Ketika Korban HAM 1965 Desak Jokowi Cabut Aturan yang Dianggap Diskrimnatif

"Jokowi harus segera cabut, evaluasi UU warisan Orba, kalau tidak dilakukan, jadi omong kosong penyelesaian 65," kata Bedjo, Rabu (11/1).

Jan 12, 2023 - 15:50
Ketika Korban HAM 1965 Desak Jokowi Cabut Aturan yang Dianggap Diskrimnatif

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Bedjo Untung, Korban pelanggaran HAM berat 1965, mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi), mencabut sejumlah aturan perundang-undangan warisan Orde Baru yang diskriminatif terhadap korban 1965.

Menurut Bedjo langkah itu seharusnya dilakukan jika Jokowi benar-benar ingin memulihkan hak korban.

"Jokowi harus segera cabut, evaluasi UU warisan Orba, kalau tidak dilakukan, jadi omong kosong penyelesaian 65," kata Bedjo, Rabu (11/1).

Beberapa aturan yang dimaksud Bedjo salah satunya Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 28/1975 tentang Perlakuan terhadap Mereka yang Terlibat Gerakan 30 September (G30S) Golongan C.

Pasal 1 Kepres tersebut berbunyi golongan C adalah mereka yang terlibat atau diduga terlibat secara tidak langsung dalam peristiwa pemberontakan G30S. Orang yang dikategorikan ini dicabut beberapa haknya, termasuk hak bekerja.

Lalu, Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) Nomor 25 Tahun 1966. Salah satu isinya, melarang menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya.

Menurut Bedjo, larangan tersebut tak seharusnya ada. Apalagi, dilanggengkan lewat Kitab Undang-undan Hukum Pidana (KUHP).

"Ada juga surat Mendagri. Sampai sekarang masih ada larangan enggak boleh masuk ABRI, dokter, guru, ini belum dicabut. Harusnya kan adil, fair," kata dia.

Bedjo ingin peristiwa 1965 diadili di pengadilan. Menurutnya, ada ribuan orang yang tidak bersalah menjadi korban dalam kejahatan kemanusiaan itu.

"Artinya persoalan 65 khususnya yang saya alami harus dibuka sejelas-jelasnya agar tidak ada fitnah, labelisasi, stigmatisasi dan diskriminasi kepada kami," ujarnya.

Dia mendesak Jokowi untuk mengeluarkan surat keputusan presiden terkait rehabilitasi umum.

"Kami para korban sudah mengalami penderitaan disiksa, ditahan, kerja paksa, supaya mengeluarkan surat keputusan presiden tentang rehabilitasi umum," ujarnya.

"Untuk memulihkan kondisi para korban semacam seperti sebelum terjadi peristiwa karena kami tidak bersalah tapi hak-hak kami diambil. Hak ekonomi, politik, sosial, masa muda kami habis," imbuhnya.

Sebelumnya, Jokowi menyatakan ia mengakui adanya kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Tanah Air. Ia pun menyesalkan berbagai pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam berbagai peristiwa.

"Dengan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Rabu (11/1).

Dalam kesempatan itu, Jokowi menyebutkan 12 kasus pelanggaran HAM berat terjadi di Indonesia.

Ia menyebut antara lain peristiwa 1965-1966, penembakan misterius tahun 1982-1985, tragedi Rumah Geudong di Aceh tahun 1989, penghilangan orang paksa di tahun 1997-1998, dan kerusuhan Mei 1998.

Korban 65 Respons Jokowi

Korban pelanggaran HAM berat 1965, Martin Aleida mengatakan pengakuan Presiden Joko Widodo saja tak cukup dalam mengatasi kasus-kasus HAM berat. 

Martin menyebut proses hukum harus tetap jalan sampai tuntas. Meski sebagian pelaku sudah meninggal dunia, Martin meyakini masih ada yang tersisa.

"Pertanyaannya apakah orangnya masih hidup? Komandannya sudah tidak ada tapi orang yang ikut pada peristiwa itu, tukang pukul, tukang ceburkan ke laut itu mungkin masih ada," kata Martin, Rabu (11/1).

"Jokowi bagus mengakui tapi ini bukan yang terakhir. Harusnya ada penyelidikan. kalau kita mau berbuat baik untuk memulihkan keadaan," imbuhnya.

Martin menjelaskan peristiwa 65 adalah kejahatan luar biasa. Jutaan orang dibantai karena dianggap atau dicap komunis.

Jumlah orang yang menjadi korban saat itu melebihi, jumlah orang yang meninggal di Indonesia karena Covid-19 sekarang ini.

Sejumlah orang ditangkap tanpa diadili, termasuk dirinya. Martin yang kala itu sebagai penulis dan wartawan ditangkap bersama enam orang kawannya dalam penangkapan besar-besaran yang dilakukan militer terhadap orang-orang diduga terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia.

Martin bercerita dirinya disiksa, dipukuli saat ditahan. Tak sampai setahun dia dilepaskan. Usai bebas dari tahanan, dia dan Pramoedya Ananta Toer didampingi oleh LBH untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.

Akibat penangkapan itu, dia kehilangan banyak hal. Dia menuntut ganti rugi sebesar Rp1 miliar. Namun, pengadilan menolak gugatan itu. Menurutnya, Jokowi harus memperhatikan preseden semacam ini. Keadilan hukum untuk korban 65 masih sulit.

"Saya kehilangan kendaraan, pekerjaan, mereka (LBH) hitung Rp1 miliar. Pram juga ikut diajukan LBH. Pengadilan menolak karena ini dianggap enggak bener salah tuntut. Keadaannya seperti itu," jelas dia.

Ungkap fakta kebenaran
Martin tahu Jokowi tidak terlibat langsung dalam pelanggaran HAM 65. Namun, Jokowi mempunyai kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kesalahan negara pada masa lampau.

"Anda mengatakan tidak terlibat pada waktu itu, betul. Tapi anda presiden. presiden dari negara yang berdiri sejak 45. Anda harus terima tanggung jawab sebagai negara," ucapnya.

"Bangsa ini sudah rusak, dan itu anda warisi. Kalau anda presiden anda tanggung jawab," tegasnya lagi.

Martin menjelaskan pemulihan hak korban bukan sekadar kompensasi. Korban 65 juga mengalami stigma negatif dari masyarakat karena narasi yang diproduksi sebagai dalih pembantaian masih bergulir sampai saat ini.

Reproduksi itu berjalan karena pemutaran film yang dibuat oleh rezim orde baru masih diperbolehkan. Selain itu, buku-buku di sekolah masih memuat narasi yang salah.

Menurutnya, pemerintah harus mengungkap fakta yang sebenarnya dan meluruskan sejarah.

"Langkah pertama itu saya rasa. Karena dulu anak wajib nonton film, buku sejarah di sekolah harus ditulis ulang karena itu yang membuat orang lain tidak percaya apa yang diberitakan benar yang di luar narasi pemerintah," ujarnya.

Sastrawan Putu Oka Sukanta yang dipenjara saat rezim Orde Baru selama 10 tahun dari 1966, tanpa adanya proses pengadilan juga menyambut baik pengakuan Jokowi terhadap kasus pelanggaran HAM berat.

Namun, kata Putu, pernyataan Jokowi itu baru pengantar. Putu berpendapat yang terpenting dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat adalah aksi nyata.

Putu menjelaskan pemulihan dan penegakan keadilan tak berhenti di pengadilan dan kompensasi. Menurutnya, masih ada aturan yang mendiskreditkan korban 65.

"Ini positif semua tapi belum ada action. Kita sambut saja. Akan kah sampai menggapai dirontokkannya UU dan aturan mendekriminasikan dan dehumanisasi terhadap kami, belum tahu. Kita lihat nanti seperti apa," ujar dia.

"Pemulihan korban seperti apa? Apakah seperti sodaqoh? Kita enggak tahu. Jadi kita sambut saja sebagai pendahuluan," imbuhnya.(cnn/han)