Ketika Putusan MK tentang UU Ciptaker Dinyatakan Inkonstituonal Dijawab Jokowi dengan Perppu

"Kalau perang Ukraina-Rusia yang belum juga usai benar-benar amat membahayakan perekonomian Indonesia sehingga diterbitkan perppu, mengapa pembangunan ibu kota baru terus dilanjutkan? Mana sense of crisis atau sense of urgency-nya?" tulis Faisal dalam akun resmi Twitternya @FaisalBasri, dikutip Senin (2/1).

Jan 3, 2023 - 15:50
Ketika Putusan MK tentang UU Ciptaker Dinyatakan Inkonstituonal Dijawab Jokowi dengan Perppu

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja).

Perppu itu dibuat untuk menjawab putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mengklaim perppu ini sudah sesuai dengan Putusan MK Nomor 38/PUU7/2009 dan telah mengubah sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja sesuai dengan putusan MK.

Beberapa di antaranya soal ketenagakerjaan, upah minimum, tenaga alih daya, harmonisasi peraturan perpajakan, dan hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Airlangga berdalih perppu diterbitkan dengan alasan; kondisi mendesak. Ia mengatakan ekonomi Indonesia kian dihantui ancaman resesi global hingga stagflasi.

"Pertimbangannya adalah kebutuhan mendesak, pemerintah perlu mempercepat antisipasi terhadap kondisi global, baik yang terkait ekonomi kita menghadapi resesi global, peningkatan inflasi, kemudian ancaman stagflasi," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Jumat (30/12).

Namun, penerbitan Perppu Cipta Kerja ini menuai kritik dari berbagai pihak, mulai dari buruh hingga ekonom.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK) Mirah Sumirat mengatakan kalau tetap dilaksanakan, perppu tersebut, khususnya yang berkaitan dengan klaster ketenagakerjaan bisa semakin membuat pekerja semakin miskin. Hal ini terlihat dari sejumlah pasal.

Misalnya pasal mengenai kompensasi pesangon dan uang penghargaan masa kerja yang diterima buruh korban PHK. Ia menilai  pasal itu cukup merugikan karena berkurang dibandingkan aturan lama.

Sebagai perbandingan, dalam UU Ketenagakerjaan besaran uang pesangon yang diterima buruh korban PHK paling banyak dibatasi 10 bulan gaji. Sementara dalam Perppu Cipta kerja, pesangon dibatasi maksimal hanya 9 bulan gaji.

Buruh juga memandang sistem upah yang berlaku dalam Perppu Cipta Kerja merugikan karena buruh berpotensi mendapatkan upah yang rendah.

Berdasarkan pasal 88F Perpu Cipta Kerja, formula penetapan upah minimum bisa diubah dalam keadaan tertentu.

Upah minimum dihitung dengan menggunakan formula penghitungan upah minimum yang mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

"Upah dihitung tanpa memperhitungkan kebutuhan hidup layak rakyat Indonesia," katanya dalam pernyataannya Sabtu (31/12) lalu.

Variabel perhitungan upah dalam perppu tersebut berbeda dengan yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Dalam beleid itu, upah minimum provinsi (UMP) dihitung dengan turut memperhitungkan komponen kebutuhan hidup layak (KHL).

Sementara Ekonomi Senior INDEF Faisal Basri mempertanyakan alasan yang dipakai pemerintah menerbitkan perppu; demi menyelamatkan ekonomi negara. Pasalnya, di tengah kondisi ekonomi negara yang diklaim pemerintah sedang terancam, justru mereka tetap ngotot melanjutkan pembangunan IKN.

"Kalau perang Ukraina-Rusia yang belum juga usai benar-benar amat membahayakan perekonomian Indonesia sehingga diterbitkan perppu, mengapa pembangunan ibu kota baru terus dilanjutkan? Mana sense of crisis atau sense of urgency-nya?" tulis Faisal dalam akun resmi Twitternya @FaisalBasri, dikutip Senin (2/1).

Lantas benarkah ekonomi negara sedang terancam sehingga perppu harus diterbitkan?

Ekonom Core Yusuf Rendy Manilet menilai kondisi ekonomi dalam negeri maupun global sebenarnya tidak tepat dijadikan alasan urgensi penerbitan Perppu Cipta Kerja. Ia mengatakan kondisi ekonomi tahun ini relatif mirip dengan yang dihadapi pada 2022 dan 2021.

Bahkan tahun ini, beberapa faktor yang menjadi penyebab pelemahan ekonomi, salah satunya covid-19, sudah mulai melandai.

"Atas dasar itu, menurut saya kurang cocok menjadikan posisi genting perekonomian global dan domestik sebagai alasan diterbitkannya perppu ini," ujar Yusuf kepada CNNIndonesia.com, Senin (2/1).

Yusuf menambahkan alasan penerbitan perppu ini bisa saja untuk melanjutkan reformasi struktural yang digadang-gadang pemerintah selama ini. Namun waktu penerbitan perppu dinilai relatif singkat dan tanpa didahului diskusi publik.

Di sisi lain, pemerintah ia nilai tidak konsisten dengan regulasi yang diterbitkannya. Pasalnya Perppu Cipta Kerja dinilai mirip dengan UU Cipta kerja yang sebenarnya sedang diminta oleh Mahkamah Konstitusi untuk diperbaiki.

"Kenapa kemudian pemerintah tidak menunggu atau memperbaiki UU Cipta kerja sebelumnya tanpa harus mengeluarkan Perppu ini? Hal ini tentu akan mengundang tanda tanya," ujar Yusuf.

Yusuf menambahkan beberapa pasal dalam UU Cipta Kerja memang memberikan kepastian untuk iklim investasi di Indonesia dan tentunya menumbuhkan harapan investor masuk ke Indonesia.

Hanya perlu diingat bahwa kacamata investor perlu dilihat dari berbagai sisi, tidak hanya masalah insentif dan regulasi yang kemudian ditawarkan dalam UU Cipta Kerja, tetapi juga bagaimana pelaksanaannya di lapangan.

Untuk mengukur pelaksanaan UU Cipta Kerja, Yusuf menilai berbagai pendekatan yang bisa digunakan. Salah satunya melihat bagaimana pengalaman pemerintah selama ini dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan.

Jika melihat ke belakang, Yusuf mengatakan pemerintah pernah mengeluarkan beragam paket kebijakan ekonomi dari 1 hingga 14. Namun, beberapa implementasi paket kebijakan tersebut menemui kendala karena berbagai kesalahan.

"Hal inilah yang menurut saya juga akan menjadi penilaian investor ketika ingin berinvestasi, melihat track record pemerintah dalam menjalankan suatu kebijakan apakah akan mulus dalam tahapan implementasi atau tidaK," ujarnya.

Yusuf mengatakan cara penilaian investor tersebut yang kemudian juga akan mempengaruhi apakah UU Cipta kerja dapat mendorong investasi atau tidak.

Senada, Direktur Segara Institue Piter Abdullah menilai tidak ada kegentingan yang membuat pemerintah harus segera menerbitkan Perppu Cipta Kerja. Ia mengatakan kondisi ekonomi global pada tahun ini memang diprediksi suram, tetapi ekonomi Indonesia dinilai akan baik-baik saja.

Hal itu setidaknya terlihat dari lembaga-lembaga internasional yang memproyeksi pertumbuhan Indonesia mencapai 4,5 persen hingga 5 persen di tahun ini.

"Perekonomian Indonesia diyakini akan baik-baik saja. Alasan utama Perppu (diterbitkan) saya kira adalah bukan kegentingan. Pemerintah tidak perlu menempuh Perppu yang menurut saya hanya menambah kontroversi dari UU Cipta Kerja," ujar Pitter.

Ia pun mempertanyakan mengapa pemerintah tidak melakukan perubahan UU Cipta Keraja secara normal, seperti yang diminta Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, cara itu lebih tepat dan tidak mengundang terlalu banyak pertanyaan atau bahkan spekulasi negatif.

Sementara itu, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan dalam pasal 22 ayat 1 UUD 1945, presiden memang berhak menetapkan Perppu dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Pengertian atau batasan kapan dan bagaimana presiden menentukan "hal ihwal kegentingan mendesak" tidak diatur secara jelas dalam beleid itu.

Namun Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009 telah menentukan tiga syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa. Salah satunya adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan uu yang berlaku.

Melihat indikator kebutuhan yang mendesak, Bhima menilai Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi kriteria tersebut. Pasalnya kondisi kegentingan yang disebut memaksa diterbitkannya Perppu bertolak belakang dengan asumsi makro ekonomi APBN 2023 dimana pertumbuhan ekonomi sebesar 5,3 persen. Angka itu dinilai cenderung tinggi.

"Kalau ekonomi masih tumbuh positif, kenapa pemerintah menerbitkan Perppu? Harusnya pemerintah turunkan dulu asumsi pertumbuhan tahun depan menjadi minus, baru ada kondisi yang mendesak untuk terbitkan Perppu," ujar Bhima.

Bhima menilai ancaman krisis akibat perang Ukraina pun sejauh ini justru menguntungkan harga komoditas batubara dan sawit. Hal itu setidaknya terlihat dari surplus perdagangan berturut turut yang terjadi di 2022 yang merupakan windfall dari adanya perang Rusia-Ukraina.

Ia juga menilai kehadiran Perppu Cipta Kerja justru menciptakan ketidakpastian kebijakan. Ini akan kontradiktif terhadap minat berinvestasi khususnya penanaman modal asing (PMA).

"Padahal investor perlu kepastian regulasi jangka panjang. Investor bisa ragu untuk masuk tahun 2023 kalau aturan berubah-ubah," ujar Bhima.

Di sisi lain, tidak ada jaminan investasi bisa meningkat pasca Perppu Cipta Kerja diterbitkan. Sejauh ini, lanjut Bhima, banyak aturan turunan cipta kerja sudah berjalan, tapi jumlah investasi yang mangkrak masih tinggi.

Oleh karena itu, Bhima menyarankan DPR untuk membuka ruang partisipasi publik dalam pembahasan Perppu Cipta Kerja sebelum ditetapkan sebagai undang-undang.

Pemerintah juga diminta secara terbuka, obyektif serta rasional menjelaskan kriteria "kegentingan yang memaksa" dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja.(han)