Ini Kriteria Capres Versi Muhammadiyah Sejak Pemilu 2014, 2019 dan 2024 Mendatang

“Tentu kita ingin lahirnya para elit siapapun yang diusung partai manapun, baik di partai politik, di kekuatan-kekuatan masyarakat yang menjadi penyangga dari kontestasi, baik dari relawan maupun calon eksekutif betul-betul menjadi negarawan," tuturnya.“Saat ini menciptakan ruang publik untuk kontestasi 2024 itu adalah ajang para negarawan untuk mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, di atas kepentingan diri, kelompok, kroni, dinasti dan orientasi kekuasaan yang tak berkesudahan," lanjutnya.

Nov 26, 2022 - 17:36

NUSADAILY.COM - KOTA MALANG – Riuh Pemiilihan Presiden (Pilpres) dan Wakil Presiden tahun 2024 dan suksesi kepemimpinan di tanah air, masuk menjadi 9 isu strategis yang akan dibahas dalam Muktamar ke-48 Muhammadiyah dan Aisyiyah 2022 di Solo, Jawa Tengah, 18-19 Nopember mendatang.

Sikap PP Muhammadiyah di Pemilu 2014

Pemilu 2014 lalu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai sebagai momentum krusial untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu ada 7 kriteria yang diharapkan ada di seorang pemimpin Indonesia kelak.

"Terutama 2014 dipandang sebagai fase transisi kehidupan bangsa. Sekaligus transisi reformasi yang dimulai sejak tahun 1998, yang kiranya sudah cukup waktu untuk dievaluasi, koreksi, dan akhirnya konsolidasi," kata Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsudin di kantornya, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Rabu (30/10/2013).

Tujuh kriteria yang ditawarkan adalah visioner yang sesuai dengan cita-cita nasional para pendiri bangsa. Lalu nasionalis-humanis yang komitmen kebangsaannya kuat dan kemanusiaannya luhur.

"Solidarity maker yang memiliki kemampuan membangun solidaritas bangsa yang majemuk dari agama, suku, dan golongan. Risk taker yang berani mengambil risiko seperti misalnya blok mahakam itu sudah saatnya untuk kesejahteraan rakyat," kata Din.

Kemudian Din menyebutkan decisive yaitu kemampuan mengambil keputusan yang cepat, tepat, dan tegas. Problem solver yang memiliki kemampuan menyelesaikan masalah dan menggerakan sumber daya.

"Terakhir adalah morally committed, yaitu integritas moral yang tinggi sehingga tidak menyalahgunakan kekuasaan dan tidak korup," ujar Din.

Namun Din melihat bangsa Indonesia tidak mengalami krisis regenerasi pemimpin. Melainkan kurang dikenalnya para pemimpin daerah yang sebenarnya kompeten dan mampu memenuhi kriteria tersebut.

"Kami berpendapat tidak ada krisis calon. Saya kira tipe yang populis itu kita punya ribuan. Lalu ada beberapa wali kota yang bagusnya luar biasa, termasuk wali kota Bandung itu, sarjana urban design. Cuma sayang belum terangkat figur semacam itu," ujar Din.

Oleh karena itu, Din menilai berdasarkan konstitusi, perlunya kesediaan partai politik untuk mengangkat figur-figur tersebut menjadi pemimpin di masa mendatang. Namun ketika menjadi pemimpin, maka pemimpin itu harus meninggalkan partainya dan mendekat untuk kepentingan rakyat.

"Seharusnya begitu jadi pemimpin Indonesia, loyality to party is end, loyality to nation now begin," tutup Din.

Kriteria Presiden Pilpres 2019

Sedangkan pada Pilpres tahun 2019 lalu, Ketua Umum Muhammadiyah Haedar Nasir, mengungkapkan calon pemimpin yang akan didukung dalam pemilihan presiden kriterianya adalah yang pertama dan utama adalah memiliki sikap negrawan.

"Kriterianya satu, negarawan. Yang bisa ngayomi seluruh bangsa, bisa memajukan bangsa ini dan tentunya Capres dan cawapres itu harus klop," tegas Haedar Nasir usai menjadi pembicara di Mustamar Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Dome Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Rabu (1/8) 2018 lalu.

"Negarawan itu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara dibandingan kepentingan diri dan partainya. Biarpun dari partai mana golongan mana, sekali jadi presiden, sekali jadi wapres, sekali jadi menteri sekalipun, dia menjadi milik publik," sambungnya.

Kriteria Capres di Pemilu 2024

Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan, persoalan pemilu 2024, menjadi bagian dari masalah kebangsaan yang sangat serius.

Tidak hanya melaksanakan mekanisme 5 tahunan dalam siklus politik nasional, namun juga momentum strategis bagi rakyat memiliki pemimpin baru, presiden dan wakil presiden.

Menurutnya, kehadiran Muhammadiyah tetap tak bisa lepas dalam dinamika politik nasional.

"Muhammadiyah itu memang tidak berpolitik. Tapi Muhammadiyah tidak bisa lepas dari dinamika politik nasional yang terjadi. Kita tahu persis, bahwa sejak Reformasi 1998, berbagai persoalan kebangsaan kita masih didominasi dan bahkan sangat terpengaruh oleh dinamika politik yang ada di Tanah Air. Oleh karena itu Muhammadiyah perlu mengantisipasi berbagai persoalan yang mungkin muncul dalam suksesi kepemimpinan 2024, berdasarkan pemilu yang sebelumnya," tandasnya.

Lebih lanjut Mu'ti menyampaikan, selain isu pilpres 2024, ada beberapa isu strategis lainnya yang juga akan dibahas dalam Muktamar ke-48 Muhammadiyah. Isu ini disebut menjadi alternatif solusi yang ditawarkan Muhammadiyah dari persoalan yang dihadapi Tanah Air.

"Ada isu perubahan iklim, bonus demografi, hingga aging population," ujarnya.

Muhammadiyah Berharap Ada Suasana Baru

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, Muhammadiyah mengharapkan adanya suasana baru dalam Pilpres 2024 yang membedakannya dengan Pilpres 2019.

“Apa suasana baru itu? Pertama, kita tidak mengulangi lagi yang selama ini kita resahkan bersama, dan pembelahan politik. Ini penting agar kita tidak terlibat dalam subjektivikasi politik yang akhirnya ketika terjadi pembelahan menyebabkan negara tidak bisa menjadi kekuatan yang berwibawa," kata Haedar Nashir.

Menurut Haedar, cara agar kejadian serupa tidak terulang maka harus menghindari hal-hal yang membuatnya terbelah, misalnya seperti menghindarkan politisasi identitas agama, suku, ras dan golongan, bahkan ideologi tertentu.

Selain itu, untuk mencegah pembelahan politik, menurutnya, diperlukan kekuatan masyarakat seperti organisasi keagamaan, termasuk Muhammadiyah.

“Tentu kita ingin lahirnya para elit siapapun yang diusung partai manapun, baik di partai politik, di kekuatan-kekuatan masyarakat yang menjadi penyangga dari kontestasi, baik dari relawan maupun calon eksekutif betul-betul menjadi negarawan," tuturnya.“Saat ini menciptakan ruang publik untuk kontestasi 2024 itu adalah ajang para negarawan untuk mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, di atas kepentingan diri, kelompok, kroni, dinasti dan orientasi kekuasaan yang tak berkesudahan," lanjutnya.

Menjelangi kontestasi politik 2024, Guru Besar Sosiologi ini mengingatkan tentang pentingnya persatuan bangsa.(Ina/han)