Ketika Perang Rusia-Ukraina Disebut Kegentingan yang Memaksa hingga Terbitkan Perppu Ciptaker

Feri pun menilai tidak ada kegentingan memaksa sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 yang bisa dijadikan dalih presiden mengeluarkan Perppu. Alasan dampak perang Rusia-Ukraina sebagaimana disampaikan pemerintah dinilai tak relevan.

Dec 31, 2022 - 00:25
Ketika Perang Rusia-Ukraina Disebut Kegentingan yang Memaksa hingga Terbitkan Perppu Ciptaker

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Pengajar dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera Bivitri Susanti menilai Presiden Joko Widodo mengambil jalan pintas agar keputusan politik pro pengusaha cepat keluar lewat penerbitan Perppu No. 2/2022 tentang Cipta Kerja.

Perppu dimaksud mencabut Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

"Ini sama saja presiden ingin mengambil jalan pintas supaya keputusan politik pro pengusaha ini cepat keluar, menghindari pembahasan politik dan kegaduhan publik," ujar Bivitri, melalui pesan tertulis, Jumat (30/12).

"Ini langkah culas dalam demokrasi, pemerintah benar-benar membajak demokrasi," sambungnya.

Bivitri menyatakan saat ini tidak ada kegentingan memaksa seperti yang ditentukan dalam Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 dan Putusan MK Nomor: 138/PUU-VII/2009 yang membuat presiden bisa mengeluarkan Perppu.

Bivitri tak bisa menerima alasan pemerintah yang menyebut salah satu kegentingan memaksa adalah dampak perang Rusia-Ukraina terhadap perekonomian Indonesia.

Dia menjelaskan setidaknya ada tiga kategori kegentingan yang memaksa sebagaimana Putusan MK Nomor: 138/PUU-VII/2009. Pertama, ada kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan UU.

Kedua, UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU melalui prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama, sedangkan keadaan yang mendesak memerlukan kepastian untuk diselesaikan.

"[Dampak perang] kejauhan," imbuhnya.

Dia pun meminta DPR untuk menolak Perppu Cipta Kerja tersebut.

"Menurut UUD dan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, DPR nanti pada masa sidang pertama setelah ini harus membahasnya danbisa menolak. Tidak harus menerima," kata Bivitri.

"DPR kalau masih mau dibilang paham demokrasi dan negara hukum, harusnya tidak menyetujui Perppu ini nanti ketika dibahas," katanya.

Presiden Jokowi menyebut keputusan menerbitkan Perppu karena ada ancaman ketidakpastian global. Indonesia sewaktu-waktu bisa terkena dampak dari ketidakpastian itu. 

Jokowi bilang pemerintah mengantisipasi ketidakpastian itu lewat Perppu untuk memberi kepastian hukum kepada para investor dalam dan luar negeri.

"Karena ekonomi kita ini di 2023 akan sangat bergantung pada investasi dan ekspor," ujar Jokowi di Istana Negara.

DPR Harus Menolak
Sementara, Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Padang Feri Amsari menilai tindakan Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) tentang Cipta Kerja adalah inkonstitusional.

Pasalnya, UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK mengamanatkan perbaikan dalam jangka waktu dua tahun hingga 25 November 2023.

"Ini jelas-jelas langkah inkonstitusional yang ditempuh oleh presiden. Padahal, MK meminta perbaikan dua tahun UU tersebut," ujar Feri, melalui pesan tertulis, Jumat (30/12).

Feri pun menilai tidak ada kegentingan memaksa sebagaimana ketentuan Pasal 22 ayat 1 UUD 1945 yang bisa dijadikan dalih presiden mengeluarkan Perppu. Alasan dampak perang Rusia-Ukraina sebagaimana disampaikan pemerintah dinilai tak relevan.

"Presiden harus cermat dan taat kepada konstitusi bukan mengakalinya dengan berbagai cara untuk pembenaran langkah-langkah politisnya," ucap Feri.

"Jika presiden tak memahami ketatanegaraan, mestinya seluruh lingkaran di sekelilingnya yang tidak paham diberhentikan saja," sambungnya.

Ahli hukum tata negara Refly Harun meminta DPR menolak Perppu tentang Cipta Kerja.

Sebab, terang dia, MK mengamanatkan UU Cipta Kerja agar diperbaiki bukan dengan mengeluarkan Perppu.

"Walaupun selama ini Perppu merupakan subjektivitas presiden, tetapi harusnya ada ukuran objektif di DPR untuk menolak dan menerima. Demikian pula MK, ada ukuran konstitusionalitasnya untuk membatalkan," terang Refly.

Dia menilai tak ada kegentingan yang memaksa terkait penerbitan Perppu ini. Pemerintah, lanjut Refly, ingin mau cepat saja.

"Dari namanya, Perppu itu haruslah bersifat 'kegentingan yang memaksa'. Ini gentingnya di mana?" kata Refly.

"Pemerintah ingin mudahnya saja padahal tidak ada kegentingan apa-apa. Harusnya DPR tolak Perppu itu, kalau tidak MK yang batalkan," katanya.

Namun, Refly pesimis dengan MK saat ini.

"Secara teoretis Perppu itu bisa dibawa ke MK lagi dan MK bisa batalkannya kalau committed dengan putusan terdahulu. Kalau MK sudah masuk angin lain soal, kan MK sudah berubah komposisinya," imbuhnya.

Koordinator Tim Kuasa Hukum Putusan Nomor: 91/PUU-XVIII/2020 (perkara Cipta Kerja) Viktor Santoso Tandiasa menuturkan ada dua opsi untuk melawan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh presiden.

Pertama, dengan menguji Perppu ke MK. Kedua, menunggu Perppu disahkan menjadi Undang-undang (UU) untuk kemudian menguji UU dimaksud ke MK.

"Saat sudah ada Perppu maka langkahnya ke MK untuk mengoreksi hal tersebut, tapi permasalahannya sidang MK bisa berlaku lama dan Perppu akan sudah berubah menjadi UU saat dibawa ke DPR untuk disetujui menjadi UU," kata Viktor.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan Perppu Cipta Kerja telah memenuhi syarat kegentingan yang memaksa.

Dampak perang Rusia-Ukraina terhadap perekonomian Indonesia menjadi dalih penerbitan Perppu tersebut.

Airlangga berujar Perppu dimaksud mengubah sejumlah ketentuan dalam UU Cipta Kerja sesuai dengan putusan MK.

Beberapa di antaranya terkait ketenagakerjaan upah minimum tenaga alih daya, harmonisasi peraturan perpajakan dan hubungan pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan Perppu ini sekaligus menggugurkan status inkonstitusional bersyarat UU Cipta Kerja.(han)