Inggit Garnasih: Ibu Bangsa yang Banyak Memberi dan Melayani, tanpa Berharap Kembali

Megawati juga tentu insyaf, tanpa Inggit sejatinya Bung Karno tak akan menjadi tokoh besar. Terkait peran besar yang dimainkan Inggit, sastrawan SI Poeradisastra dalam pengantar buku "Kuantar ke Gerbang" karya Ramadhan KH, menulis, "Separuh daripada semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam 'Bank Jasa Nasional Indonesia'.

Inggit Garnasih: Ibu Bangsa yang Banyak Memberi dan Melayani, tanpa Berharap Kembali

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Tak banyak yang tahu dan tak pernah diungkap ke publik, apa sebenarnya yang melatari permintaan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati, agar Inggit Garnasih diperjuangkan menjadi Pahlawan Nasional.

Beberapa tokoh di Jawa Barat pada 2008 dan 2012 pernah memperjuangkan hal itu. Tapi dokumen-dokumen yang diajukan dinilai tidak lengkap.

Juga sempat ada pihak bersuara miring yang menyebut Inggit punya cacat moral karena pernah memadu kasih dengan Sukarno sebelum resmi bercerai dari suaminya, Sanusi.

Kali ini, karena Megawati yang meminta kemungkinan besar upaya itu akan terwujud.

Presiden RI ke-5 itu punya ikatan psikologis dan pernah berinteraksi langsung dengan Inggit pada Februari 1980. Kala itu bersama kakak sulungnya, Guntur Soekarnoputra, dia menemani sang ibunda, Fatmawati, menemui Inggit. Megawati tentu melihat dan ikut merasakan kehalusan budi pekerti Inggit yang dengan spontan menerima permintaan maaf Fatmawati.

Inggit masih menganggap Fatmawati sebagai anak angkatnya. Dengan begitu, Megawati adalah cucunya Inggit. "Indung mah lautan hampura (seorang ibu adalah lautan maaf)," kata Inggit sambil memeluk dan mengelus kepala Fatmawati.

Megawati juga tentu insyaf, tanpa Inggit sejatinya Bung Karno tak akan menjadi tokoh besar. Terkait peran besar yang dimainkan Inggit, sastrawan SI Poeradisastra dalam pengantar buku "Kuantar ke Gerbang" karya Ramadhan KH, menulis, "Separuh daripada semua prestasi Soekarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih di dalam 'Bank Jasa Nasional Indonesia'.

Inggit adalah perempuan kedua, setelah Oetari Tjokroaminoto, yang dinikahi Bung Karno. Dia menjalankan tiga peran sekaligus: isteri, teman curhat, dan ibarat ibu yang senantiasa memberi dan melayani tanpa keluh kesah berarti.

Perempuan kelahiran Banjaran, 17 Februari 1888 itu yang memenuhi segala kebutuhan materi Bung Karno. Memulihkan energi dan memompakan semangat juang di kala Bung Karno terpuruk. Kepada Cindy Adam, wartawati Amerika, Bung Karno mengakui peran besar Inggit yang disebutnya 'jimat keberuntunganku'.

"Inggit tidak pernah mengeluh. Suratan nasib dalam hidupnya adalah memberi padaku ketenangan pikiran dan dukungan cinta, bukan menambah persoalan," tuturnya.

Sayang, setelah 19 tahun berumah tangga, bahkan dengan setia katut Bung Karno saat dibuang ke Ende dan Bengkulu, Inggit harus rela berpisah. Karena si Bung terpikat pada Fatmawati, yang pernah ikut mondok dalam rumah tangga mereka saat di Bengkulu. Perpisahan tersebut menjadi semacam karma bagi Inggit yang sebelumnya memutuskan berpisah dari Sanusi.

Fatmawati memberi lima putra-putri yang amat diharapkan Bung Karno. Tapi kebahagiaan itu harus terkoyak pada tahun ke-11 pernikahan mereka. Pada 13 Januari 1953, Fatmawati melahirkan anak ke-5, Mohammad Guruh Irianto Sukarno, disertai pendarahan hebat. Dua hari kemudian, Bung Karno memasuki kamar isterinya yang tengah terbaring lemah itu.

"Fat, aku minta izinmu, aku akan kawin dengan Hartini," kata Bung Karno lirih seperti ditulis di halaman 164 buku "Fatmawati, Catatan Kecil Bersama Bung Karno".

Tak terbayangkan betapa sakitnya hati Fatmawati kala itu. Tapi bisa jadi itulah karma yang harus diterimanya setelah Bung Karno terpaksa menceraikan Inggit, yang tak memberinya keturunan.

Kepada Tempo edisi 22 september 1999, Hartini menepis tudingan publik bahwa dirinya pelakor (perebut laki orang). Untuk bersedia menerima pinangan Bung Karno yang bertubi-tubi, dia harus membayarnya dengan amat mahal. Hampir semua media dan aktivis perempuan kala itu mencerca dan menghinanya.

"Benar, sudah ada Ibu Fatmawati, sang first lady, ketika saya menikah dengan Bung Karno. Tapi, setelah saya, juga ada Dewi," ujar Hartini. Dan, kalau dirinya dikatakan merebut Bung Karno dari Ibu Fat, ia melanjutkan, bukankah Ibu Fat juga merebut Bung Karno dari Ibu Inggit, dan Ibu Inggit merebutnya dari Ibu Tari (Oetari)?

Lalu, setelah Dewi, bukankah masih ada lagi Haryatie, Yurike, dan belum pacar-pacar yang lain? Jadi semuanya sama. Yang membedakan, hanya ada satu first lady. "Saya tidak merebut Bung Karno. Saya menjalani takdir yang digariskan hidup," Hartini menegaskan.

Hingga pertengahan Januari 1966, ketidaksukaan publik terhadapnya masih terasa. Tembok rumah Hartini di paviliun Istana Bogor dicoreti kata-kata tak senonoh. Coretan itu antara lain berbunyi, 'Lonte Agung" dan 'Gerwani Agung'. Hal yang membuat Bung Karno sangat murka kepada para mahasiswa yang mendemonya.

Naoko Nemoto alias Ratna Sari Dewi yang dinikahi Bung Karno pada 3 Maret 1962 pun harus membayar mahal. Cuma berselang 26 jam setelah menikah, ibunda dan adiknya, Yasso, meninggal dunia. Masing-masing karena serangan jantung dan bunuh diri. Keduanya menentang keras pernikahan Dewi dengan si Bung.

Kembali ke sosok Inggit Garnasih, pada 1961 Presiden Sukarno menganugerahi mantan istrinya itu Satyalantjana Perintis Pergerakan Kemerdekaan. Lalu pada 1997 Inggit dianugerahi Bintang Mahaputra oleh Presiden Soeharto. Di tahun yang sama, rumah Inggit direnovasi.

Pada 23 Desember 2010 Pemprov Jawa Barat menjadikan rumah di Jalan Ciateul itu sebagai cagar budaya. Nama Inggit juga kemudian diabadikan sebagai nama jalan, menggantikan nama Ciateul pada November 2017.

Sampai di sini, dapat dipahami bila Megawati meminta agar Ibu Inggit diperjuangkan sebagai Pahlawan Nasional. Terlepas dari segala motif atau momennya yang mungkin dianggap sudah jauh terlambat. Bila Fatmawati sebagai first lady atau Ibu Negara yang berjasa menjahitkan bendera merah putih menjelang Proklamasi, Inggit Garnasih bolehlah disebut sebagai Ibu Bangsa yang telah banyak memberi dan melayani tanpa berharap kembali.(detik/han)