Kereta Cepat Jakarta - Bandung Tuai Sorotan, Ada Apa?
Namun demikian, pengelola proyek tersebut yaitu PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) membantah jika kereta yang anjlok pada Minggu (18/12) sekitar pukul 17.00 WIB di Desa Cempaka Mekar, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat itu bukanlah rangkaian kereta cepat.
NUSADAILY.COM – JAKARTA – Beragam sorotan mulai dari pembiayaan, kontrak pengelolaan dan kecelakaan kerja datang silih berganti terhadap kereta cepat Jakarta- Bandung (KCJB).
Sorotan teranyar adalah insiden anjloknya kereta kerja pemasang rel proyek yang memakan korban dua orang tewas dan lima korban lainnya mengalami luka berat.
Namun demikian, pengelola proyek tersebut yaitu PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) membantah jika kereta yang anjlok pada Minggu (18/12) sekitar pukul 17.00 WIB di Desa Cempaka Mekar, Padalarang, Kabupaten Bandung Barat itu bukanlah rangkaian kereta cepat.
"Tetapi rangkaian kereta kerja berupa lokomotif kerja dan mesin pemasangan rel (ballasted)," kata Corporate Secretary KCIC Rahadian Ratry dalam keterangan resmi, Minggu (18/12).
Imbas insiden tersebut, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) menghentikan sementara pembangunan proyek KCJB.
Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati menjelaskan penghentian dilakukan di ruas jalur terdampak insiden kereta anjlok yang terjadi pada lokasi Track Laying KCJB pada ruas jalur DK 102+309.
Selain itu, usai identifikasi dan investigasi yang dilakukan Direktorat Jenderal Perkeretaapian (DJKA), temuan dan hasil rekomendasi yang bisa dijadikan acuan untuk meningkatkan aspek keselamatan pada proyek pembangunan perkeretaapian akan dilaporkan.
Jika melihat ke belakang, insiden yang terjadi di proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tak hanya sekali terjadi.
Tahun lalu, salah satu tiang proyek KCJB roboh dan menimpa eskavator di Teluk Jambe, Karawang.
Presiden Direktur KCIC Dwiyana Slamet Riyadi saat itu mengatakan robohnya tiang tersebut bermula saat ditemukan kesalahan pemasangan pilar (pier) dari hasil evaluasi oleh tim peninjau kualitas dan konsultan supervisi perusahaan.
Dari hasil temuan, akhirnya pihaknya memutuskan kontraktor harus membongkar ulang (rework) untuk membangun kembali atau menggeser pilar sesuai spesifikasi teknis yang sudah ditetapkan. Sayangnya, pada saat pembongkaran, pilar justru jatuh.
"Betul adanya bahwa saat dilakukan pekerjaan rework pembongkaran pier, kontraktor lalai dalam melaksanakan SOP, sehingga pier menimpa ekskavator yang digunakan," ujar Dwiyana dalam keterangan resmi, tahun lalu.
Dwiyana mengatakan perusahaan langsung memanggil kontraktor dan memberi teguran atas kesalahan pemasangan yang berujung insiden tersebut. Pasalnya, hal ini tidak sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan tim engineering dan SSHE.
Kendati begitu, ia memastikan tidak ada korban jiwa dalam insiden pilar jatuh tersebut. Sebab, operator di dalam eskavator telah berhasil menyelamatkan diri lebih dulu sebelum tertimpa pilar.
Tak hanya itu, insiden juga pernah terjadi saat pipa Pertamina di lokasi proyek KCJB terbakar pada 2019 silam. Kebakaran diakibatkan adanya bored pile (pondasi dalam bentuk tabung) PT KCIC yang mengenai pipa bahan bakar Pertamina yang menghubungkan Bandung - Cilacap.
Kebakaran pipa Pertamina tersebut terjadi pada 22 Oktober 2019 pukul 14.00 WIB di wilayah Cimahi, tepatnya di pinggir tol Padalarang-Buah Batu, Jawa Barat. Tidak ada korban jiwa dalam insiden tersebut.
Pembangunan proyek KCJB juga menyebabkan banjir di Tol Padaleunyi, Jawa Barat pada 2020 lalu. PT Jasa Marga (Persero) mengatakan banjir bukan karena tidak berfungsinya sistem drainase jalan tol, melainkan karena pembangunan KCJB di sisi jalan tol yang sedang melaksanakan pekerjaan struktur bore pile dan pile cap.
Pada akhir Februari 2020, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sempat meminta kepada PT KCIC menunda pengerjaan proyek KCJB selama dua pekan. Hal ini juga akibat banjir di Tol Jakarta-Cikampek akibat gorong yang tersumbat proyek KCJB.
Menanggapi berbagi insiden yang terjadi dalam proses pembangunan proyek KCJB, Ketua Forum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Aditya Dwi Laksana mengatakan hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai tanda bahwa KCJB nantinya tidak aman digunakan. Namun menunjukkan keselamatan konstruksi belum menjadi prioritas dalam pembangunan proyek KCJB.
"Beberapa insiden ketika konstruksi KA cepat ini dibangun seperti terbakarnya pipa Pertamina, banjir di tol, perobohan pilar tidak sesuai prosedur dan anjloknya lokomotif kerja menunjukkan bahwa keselamatan konstruksi seolah belum menjadi prioritas," ujarnya kepada CNNIndonesia.com, Selasa (20/12).
Aditya menjelaskan bahwa pada sektor transportasi, keselamatan tidak hanya dari sisi operasional, tetapi juga keselamatan pra-operasi (ketika uji operasi) dan keselamatan konstruksi.
Ia menilai kecelakaan anjloknya kereta di proyek KCJB pada minggu lalu tergolong fatal dan tidak boleh terulang karena memakan korban jiwa.
Maka dari itu, investigasi mendalam perlu dilakukan terkait berbagai insiden tersebut dan insiden lainnya yang terjadi selama pembangunan proyek KCJB untuk mengetahui penyebabnya, apakah karena faktor manusia, sarana, prasarana, atau manajerial.
"Yang sebenarnya perlu dipastikan adalah apakah kecelakaan kerja dan insiden-insiden konstruksi sebelumnya terkait dengan tenggat waktu yang terlalu ketat atau bahkan tidak realistis karena bersifat kejar tayang?," ujar Aditya.
Jika penyebab insiden tersebut karena mengejar target operasional KCJB pada Juni 2023, maka target waktu tersebut perlu dievaluasi apakah masih realistis atau tidak.
Investasi juga diperlukan untuk menilai kepatuhan terhadap sistem dan prosedur konstruksi yang telah ditetapkan. Selain keselamatan konstruksi, jaminan keselamatan pra-operasi dan operasional kereta cepat juga perlu diperhatikan.
Sementara itu, pakar transportasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Sony Sulaksono Wibowo menilai anjloknya kereta di proyek KCJB merupakan kecelakaan kerja biasa yang sayangnya membawa korban jiwa.
Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) saat ini disebut sedang menyelidiki kecelakaan tersebut dan Kemenhub juga sudah meminta SOP pemasangan rel yang dilakukan.
Namun, Sony menyebut masalahnya adalah yang mengerjakan proyek KCJB merupakan kontraktor dan pegawai dari China yang tentu menggunakan SOP mereka.
"Dari kecelakaan yang beberapa kali terjadi perlu ada investigasi terkait dengan prosedur konstruksi yang biasa China lakukan. Pemerintah Indonesia harus bisa menanyakan ke pihak China bagaimana prosedur kerja mereka, K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) mereka dalam melaksanakan pekerjaan konstruksi," ujarnya.
Di sisi lain, Pengamat Transportasi dan Tata Kota Universitas Trisakti Yayat Supriatna mengatakan kecelakaan kerja pada proyek KCJB menjadi tanda bahwa teknologi baru memerlukan proses adaptasi, khususnya bagi Indonesia yang masih belum punya pengalaman dalam kereta api cepat.
Terkait kecelakaan yang terjadi, perlu diperhatikan bagaimana mekanisme pengawasan dalam konstruksi pembangunan. Selain itu, harus dilihat apakah ada mekanisme yang gagal diterapkan atau ada masalah dalam proses transisi teknologi dan pengalaman yang diberikan oleh China kepada para ahli Indonesia.
"Supaya tidak ada kecelakaan berikutnya perlu dilakukan pengawasan secara ketat. Kalau bisa zero accident atau kecelakaan nol ke depannya," ujarnya.(han)