Ketika China Minta APBN Menjadi Penjamin Pinjaman Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Bukan hanya tak mau menurunkan bunga, China juga kekeh minta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi penjamin untuk pinjaman untuk proyek tersebut.

Apr 14, 2023 - 01:21
Ketika China Minta APBN Menjadi Penjamin Pinjaman Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) kembali menjadi sorotan usai Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan gagal menegosiasikan keinginan pemerintah Indonesia agar bunga pinjaman proyek itu turun dari 4 persen ke 2 persen.

Dari hasil negosiasi Luhut dengan China, Negeri Tirai Bambu hanya mau menurunkan bunga utang kereta cepat di level 3,4 persen.

Adapun total pinjaman yang dinegosiasikan Indonesia ke China Development Bank (CDB) sebesar US$560 juta atau Rp8,3 triliun (kurs Rp14.841 per dolar AS).

Utang itu akan digunakan untuk membiayai pembengkakan biaya (cost overrun) KCJB sebesar US$1,2 miliar atau Rp17,8 triliun.

Pinjaman itu akan diberikan kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero) atau KAI sebagai pimpinan konsorsium Indonesia di PT KCIC. KAI lalu memberikan uang pinjaman untuk operasional KCIC selaku pihak yang bertanggung jawab pada proyek KCJB.

Pinjaman tersebut merupakan bagian dari struktur pembiayaan KCJB yang membuat China dan Indonesia yang ikut menanggung beban cost overrun, di mana 25 persen berasal dari ekuitas konsorsium dan 75 persen dari pinjaman dari CBD.

Pemerintah sendiri sudah menyuntikkan penyertaan modal negara (PMN) Rp3,2 triliun ke KAI untuk memenuhi porsi ekuitas konsorsium Indonesia di KCIC.

Sedangkan dalam porsi pinjaman 75 persen, Indonesia menanggung 60 persen dan China 40 persen. Maka dari itu porsi utang Indonesia adalah 75 persen dikalikan US$1,2 miliar kemudian dikalikan 60 persen sehingga diperoleh sekitar US$560 juta.

Luhut menyebut pemerintah tidak akan menyerah dan akan kembali bernegosiasi agar bunga pinjaman utang itu bisa di bawah 3,4 persen.

"Kemarin dia sudah mau turun dari 4 persen, tapi angkanya kita mau lebih rendah lagi. Offer pertama 3,4 persen dari 4 persen, tapi kita masih ingin lebih rendah lagi kalau bisa. Maunya kita 2 (persen)," ujar Luhut dalam konferensi pers, Senin (10/4).

Kendati demikian, Luhut yakin pemerintah mampu membayar bunga 3,4 persen tersebut. Ia berharap jangan pernah ada yang meragukan pemerintah di tengah penerimaan pajak yang tokcer.

"Enggak ada masalah. Kamu kok meragukan negaramu sih. Kamu jangan underestimate, negara kita makin efisien makin baik. Lihat penerimaan pajak kita naik 48,6 persen tahun lalu. Karena banyak efisiensi, efisiensi batu bara efisiensi mesin segala macam. Itu kadang kita nggak sadar," pungkasnya.

Bukan hanya tak mau menurunkan bunga, China juga kekeh minta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menjadi penjamin untuk pinjaman untuk proyek tersebut.

Namun Luhut tak mengiyakan permintaan China itu. Ia justru merekomendasikan penjaminan dilakukan melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) alias PII.

"Memang masih ada masalah psikologis ya, jadi mereka (China) maunya dari APBN. Tapi kita jelaskan prosedurnya akan panjang. Kami dorong melalui PT PII karena ini struktur yang baru dibuat pemerintah Indonesia sejak 2018," kata Luhut.

Lantas apa dampak yang dirasakan Indonesia jika China tidak mau menurunkan bunga dan meminta APBN sebagai jaminan?

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan meski China tidak mau menurunkan bunga, bukan berarti Indonesia berpotensi gagal bayar. Hanya saja, beban utang yang ditanggung akan sangat berat dan ujungnya akan mengandalkan APBN.

"Kalau asumsinya penerimaan pajak tinggi sehingga kemampuan bayar utang tinggi itu sepertinya kurang tepat. Bisa dilihat rasio pajak kita kan jelek naik turun di 8-10 persen, itu pun kemarin karena dapat durian runtuh batu bara saja jadi naik, tahun ini rasio pajaknya turun lagi," kata Bhima kepada CNNIndonesia.com, Rabu (12/4).

Namun, Bhima mengatakan kalau sampai utang tersebut gagal dibayar, maka konsesi pengelolaan kereta cepat bisa diambil alih kreditur China. Bahkan pemasukan dari tiket kereta pun akan langsung jadi pendapatan kreditur.

Gagal bayar utang juga bisa berimbas pada merosotnya rating surat utang pemerintah di mana investor tidak lagi percaya, dan bisa membuat rupiah melemah cukup dalam karena keluarnya dana asing. Defisit APBN pun bisa melebar dan sulit ditutup dengan penerbitan utang baru.

Menurut Bhima, yang menjadi masalah sebenarnya bukan soal negosiasi bunga, tapi persoalan menanggung biaya risiko cost overrun. Kalau bicara bunga, imbuhnya, pemerintah Indonesia yang tetap keluar uang baik melalui BUMN maupun APBN langsung.

"Pengajuan pinjaman baru untuk menutup cost overrun hanya untungkan pihak kreditur karena pembengkakan biaya juga dimulai dari kesalahan proses perencanaan di awal atau feasibility study. Waktu itu proses perencanaan proyek over optimis dan kreditur menawarkan bunga murah, tapi begitu dijalankan ada biaya bengkak. Apa semua full tanggung jawab BUMN dan pemerintah Indonesia? Ini kan kurang fair," kata Bhima.

Di lain sisi, Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan pernyataan Luhut yang menyebut bahwa tak masalah dengan bunga sebesar itu karena pendapatan pajak Indonesia bagus adalah tidak tepat.

Pasalnya, pendapatan pajak bukan hanya untuk membayar utang, tetapi bisa digunakan untuk hal lainnya yang jauh lebih penting.

"Jika tiba-tiba dikaitkan dengan penerimaan pajak negara, apakah memang Pak Luhut berasumsi bahwa kereta cepat memang tak akan untung dan tak akan mampu membayar utangnya sehingga harus dikaitkan dengan pajak?" kata Ronny.

Kemudian, Ronny menilai utang kereta cepat tak terkait dengan uang pajak dan APBN, melainkan terkait prospek bisnis kereta cepat karena utang atas nama KCIC. Maka dari itu, KCIC lah yang harus membayar dan bertanggung jawab atas semua utang tersebut.

Ia pun mengatakan pasti ada alasan dibalik China meminta APBN sebagai penjamin pinjaman.

"Apakah di mata China bisnis kereta cepat tidak layak dan berpotensi tidak mampu membayar utangnya sehingga China meminta jaminan APBN?," kata Ronny.

Ronny mengatakan pemerintah tak bisa memutuskan sendiri penambahan utang dan bunganya atau keputusan untuk menjaminkan APBN, apalagi hanya melalui Luhut. Keputusan itu harusnya disetujui oleh DPR sebagai perwakilan pembayar pajak.

"Setiap pengalokasian, atau setiap upaya untuk menjaminkan APBN sebaiknya harus dibicarakan dan dinegosiasikan dengan DPR," kata Ronny.

Sementara itu, Peneliti Celios Andri Perdana mengatakan kalau proyek KCJB benar-benar business to business (B2B), maka seharusnya tidak memakan anggaran APBN sama sekali.

Sayangnya, pada kenyataannya pemerintah justru memberikan PMN dari dana APBN untuk menambal biaya pembengkakan proyek tersebut.

"Dan sekarang China meminta APBN menjadi jaminannya. Artinya, jika kereta cepat dan BUMN kita besok pailit sekalipun, Indonesia tetap harus membayar utang ini menggunakan dana APBN," ujar Andri.

Andri mengatakan jika APBN digunakan untuk membayar utang kereta cepat maka fiskal akan terbebani hingga puluhan tahun untuk membayar beban utang proyek yang uji kelayakannya dinilai tidak rasional.

Padahal, masih banyak diperlukan investasi di daerah-daerah yang saat ini belum memiliki infrastruktur kereta api sama sekali.

Andri menilai China berani tidak mau menurunkan bunga menjadi 2 persen karena tahu pemerintah Indonesia akan kekeh melanjutkan proyek KCJB. Pasalnya, pemerintah sudah terlanjut jor-joran mengeluarkan biaya besar demi proyek tersebut.

Pada akhirnya, Indonesia mau tak mau akan menerima beban bunga dari cost overrun yang sejatinya sangat jauh dari kesepakatan awal di proyek tersebut.

"Alih-alih menunjukkan jika negara kita bisa membayar, pemerintah kita sekarang justru menunjukkan betapa lemahnya posisi kita yang bersedia untuk dipalak," kata Andri.(han)