Inflasi Diangka 5,71 Persen, Tak Jaminan RI Bebas Resesi, Bisa Jadi Menurunnya Daya Beli

Karena hal tersebut, Ronny mengatakan deflasi pada Oktober mengindikasikan permintaan mulai melemah. Ia menilai lesunya permintaan disebabkan oleh kenaikan harga-harga di September lalu maupun karena bertambahnya pengangguran.

Nov 26, 2022 - 17:19

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi tahunan RI di level 5,71 persen per Oktober. Secara bulanan, indeks harga konsumen (IHK) mengalami deflasi 0,11 persen.

Inflasi Oktober lebih landai diyakini karena penurunan harga sejumlah komoditas, seperti cabai merah, telur ayam, daging ayam, cabai rawit, tomat, hingga bawang merah.

Tercatat, inflasi untuk cabai merah turun drastis dari 148,66 persen menjadi 57,60 persen secara tahunan. Lalu, telur ayam dari 31,28 persen menjadi 26,41 persen, daging ayam dari 5,61 persen menjadi 1,84 persen.

Lantas, apakah deflasi ini menjadi jaminan bahwa RI bebas krisis atau setidak-tidaknya jauh dari ancaman resesi ekonomi?

Ekonom Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita mengingatkan bahwa penurunan inflasi tidak serta merta membuat RI lolos dari ancaman jeratan resesi.

"Saya rasa tidak ada jaminan untuk itu (bebas risiko). Justru turunnya inflasi harus dilihat secara kritis," ujarnya, Selasa (1/11).

Malah, seharusnya pemerintah perlu lebih jeli melihat apakah penurunan harga sejumlah komoditas yang membuat deflasi Oktober karena terjadi pelemahan daya beli masyarakat.

Ronny menjelaskan penurunan inflasi Oktober dibanding September terjadi karena efek kenaikan harga BBM sudah sudah berlalu.

Ia menilai melonjaknya harga-harga komoditas pokok imbas kenaikan BBM lebih banyak terjadi pada September. Sehingga, efek lanjutannya pada Oktober tidak terlalu signifikan.

Harga komoditas pokok sudah memasuki pola yang cukup normal. Keseimbangan antara permintaan dan penawaran untuk sementara waktu mulai terbentuk.

Bahkan, untuk makanan dan minuman secara bulanan tercatat minus, walaupun secara tahunan masih naik. Lihatlah, secara tahunan inflasi bahan makanan mencapai 7,04 persen pada Oktober 2022.

Karena hal tersebut, Ronny mengatakan deflasi pada Oktober mengindikasikan permintaan mulai melemah. Ia menilai lesunya permintaan disebabkan oleh kenaikan harga-harga di September lalu maupun karena bertambahnya pengangguran.

Jika hal ini benar, maka Indonesia justru akan semakin rentan terhadap tekanan resesi global. "Artinya, daya beli dan permintaan harus benar-benar dijaga, jika memungkinkan ditingkatkan," imbuh Ronny.

Oleh karenanya, penting bagi pemerintah menyiapkan berbagai skema kebijakan untuk memitigasi penurunan permintaan dan daya beli ini.

Menurutnya, skema itu bisa dilakukan baik dalam bentuk kebijakan bantuan sosial kemasyarakatan maupun kebijakan untuk memitigasi pemutusan hubungan kerja (PHK) lebih lanjut.

Pun secara moneter, Bank Indonesia (BI) perlu memikirkan untuk tidak menaikan lagi suku bunga acuan. Paling tidak sampai data PDB kuartal ketiga keluar.

"Hal ini agar beban dunia usaha untuk mendapatkan likuiditas segar tidak terlalu sulit," kata Ronny.

Segendang sepenarian, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda deflasi pada Oktober 2022 belum layak dibilang penguatan ekonomi.

Sebab, deflasi terjadi karena penurunan harga pada beberapa bahan makanan yang merupakan volatile goods. Sementara itu, perubahan harga pada barang-barang itu biasanya terjadi sangat cepat.

Ia menyebut harga bahan makanan, seperti cabai merah, telur ayam ras, daging ayam ras, cabai rawit, tomat, dan bawang merah dipengaruhi oleh permintaan dan cuaca.

Apalagi, dari sisi inflasi inti, Indonesia berada di level 3,31 persen secara tahunan pada Oktober. Dengan begitu RI tidak bisa percaya diri bisa sepenuhnya lolos dari ancaman resesi global.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai meskipun secara bulanan mengalami deflasi, inflasi tahunan per Oktober masih terbilang tinggi, yakni 5,71 persen. Angka ini lebih tinggi dari proyeksi pemerintah, yaitu 3,5-4,5 persen.

Artinya, kata dia, ini adalah satu sinyal bahwa efek dari kenaikan harga BBM masih akan dirasakan pada sebagian penyumbang inflasi utama, terutama bahan makanan lantaran ongkos logistik naik.

Ia mengungkapkan efek kenaikan harga BBM pada biaya transportasi masih akan terus terjadi. Pernyataannya ini juga selaras dengan data BPS yang mencatat inflasi transportasi menjadi yang tertinggi dari kelompok lainnya pada Oktober 2022, yakni 16,03 persen dengan andil inflasi 1,92 persen.

Bhima memprediksi inflasi akan kembali melonjak pada pengujung tahun mengingat ada perayaan Natal dan tahun baru. Umumnya selama periode tersebut permintaan relatif melonjak dan harga-harga cenderung naik lagi.

"Jadi pemerintah perlu melihat bahwa inflasi yang relatif di atas 5 persen atau di atas target APBN ini akan masih berlangsung bahkan sampai 2023 ke depan," terang dia.

Di sisi lain, pemerintah juga harus mewaspadai inflasi dari barang impor (imported inflation) imbas pelemahan nilai tukar rupiah. Dia menyebut pelemahan nilai tukar ini mulai berdampak pada biaya bahan baku di sebagian industri, termasuk makanan dan minuman.

Ia mengingatkan dampak inflasi yang terus bertahan cukup tinggi, membuat masyarakat lebih selektif dalam berbelanja. Masyarakat akan menurunkan konsumsi produknya dari produk yang premium menjadi produk yang kualitasnya lebih rendah.

Ujung-ujungnya, daya beli pun bisa menurun karena pendapatan tidak bisa mengejar kenaikan harga-harga di pasar. "Hal ini juga bisa berpengaruh pada konsumsi rumah tangga sampai akhir tahun," imbuh Bhima.

Untuk menghindari hal tersebut, ia menyarankan pemerintah melakukan beberapa hal. Pertama, menjaga stok pangan tidak hanya beras, kedelai, dan jagung, tapi juga cadangan pangan untuk pangan lain yang menjadi tugas Badan Pangan Nasional dan Bulog.

Kedua, mengurangi ketergantungan impor pangan dengan substitusi pangan lokal. Hal ini dilakukan agar efek pelemahan nilai tukar rupiah tidak merambat ke imported inflation.

Ketiga, segera menurunkan harga BBM, terutama solar subsidi untuk mengendalikan efek tekanan biaya angkutan. Keempat, menaikkan upah minimum di atas inflasi, sehingga dapat terhindar dari pelemahan daya beli kelas pekerja rentan.

Kelima, lanjut Bhima, menambah subsidi pupuk dan anggaran ketahanan pangan secara keseluruhan. Untuk penambahan subsidi ini pemerintah dapat mengambil dana belanja yang belum terserap, baik di tingkat kementerian maupun pemerintah daerah.

Keenam, melakukan koordinasi antara pemerintah daerah melalui BUMD untuk memangkas rantai pasok dan memenuhi pasokan pangan antar daerah.(han)