Ketika PN Jakpus Bermanuver Putuskan Tunda Pemilu 2024, Alarm Bahaya Demokrasi?

Putusan itu berawal ketika Partai PRIMA merasa dirugikan oleh KPU dalam melakukan verifikasi administrasi partai politik yang ditetapkan dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu. Pasalnya, akibat verifikasi KPU tersebut, Partai PRIMA dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual.

Mar 3, 2023 - 17:53
Ketika PN Jakpus Bermanuver Putuskan Tunda Pemilu 2024, Alarm Bahaya Demokrasi?

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Masyarakat Indonesia tersentak dan tercengang, mendengar putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda tahapan Pemilu 2024.

Putusan ini merupakan konsekuensi PN Jakarta Pusat yang mengabulkan seluruh gugatan perdata Partai Rakyat Adil dan Makmur (PRIMA) terhadap KPU.

"Mengadili, menghukum tergugat [KPU] untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini dibacakan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang dua tahun empat bulan tujuh hari," demikian amar putusan tersebut.

Pengadilan menyatakan KPU telah melakukan perbuatan melawan hukum.

Putusan itu berawal ketika Partai PRIMA merasa dirugikan oleh KPU dalam melakukan verifikasi administrasi partai politik yang ditetapkan dalam Rekapitulasi Hasil Verifikasi Administrasi Partai Politik Calon Peserta Pemilu. Pasalnya, akibat verifikasi KPU tersebut, Partai PRIMA dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) dan tidak bisa mengikuti verifikasi faktual.

Dalam gugatannya, Partai PRIMA mencermati jenis dokumen yang sebelumnya dinyatakan TMS, ternyata juga dinyatakan Memenuhi Syarat (MS) oleh KPU dan hanya ditemukan sebagian kecil permasalahan.

Partai PRIMA menyebut KPU tidak teliti dalam melakukan verifikasi yang menyebabkan keanggotaannya dinyatakan TMS di 22 provinsi.

Terkini, Pihak KPU lantas mengajukan banding atas putusan PN Jakarta Pusat ini. Parpol hingga pakar hukum tata negara pun bersuara mengenai putusan PN Jakarta Pusat itu.

Bahkan Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin menduga putusan itu kian membenarkan asumsi yang mencurigai masih ada kelompok yang menghendaki Pemilu 2024 ditunda.

"Suasana kacau ini makin membenarkan asumsi publik bahwa masih saja ada kekuatan yang menghendaki pemilu 2024 ditunda," ucap politikus PKB itu dalam keterangannya, Kamis (2/3).

Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menilai putusan PN Jakarta Pusat ini sebagai cerminan manuver pihak yang ingin menunda pemilu atau memperpanjang jabatan presiden di Indonesia masih terus bergulir.

"Saya juga berpikiran ini masih ada upaya pihak-pihak untuk menunda pemilu. Penundaan pemilu ini secara politis masih mengemuka hanya dengan manuver yang berbeda," kata Wasisto, Jumat (3/3).

Wasis sependapat putusan PN Jakarta Pusat jadi puncak wacana penundaan pemilu yang kerap digaungkan oleh pelbagai pihak selama ini menjadi kenyataan.

Ia mengatakan pelbagai aspirasi yang ingin menunda pemilu seakan mendapatkan legitimasinya dengan putusan pengadilan tersebut.

"Usaha merevitalisasi wacana penundaan pemilu tentu pada akhirnya bertujuan menciptakan konstruksi narasi bahwa aspirasi penundaan pemilu itu merata," kata dia.

Terpisah, Pengamat politik dari Universitas Esa Ungguli Jamiluddin Ritonga berpendapat putusan pengadilan ini menandakan upaya para petualang politik terus mencari celah untuk menunda Pemilu.

"Hal itu mereka lakukan untuk dapat lebih lama mempertahankan kekuasaan," kata Jamiluddin.

Jamiluddin menilai bila berkuasa lebih lama, tentu akan dibarengi dengan pengumpulan kapital yang besar. Ia mengatakan kondisi ini terjadi karena keuntungan dari modal awal yang dikeluarkan belum memadai.

"Karena itu, segala cara akan dilakukan agar pemilu dapat ditunda. Semua cara akan dijadikan justifikasi dalam menunda pemilu. Hal itu akan terus mereka lakukan hingga pemilu dapat ditunda," kata dia.

Melihat ini, Jamiluddin lantas meminta masyarakat untuk mengawasi gerakan para pihak yang ingin menunda pemilu ini. Baginya, kondisi demikian sudah merusak demokrasi di Indonesia.

"Kelompok ini dikhawatirkan akan memanfaatkan putusan PN Jakarta Pusat tersebut," kata dia.

Sementara itu, pakar hukum tata negara Feri Amsari menilai PN Jakarta Pusat tidak mempunyai wewenang untuk menunda tahapan Pemilu 2024 secara nasional.

Dia menyatakan PN Jakarta Pusat telah menentang konstitusi terkait putusan perkara tersebut.

"Tidak diperkenankan pengadilan negeri memutuskan untuk menunda Pemilu karena itu bukan yurisdiksi dan kewenangannya, tidak dimungkinkan untuk itu berdasarkan prinsip dan ketentuan di konstitusi," ujar Feri, Kamis (2/3).

"Saya melihat memang ini ancaman bagi kita semua, demokrasi kita bisa terganggu kalau ada pengadilan negeri atau pengadilan bisa melanggar ketentuan Undang-Undang Dasar 1945," kata akademisi dari Universitas Andalas itu.

Kronologi wacana penundaan pemilu sejak 2021
Sejatinya, wacana penundaan pemilu hingga perpanjangan masa jabatan presiden sudah berlangsung sejak 2021 silam.

Wacana itu bahkan muncul dari mulut pembantu presiden dan partai di dalam koalisi pemerintahan Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

Pada November 2021, Menteri Investasi atau Kepala BKPM Bahlil Lahadalia mengatakan tunda pemilu 2024 sebagian merupakan usulan dari pengusaha untuk memulihkan ekonomi pascapandemi Covid-19.

Pihak Istana Kepresidenan lalu buru-buru mengoreksi dengan menegaskan pernyataan Bahlil itu bukanlah sikap Jokowi.

Selain itu beberapa hari kemudian KSP menegaskan Jokowi tak ingin perpanjangan masa jabatan presiden atau pun tiga periode.

Wacana itu tak berhenti, pada Februari 2022, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) muncul mengusulkan agar pemilu ditunda dua tahun.

Hampir senada Bahlil, Cak Imin yang juga Wakil Ketua DPR itu menggunakan pula dalih pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19.

Suara partai politik, terutama di dalam koalisi pemerintahan Jokowi dan di DPR, pun terbelah menyikapi usulan wacana penundaan pemilu itu.

Sementara Cak Imin dalam keterangannya pada 26 Februari 2022 mengklaim dari analisa big data perbincangan media sosial terhadap 100 subyek akun, sebanyak 60 persen mendukung penundaan pemilu dan 40 persen menolak.

Berbeda dengan klaim Cak Imin, hasil survei LSI yang dirilis pada 3 Maret 2022 malah mendapati mayoritas masyarakat menolak wacana penundaan Pemilu 2024 maupun memperpanjang masa jabatan presiden.

Setidaknya 70-75 persen responden LSI menolak penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden dengan dalih pemulihan ekonomi karena pandemi hingga memastikan proyek Ibu Kota Negara (IKN) yang baru di Kalimantan Timur.

Hasil survei yang tak jauh berbeda ditemukan LSN yang dirilis dalam waktu berdekatan, di mana mayoritas respondennya menolak wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Wacana itu belum pupus seutuhnya, pada bulan yang sama pada 2022 silam Menko Marves yang juga dikenal sebagai 'tangan kanan' Jokowi, Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap big data yang mendukung penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Lewat klaim big data itu, Luhut menyatakan penundaan Pemilu 2024 sah-sah saja jika telah ditetapkan oleh MPR.

Hingga 5 April 2022 di istana, Jokowi memerintahkan para menteri untuk setop bicara penundaan pemilu. Hal itu ia sampaikan dalam Sidang Kabinet Paripurna di Istana Kepresidenan Jakarta, Selasa (5/4).

Pernyataan itu ia sampaikan setelah sejumlah menteri sibuk mewacanakan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.

Menteri-menteri tersebut adalah Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia, dan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian.

Lalu di ujung tahun 2022, Gubernur Lemhannas Andi Widjajanto mengatakan kajian pihaknya melihat wacana penundaan pemilu yang mencuat beberapa waktu belakangan tidak didukung modalitas politik.

Sementara itu para pengamat, pakar hukum tata negara, aktivis, hingga ormas pun bersuara wacana penundaan pemilu.

PP Muhammadiyah salah satunya, yang pada 26 Februari 2022 meminta agar elite parpol di Indonesia menyudahi gaduh polemik usulan penundaan Pemilu 2024.

Wacana itu sebelumnya disebut akan beriringan dengan potensi masa jabatan presiden yang diperpanjang.

Sementara itu, Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan putusan PN Jakpus yang memerintahkan KPU menunda tahapan Pemilu 2024 harus dilawan.

Ia mendukung KPU mengajukan banding atas putusan pengadilan yang mengabulkan gugatan Partai Prima itu.

"Kita harus melawan secara hukum vonis ini. Ini soal mudah, tetapi kita harus mengimbangi kontroversi atau kegaduhan yang mungkin timbul," kata Mahfud dalam unggahannya di akun Instagram @mohmahfudmd, Kamis (2/3).

KPU pun sudah menyatakan akan mengajukan banding atas putusan PN Jakpus itu.

Riuh Protes Putusan PN Jakpus Soal Tunda Tahapan Pemilu
Sejumlah pihak melayangkan protes terhadap putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan penundaan tahapan Pemilu 2024.

Sebagian menganggap putusan majelis hakim dalam perkara gugatan Partai Prima itu melangkahi wewenang dalam memutus perkara Pemilu. Sebagian lagi menuding putusan itu bahkan melanggar Undang-Undang Dasar.

Kritik dilayangkan oleh hampir semua fraksi di DPR, terutama oleh Komisi II DPR sebagai mitra Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia membuka peluang pihaknya segera memanggil KPU di tengah masa reses terkait rencana banding atas putusan tersebut.

"Bila perlu kalau sepakat pimpinan komisi sama kapoksi [Kapoksi fraksi], sebelum masa sidang kita rapat dahulu," ucap Doli, Kamis (2/3).

\Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi NasDem, Saan Mustopa mendorong KPU segera melakukan langkah hukum atas putusan perkara tersebut. Saan menilai PN Jakpus juga melangkahi wewenang.

Sebab, mereka menurut dia tak berhak menyidangkan perkada Pemilu yang mestinya hanya boleh dilakukan lewat Bawaslu dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTUN). Saan mengku heran PN Jakpus masih menerima dan menyidangkan perkara tersebut.

"Nah harusnya PN ketika ada pengajuan sengketa proses, paham betul UU itu kan, harusnya tidak menerima. Bukan hanya memutus tapi juga tidak boleh menerima terkait gugatan itu," kata Saan saat dihubungi, Kamis (2/3).

Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PKB, Yanuar Prihatin menilai putusan PN Jakpus janggal, aneh, dan tidak lazim.

Selain dianggap melangkahi wewenang, putusan tersebut terlalu luas, alih-alih hanya memutus perkara gugatan Partai Prima yang dinyatakan tak memenuhi syarat administrasi oleh KPU sebagai peserta pemilu.

"Seakan tidak ada lagi kepastian hukum dan hubungan kewenangan antar institusi di negara ini. Semua lembaga bisa semau-maunya bikin putusan," kata Yanuar.

"Suasana kacau ini makin membenarkan asumsi publik bahwa masih saja ada kekuatan yang menghendaki pemilu 2024 ditunda," imbuhnya.

Di luar parlemen, pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai PN Jakpus soal perintah menunda tahapan Pemilu 2024 keliru.

Yusril menjelaskan putusan itu adalah gugatan perdata dan hanya perbuatan melawan hukum biasa, bukan gugatan atas perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Sehingga, kata dia, sengketa antara Partai Prima sebagai penggugat dengan KPU selaku tergugat, tidak boleh menyangkut pihak lain.

"Saya berpendapat majelis hakim telah keliru membuat putusan dalam perkara ini," ucap Yusril dalam keterangannya, Kamis (2/3).

Yusril menyebut dalam kasus gugatan perbuatan melawan hukum oleh Partai Prima, jika gugatan ingin dikabulkan majelis hakim, putusan itu hanya mengikat Partai Prima sebagai penggugat dan KPU sebagai tergugat.

"Tidak mengikat partai-partai lain, baik calon maupun sudah ditetapkan sebagai peserta pemilu," katanya.

"Jadi kalau majelis berpendapat bahwa gugatan Partai Prima beralasan hukum, maka KPU harus dihukum untuk melakukan verifikasi ulang terhadap Partai Prima, tanpa harus mengganggu partai-partai lain dan mengganggu tahapan Pemilu," tambahnya.

Sementara itu Ketum PRIMA Agus Jabo Priyono meminta putusan PN Jakpus terkait penundaan tahapan Pemilu 2024 hingga Juli 2025 harus dihormati.

"Kami berharap semua pihak menghormati putusan PN Jakarta Pusat yang menghukum KPU untuk tidak melaksanakan sisa tahapan pemilu," ujar Agus dalam keterangannya, Kamis (2/3).

Agus meminta hal itu agar lembaga peradilan tetap terjaga wibawanya setelah memutus gugatan perdata yang dilayangkan Partai Prima pada 8 Desember 2022 tersebut.

"Agar kita terhindar dari perbuatan, tingkah laku, sikap dan/atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat dan kehormatan badan peradilan," tuturnya.

PN Jakpus Langgar Konstitusi soal Tunda Pemilu 2024

Terpisah, Pakar Hukum Tata Negara dari STIH Jentera Bivitri Susanti menilai Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tidak berwenang dalam memutuskan penundaan tahapan Pemilu 2024. Bahkan, PN Jakarta Pusat menurutnya telah melanggar konstitusi.

Bivitri menjelaskan forum penundaan pemilu hanya dapat digugat melalui Mahkamah Konstitusi (MK) ataupun keputusan politik DPR.

Namun ia juga mengingatkan dalam UU Pemilu tidak ada celah atau potensi penundaan Pemilu apabila tidak dengan alasan urgensi yang genting.

"Jadi melanggar hukum sebetulnya putusan ini, melanggar konstitusi bahkan," kata Bivitri, Kamis (2/3).

Bivitri mengaku heran, PN Jakarta Pusat mengabulkan gugatan Partai Rakyat Adil dan Makmur (Prima) terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU). Putusannya, PN Jakpus meminta KPU untuk menunda tahapan Pemilu 2024 hingga Juli 2025

Ia menilai seharusnya sedari awal PN Jakarta Pusat menolak perkara yang diajukan Partai Prima lantaran bukan kewenangannya.

Menurutnya, perkara gugatan Prima yang merasa dirugikan oleh KPU dalam melakukan verifikasi administrasi, seharusnya diselesaikan lewat Bawaslu dan kemudian berjenjang ke PTUN.

"Tapi PN apalagi untuk kasus perdata ini tidak bisa memutuskan seperti ini. Jadi memang keliru ini, saya kira harus diramaikan, karena kita harus cek kenapa hakim bisa memutus seperti ini," kata dia.

Bivitri pun curiga dan merasa ada sosok di belakang Prima yang kemudian sengaja dan bisa meloloskan perkara mereka ke PN Jakarta Pusat. Dengan demikian, solusi yang bisa dilakukan saat ini adalah tergugat yakni KPU melakukan banding ke Pengadilan Tinggi.

Selain itu, Bivitri juga berharap ada upaya luar biasa, misalnya Mahkamah Agung (MA) yang melakukan pembinaan terutama pada hakim PN Jakarta Pusat yang memutuskan penundaan tahapan Pemilu 2024 ini.

Humas PN Jakarta Pusat Zulkifli Atjo menegaskan putusan tersebut belum memperoleh kekuatan hukum tetap atau inkrah lantaran KPU menyatakan banding.(han)