Kasus Septia, Hiperbola Menjemput Penjara
Oleh: Dr. Wadji, M.Pd.
Rabu lalu (11/12/2024), dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, jaksa menuntut Septia Dwi Pertiwi dengan satu tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Septia dianggap melanggar pasal 27 ayat 3 Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Septia dilaporkan oleh mantan bosnya atas postingannya yang dianggap bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dalam Pasal 27 ayat 3 undang-undang itu disebutkan, “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.” Sekalipun rumusan Pasal 27 ayat 3 sudah tidak ada dalam perubahan kedua undang-undang ITE, namun sidang Septia tetap berlanjut.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transakai Elektronik rumusan pencemaran nama baik terdapat dalam Pasal 27A yakni, “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik.”
Rumusan Pasal 27A masih berpotensi menjadi pasal karet, oleh karena itu sejumlah elemen masyarakat menganggap bahwa pemerintah tidak serius menghapus pasal-pasal bermasalah dalam undang-undang ITE. Undang-undang ITE masih tetap dianggap “momok” bagi pengguna media sosial dan membelenggu kebebasan berekspresi. Dengan kata lain, hari ini pengguna media sosial tidak sedang aman-aman saja, karena bahaya laten Undang-undang ITE masih membayanginya.
Dari sisi ancaman hukuman memang dibandingkan dengan perubahan pertama, dalam perubahan kedua ada kemajuan. Semula ancaman hukuman untuk pencemaran nama baik adalah 4 tahun penjara. Hasil perubahannya pada Pasal 45 ayat 4 disebutkan, “Setiap Orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).”
Sebagian besar objek penghinaan dan pencemaran nama baik adalah tuturan di media sosial. Karena sifat tuturan bahasa yang multitafsir, maka tak seorang pun pengguna media sosial aman dari ancaman undang-undang ITE. Pasal-pasal yang bermuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sangat ampuh digunakan sebagai alat kriminalisasi, baik oleh penguasa kepada rakyatnya, atasan kepada bawahannya, sampai antar pihak yang memiliki perbedaan pandangan. Dengan cara tafsir sepihak, plus di Indonesia yang kata Pak Mahfud MD marak dengan industri hukum, sasaran tembak sulit untuk menghindar dari bidikan sang superior.
Septia Dwi Pertiwi adalah satu dari sekian banyak perempuan yang menjadi korban Undang-undang ITE. Salah satu kelompok yang paling rentan dikriminalisasi dengan Undang-undang ITE adalah perempuan. Sebelumnya setidaknya ada Baiq Nuril Maknun dan Stella Monica Hendrawan. Mereka ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Baiq Nuril Maknun adalah korban pelecehan seksual oleh atasannya. Stella Monica merupakan korban mal praktik sebuah klinik kecantikan di mana ia dirawat. Sementara itu Septia Dwi Pertiwi adalah pejuang hak pekerja yang kemudian dikriminalisasi karena postingannya di Twitter dianggap berkonten penghinaan dan/atau pencemaran nama baik atasannya. Hiperbola, sebuah bahasa kias yang ia pilih untuk mengekspresikan keluh kesahnya, tak disangka berujung mengantarkannya ke kursi pesakitan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Sementara itu dugaan kejahatan subjek yang melakukan kriminalisasi terhadap korban tak pernah diusut.
Dalam kasus yang menimpa Septia Dwi Pertiwi, sebagaimana tertera dalam Surat Dakwaan Nomor PDM 195/M.1.10/08/2024, terdapat lima tuturan yang diposting dalam waktu yang berbeda-beda di akun Twitternya. Secara umum, keseluruhan tuturan itu adalah bentuk tuturan keluh kesah Septia selama bekerja di tempat pelapor. Partisipan yang terlibat dalam kegiatan bertutur itu selain Septia adalah teman-teman sejawatnya. Mereka adalah mitra tuturnya secara langsung sebagai sasaran Septia menumpahkan segala isi hatinya sebagai mantan karyawan di tempatnya dulu bekerja. Dalam kelima tuturan itu tidak ada satupun indikasi bahwa tuturan itu ditujukan kepada personal tertentu, tetapi murni pengalamannya yang perlu dibagikan kepada teman-teman sejawatnya. Septia tidak menyebut secara spesifik subjek yang menjadi pelaku orang ketiga yang sedang dibicarakannya.
Dalam tururan 1 Septia menulis, “Pukul 23.00. Jam dimana wajar kalo ada manusia yang udah istirahat, tapi ada atasan yang marah2 karna saat beliau share prospek engga ada satupun karyawan marketingnya yang respon, sampe Call grup biar marketingnya bangun buat respon.” Tuturan ini merupakan ekspresi Septia untuk mendeskripsikan kondisi objektif dengan menyebutkan ada kegiatan yang dilakukan oleh seseorang di luar kewajaran. Dari sisi pilihan kata tidak ada satu katapun yang bermakna merendahkan seseorang. Septia bahkan memilih menggunakan kata “beliau” yang menunjukkan penghormatan kepada orang ketiga yang sedang dibicarakannya.
Dalam tuturan 2 berbunyi, "Kerja 24 Jam tanpa dibayar Lembur terlucunya kerja udah lama bukanya naik gaji malah gajinya diturunin dengan alasan udah banyak recruit karyawan." Septia memilih bahasa figuratif hiperbola untuk mengekspresikan keluh kesahnya. Kalimat “Kerja 24 Jam tanpa dibayar’ tidak bisa dimaknai bahwa Septia sedang melakukan tindakan memfitnah. Hiperbola tak perlu pembuktian sebagaimana penafsiran harfiah. Ketika saya mengatakan “Darah saya mendidih,” bukan berarti suhu darah saya mencapai lebih dari 100 derajat Celcius. Mitra tutur saya, atau siapa saja tak perlu membuktikan dengan megambil alat ukur suhu untuk mengetahui kebenaran tuturan saya. Begitu pula apa yang disampaikan oleh Septia dalam postingannya jelas tidak dimaksudkan bahwa dia bekerja 24 jam non-stop. Septia ingin menyampaikan bahwa imbalan yang diterima tak sepadan dengan tenaga dan waktu yang dikeluarkannya.
Tuturan 3 Septia merupakan respons atas pertanyaan yang diajukan oleh mitra tuturnya di Twitter yang berbunyi “siapa disini yg cita-citanya ingin punya atasan seperti pak john?” Respons Septia berbunyi, “Gamauu ah soalnya suka potong gaji karyawan sesukanya, tapi sayangnya waktu potong gaji gapernah dikontenin dan pecatin karyawanya tapi haknya gak dikeluarin yang seharusnya, slip gajipun gak pernah ada.” Dalam tuturan 3 ini Septia sedang berasumsi yang dilandasi oleh pengalamannya. Secara umum orang berasumsi adalah perbuatan yang wajar, dan tidak melanggar hukum. Sebagai contoh, saya berasumsi bahwa mencari keadilan di Indonesia sangatlah sulit. Asumsi saya berdasarkan pengalaman saya sebagai “wong cilik.” Ini mungkin berbeda dengan asumsi mereka yang memiliki kekuasaan dan modal yang banyak, hukum barangkali sangat mudah dibeli. Apa yang disampaikan oleh Septia adalah berdasarkan pengalamannya selama bekerja di tempat pelapor tidak mendapatkan hak yang semestinya harus diterimanya.
Dalam tuturan 4 Septia memosting, “Yuk bisa untuk: 1. Keluarin hak2 mantan karyawan yang belum dikeluarkan. 2. Kembalikan Ijazah & buku nikah mantan karyawan. 3. Hilangkan peraturan Internal yang engga boleh berteman dengan mantan karyawan agar tidak ada lagi korban sampai di pecat massal.” Dilihat dari implikatur percakapan, implikasi tuturan 4 ini adalah ajakan kepada semua pihak untuk menaati aturan yang berlaku. Septia sedang berjuang untuk memperoleh keadilan. Harapannya jelas, bahwa tuntutannya akan dipenuhi. Tuntutan tersebut sangat wajar, dan biasanya tuntutan karyawan kepada atasannya disampaikan dalam unjuk rasa buruh. Unjuk rasa di negara kita dilindungi oleh undang-undang. Tak ada satu undang-undang pun di negeri ini orang yang melarang orang melakukan unjuk rasa. Apa yang dilakukan oleh Septia adalah tindakan unjuk rasa di media sosial. Begitu pula dalam tuturan 5 yang berbunyi, “Ini urusin dulu dong hak nya yang belum diturunin, kan kasian udah kerja main pecat aja tapi haknya gak diturunin,” memiliki nada yang sama dengan tuturan 4.
Secara keseluruhan postingan Septia Dwi Pertiwi tidak didapati unsur penghinaan dan pencemaran nama baik. Jika penggunaan hiperbola ditafsirkan secara harfiah oleh pelapor dan aparat penegak hukum, jangan-jangan di masa depan orang takut untuk berekspresi dengan menggunakan bahasa kias. Orang akan mengeluarkan pendapat dengan bahasa lugas dengan tingkat kehati-hatian yang ekstra tinggi. Sekali postingan dengan seribu pertimbangan. Matilah kreativitas kita. (*****)
Dr. Wadji, M.Pd. adalah Redaktur Ahli Nusadaily.com, Ketua Umum Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).