mengungkap bahwa hal tersebut sempat didorong PDIP.

"Terkait dengan isu ini kan sempat memang didorong oleh teman-teman PDIP setahu saya, mungkin teman-teman bisa cross check ke teman-teman PDIP waktu itu semangatnya ingin pragmatisme politik tidak terlalu berlebihan," kata Huda di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (29/12).

Huda menilai sistem profesional terbuka lebih mengedepankan sosok figur daripada partai. Menurutnya mungkin saja hal itu pragmatis lantaran publik lebih memilih figur bukan partainya.

"Ketika figur yang harus berkompetisi di dalam internal partai sendiri, mungkin dirasa di situlah lalu pragmatisme itu berpotensi ada, karena masyarakat, publik, memilih figur bukan partai. Partai akhirnya menjadi pilihan kedua setelah dominasi kuat dari kerja kampanye caleg-caleg," jelasnya.

Selanjutnya, Huda menyatakan tak mungkin sistem proporsional tertutup dilakukan jika merujuk ke Perppu. PKB melihat sistem proporsinal terbuka sudah bagus.

"Itu nggak mungkin ya, karena undang-undangnya sudah proporsional terbuka dan di Perpu tidak ada sama sekali, terkait isu terkait dengan sistem kepemilihan kita itu tetap profesional terbuka," tutur Huda.

"Sampai hari ini, proporsional terbuka saya kira pilihan yang relatif sudah bagus lah, bahwa nanti akan ada skema baru dan seterusnya kita hitung lagi pada periode berikutnya Pemilu 2029, tidak menutup kemungkinan," jelas Huda.

Wacana Coblos Partai Mencuat

Kemungkinan Pemilu 2024 berjalan secara sistem proporsional tertutup sangat terbuka lebar. Artinya, pemegang hak pilih Pemilu 2024 bisa mencoblos partai politik (parpol), bukan calon anggota legislatif (caleg) seperti pemilu sebelumnya.

Wacana coblos parpol berangkat dari sejumlah orang yang mengaku kader parpol menggugat UU Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Mereka meminta Pemilu 2024 menggunakan proporsional tertutup karena proporsional terbuka dinilai banyak cela dan celahnya.

"Pemohon selaku pengurus parpol, berlakunya norma pasal a quo berupa sistem proporsional berbasis suara terbanyak ini telah dibajak oleh caleg pragmatis yang hanya modal 'populer dan menjual diri' tanpa ikatan dengan ideologi dan struktur parpol," kata pemohon dalam salinan permohonan yang dilansir website MK, Kamis (17/11) lalu.

Pemohon itu adalah:
1. Demas Brian Wicaksono (pengurus PDIP Cabang Probolinggo)
2. Yuwono Pintadi (anggota Partai NasDem)
3. Fahrurrozi (bacaleg 2024)
4. Ibnu Rachman Jaya (warga Jagakarsa, Jaksel)
5. Riyanto (warga Pekalongan)
6. Nono Marijono (warga Depok)

"Tidak memiliki ikatan dengan ideologi dan struktur parpol, tidak memiliki pengalaman dalam mengelola organisasi parpol atau organisasi berbasis sosial politik," tambah alasan pemohon menguraikan kekurangan proporsional terbuka.

Akibat sistem proporsional terbuka, saat menjadi anggota DPR/DPRD seolah-olah mewakili organisasi parpol. Namun, aslinya mewakili dirinya sendiri.

"Oleh karena itu, seharusnya ada otoritas kepartaian yang menentukan siapa saja yang layak menjadi wakil partai di parlemen setelah mengikuti pendidikan politik, kaderisasi dan pembinaan ideologi partai," ucapnya.

Alasan lainnya, proporsional terbuka dinilai melahirkan liberalisme politik atau persaingan bebas. Yakni menempatkan kemenangan individual yang total dalam pemilu.

"Padahal seharusnya kompetisi terjadi antar parpol di arena pemilu sebab peserta pemilu adalah parpol, bukan individu sebagaimana dinyatakan dalam ketentuan Pasal 22E ayat 3 UUD 1945," bebernya.

Kemungkinan Coblos Parpol
Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengungkapkan ada kemungkinan Pemilu 2024kembali ke sistem proporsional tertutup. Hasyim mengulas sistem itu sedang dibahas melalui sidang di Mahkamah Konstitusi.

"Ada kemungkinan, saya belum berani berspekulasi, ada kemungkinan kembali ke sistem proporsional daftar calon tertutup," ujar Hasyim dalam sambutan acara Catatan Akhir Tahun 2022 KPU RI, di kantor KPU, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (29/12) kemarin.

Hasyim mengatakan sistem proporsional terbuka dimulai sejak Pemilu 2009 berdasarkan putusan MK. Dia mengatakan dengan begitu, maka kemungkinan hanya keputusan MK yang dapat menutupnya kembali.

"Maka sejak itu Pemilu 2014, 2019, pembentuk norma UU tidak akan mengubah itu, karena kalau diubah tertutup kembali akan jadi sulit lagi ke MK," ujarnya.

"Dengan begitu, kira-kira polanya kalau yang membuka itu MK, ada kemungkinan yang menutup MK," sambungnya.

Oleh karena itu, Hasyim mengimbau bakal calon anggota legislatif untuk tidak melakukan kampanye dini. Karena menurutnya, masih ada kemungkinan untuk kembali ke sistem proporsional tertutup.

"Maka dengan begitu menjadi tidak relevan, misalkan saya mau nyalon pasang gambar-gambar di pinggir jalan, jadi nggak relevan. Karena apa? Namanya nggak muncul lagi di surat suara. Nggak coblos lagi nama-nama calon. Yang dicoblos hanya tanda gambar parpol sebagai peserta pemilu," tuturnya.(han)