Hindari PHK, Apindo Minta Menaker Bikin Aturan No Work No Pay

"Kalau bisa dipertimbangkan, menambah satu lagi yaitu harapan kami ada satu Permenaker (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan) yang mengatur fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay," ujar Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton J Supit.

Nov 26, 2022 - 17:33

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mendesak Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menerbitkan aturan berisi fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay (tidak bekerja, tidak dibayar).

Hal ini dilakukan demi mengurangi jumlah orang yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dengan begitu, ketika industri sedang lesu pekerja tidak harus terkena PHK.

"Kalau bisa dipertimbangkan, menambah satu lagi yaitu harapan kami ada satu Permenaker (Peraturan Menteri Ketenagakerjaan) yang mengatur fleksibilitas jam kerja dengan prinsip no work no pay," ujar Ketua Bidang Ketenagakerjaan Apindo Anton J Supit dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi IX DPR RI dan Menaker, Selasa (8/11).

"Sebab, kalau tidak ada (aturan) itu, memang kami dengan order menurun 50 persen atau katakanlah 30 persen, kami tidak bisa menahan. Satu dua bulan masih OK, tapi kalau sudah beberapa bulan atau setahun, pilihannya ya memang harus PHK massal," imbuh Anton.

BACA JUGA: Menko Airlangga Bicara soal Munculnya Ancaman PHK di Industri...

Ida Fauziyah belum memberikan respons atas permintaan pengusaha tersebut. Ia hanya menyebutkan ada 10.765 kasus pemutusan hubungan kerja alias PHK per September 2022. Jumlah tersebut diklaim turun dari dua tahun sebelumnya.

"Data per September (2022) ini yang diinput sejumlah 10.765 (kasus PHK karyawan)," kata dia.

Berdasarkan data paparan Ida, PHK berdampak pada 18.911 karyawan pada 2019. Angka tersebut meroket pada 2020 menembus 386.877 kasus. Namun, menurun pada 2021 ke angka 127.085 sebelum akhirnya kembali turun ke 10.765 per September 2022 ini.

Kabar ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil Indonesia kini tengah tersiar kencang.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jemmy Kartiwa Sastraatmaja mengatakan saat ini, sebanyak 45 ribu karyawan industri tekstil telah dirumahkan.

"Potensi PHK sudah dapat dirasakan. Perkiraan 45 ribu karyawan sudah mulai dirumahkan," ujar Jemmy beberapa waktu lalu.

Ia mengatakan kondisi ini terjadi lantaran permintaan pasar ekspor seperti Amerika Serikat dan Eropa, menurun tajam akibat kondisi global yang tidak stabil. Penurunan permintaan berada di kisaran 30 persen sejak akhir Agustus 2022.

"Bilamana kondisi ini berlanjut, angka (karyawan dirumahkan) yang lebih besar akan terjadi," terang Jemmy.

Tak hanya itu, industri tekstil juga telah mengurangi jam kerja karyawan. Hal ini dilakukan untuk menjaga efisiensi industri.

BACA JUGA: Catat! Ini 10 Sektor Pekerjaan dengan Gaji Tertinggi di Indonesia, Adakah Pilihanmu?

Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto munculnya ancaman PHK di industri tekstil Indonesia lantaran perlambatan ekonomi yang terjadi pada mitra dagang Indonesia, sehingga permintaan ekspor pun berkurang.

"Persoalannya industri padat karya (tekstil) ini terpengaruh demand yang menurun secara global di AS dan Eropa," ujarnya dalam konferensi pers, Senin (7/11).

Permintaan yang melambat ini membuat stok yang sudah diproduksi oleh perusahaan menumpuk, sehingga terjadi kerugian. Kerenanya, mau tak mau pelaku usaha menghemat pengeluaran dengan memberhentikan pekerjanya.

Dengan kondisi ini, Airlangga mengatakan pemerintah akan melakukan kajian dan melihat kondisi di lapangan. Tujuannya untuk bisa mencari solusi agar PHK besar-besaran tak terjadi.

"Sektor padat karya akan dilihat dan pemerintah akan melakukan seperti penanganan covid kemarin, di mana akan bisa diberikan kebijakan pemerintah, termasuk restrukturisasi kredit," jelasnya.(lna)