Hakikat Belajar Perspektif Albert Einstein

Manakah yang biasa? Mengembangkan diri, membangun kepribadian ataukah belajar? Kita banyak mendengar seruan “belajar". Kebanyakan orang mengenal dan mengerti kata “belajar". Namun, lebih banyak orang hanya biasa melaksanakan tindakan belajar tanpa mengerti hakikat belajar yang sebenarnya.

Hakikat Belajar Perspektif Albert Einstein
Ilustrasi (Foto: Shutterstock)

Oleh: Usman Nagi, S.Pd

Manakah yang biasa? Mengembangkan diri, membangun kepribadian ataukah belajar? Kita banyak mendengar seruan “belajar". Kebanyakan orang mengenal dan mengerti kata “belajar". Namun, lebih banyak orang hanya biasa melaksanakan tindakan belajar tanpa mengerti hakikat belajar yang sebenarnya.

Seorang cendekiawan, Albert Einstein,  pernah mengatakan," Aku menciptakan kebahagiaan dari hal yang biasa yakni belajar." Itu artinya yang biasa adalah belajar.  Einstein adalah orang yang suka belajar. Ia terus belajar tanpa bosan. Ia mulai belajar dalam keluarga.

Menurutnya, hanya dengan belajar manusia dapat sukses dalam hidup personal dan hidup komunalnya. Einstein, seperti juga kita adalah manusia yang dibesarkan dalam keluarga. Yang paling pertama dan utama  dalam kehidupan keluarga adalah belajar.

Secara sadar atau tidak, manusia mulai melakukan aktivitas  belajarnya pertama kali melalui keluarga. Manusia tentu  membutuhkan proses belajar yang dapat menyimpulkan secara filosofi  bahwa yang namanya belajar, ya, belajar.

Akan tetapi, apakah sebenarnya yang dinamakan belajar itu? Jawabannya tentu beragam. Ada yang mengatakan bahwa kita mulai dengan hal biasa yakni daya penglihatan karena  anak mulai belajar sesuatu lewat daya penglihatan. Namun,  tidak banyak orang yang menyetujui pendapat ini.

Dengan melihat otak menangkap dan menanggapi berita yang disampaikan alat indra lewat rangsangan mata. Jadi,  proses belajar Ini adalah cara atau usaha yang kita pakai untuk menjawab rangsangan-rangsangan yang masuk melalui mata dan menyentuh otak kita. Persepsi ini, kelihatannya aneh. Seolah-olah,  pengertian belajar dihubungkan dengan ide,  rangsangan, tetapi memang itulah yang sebenarnya.

Kadang-kadang kita melihat anak melakukan sesuatu tindakan yang tidak praktis,  misalnya menggores-gores lingkaran atau garis  yang tak teratur pada lantai. Mungkin kita ingin melarang tindakan anak itu, tetapi sebaiknya jangan karena itu merupakan proses belajar anak kreatif.

Apabila kita berpikir kritis, baru kita dapat mengerti bahwa tindakan anak itu merupakan tindakan belajar. Meskipun tidak praktis, tetapi menunjukkan tujuan praktis secara samar-samar. Tindakan anak yang tampaknya tidak berguna dapat menjamin dan mengembangkan kemampuan anak untuk mengerti dan mengingat.

Kebanyakan tindakan belajar akan menjadi lebih jelas bila dihubungkan dengan situasi yang mengancam.  Ancaman ini bersifat fisik. Misalnya,  ketika  hari mulai malam,  anak kecil yang baru belajar berlari-lari dan asyik bermain-main diserambi segera mencari ibunya. Begitu pula  ketika  lampu padam secara tiba- tiba, anak itu akan segera mencari jalan untuk berlari kembali kepada Ibu.

Selain itu,  ancaman bisa bersifat emosional. Misalnya seorang remaja yang sudah melukai hati pacarnya, pasti ia harus minta maaf dengan sungguh-sungguh. Kalau tidak,  ia tentu tidak dihargai lagi dan kehilangan sahabatnya.

Dalam situasi demikian,  si remaja harus segera mencari jalan dan melakukan suatu tindakan pemulihan. Kalau remaja itu gagal memperbaiki tindakannya secepat mungkin maka ia akan merasa kehilangan kekasih hatinya. Malah rasa kehilangan itu akan menyebabkan batinnya tertekan.

Begitupun dalam keluarga yang punya banyak problem hidup. Kalau  anggota keluarga gagal memecahkan problem itu maka hal itu akan menimbulkan efek yang lebih parah yaitu merasakan hal yang  tidak menyenangkan. Pada beberapa situasi  yang terpaksa, seseorang  menghadapi rasa ketergantungan yang paling vital terhadap kemampuannya memecahkan problem.

Jika tidak mampu mengambil tindakan menyelesaikan problem, ia akan mati.  Kalau seseorang tidak belajar bagaimana harus mengambil air dan mencari makanan untuk kebutuhan tubuhnya tentu ia tidak akan bertahan dalam hidup ini.

Orang mesti menghubungkan daya hidup dengan kemampuan belajar menyesuaikan diri dalam  situasi sulit. Bahasa psikologi mengungkapkan,"Manusia hidup karena ia dapat memberi jawaban yang tepat terhadap rangsangan-rangsangan yang mengganggu."

Lalu,  bagaimana menjawab rangsangan? Dalam memberi jawaban terhadap rangsangan hendaknya kita sadar bahwa rangsangan-rangsangan biasanya berubah-ubah dalam lingkungan dan situasi. Mata, telinga, hidung, dan alat-alat indra lainnya terus-menerus membawa berita tentang perubahan rangsangan sehingga reaksi dan perasaan orang pun terus berubah. Misalnya, orang yang tidur akibat mabuk laut dan yang merasa mual akan mempunyai perasaan dan reaksi yang berbeda dengan perasaan orang yang lapar ketika mencium bau daging ayam goreng.

Ada beberapa perasaan berasal dari rangsangan dalam tubuh kita sendiri, misalnya pernyataan bahwa fisik kita membutuhkan udara, air,  makanan, panas, dan tidur. Selain itu,   kebutuhan emosi juga  terpenuhi, seperti membutuhkan rasa aman, persahabatan, dan kemesraan.

Perasaan yang berasal dari rangsangan yang datang dari luar tubuh,  yakni dari barang-barang dan manusia. Perasaan ini, menangkap perubahan benda-benda, perubahan  jarak, perubahan cuaca, atau iklim, perubahan personal, perubahan sosial, bisnis, dan situasi politik. Jadi,  tampaknya cukup jelas bahwa rangsangan dapat menyebabkan perubahan dalam kebiasaan dan tingkah laku manusia.

Kemudian,  berdasarkan perasaan yang berubah-ubah itu kita coba memberi jawaban yang tepat dan menyesuaikan diri dengan rangsangan-rangsangan yang mengganggu itu. Hendaknya kita sadar bahwa banyak rangsangan entah dari dalam diri entah dari luar bisa merupakan ancaman yang merusakkan harga diri, kepribadian, kebahagiaan, dan keamanan kita. Oleh karena itu, rangsangan hendaknya diintegrasikan dan diarahkan demi kematangan pribadi dan kebahagiaan aktual.

Proses yang kita pakai untuk menjawab  rangsangan yang mengganggu dan mengancam inilah yang dinamakan belajar. Proses belajar ini akan dilalui oleh setiap manusia dari setiap generasi. Bahkan, proses belajar ini merupakan kebiasaan dan warisan berharga buat generasi penerus. Filosofinya

"Yang Biasa adalah Belajar".

Suatu hal yang biasa dalam keluarga ialah belajar. Belajar adalah pengalaman universal. Pada setiap waktu dan di mana saja anggota keluarga belajar. Banyak keluarga hanya melaksanakan tindakan belajar yang tanpa mengerti hakikat belajar yang sebenarnya. Namun,  belajar itu perlu sekali dimaklumi dan dihayati demi perkembangan manusia dan hidup keluarga.

Oleh karena itu,  sebaiknya setiap orang berusaha mengerti dan melaksanakan tindakan belajar secara tepat. Setiap orang, mesti terus dan senantiasa belajar pada setiap tahap perkembangan hidupnya.

Pada masa kanak-kanak ia harus belajar berbicara, berpakaian, dan makan sendiri. Anak-anak harus belajar tentang adat, kebiasaan sosial yang berlaku dalam lingkungan pergaulan dan masyarakat.

Remaja hendaknya belajar melaksanakan tugas-tugasnya, belajar menemukan tanggung jawab dalam kehidupan keluarga dan bangsa sebagai generasi penerus yang dapat diandalkan. Singkatnya,  kehidupan sehari-hari merupakan rangkaian pergantian problem besar dan kecil yang harus dipecahkan lewat belajar. Jadi, belajar adalah hal yang biasa dalam hidup manusia.

Lalu,  bila kita merefleksikan model-model belajar yang disampaikan  di atas, dapat disimpulkan bahwa seruan belajar mempunyai tiga arti berbeda.

Pertama, belajar dapat diartikan sebagai mencari atau menemukan. Hal ini jelas dari kalimat yang kita pakai untuk menanyakan," Sudahkah Anda belajar bagaimana memecahkan teka-teki?"

Kedua, belajar berarti mengingat/menghafal. Ini jelas bila kita bertanya," Apakah saudara pernah belajar kata-kata dari “Gugur Bunga” karya  Ismail Marzuki?"

Arti ketiga, belajar paralel dengan “menjadikan efisien”. Hal ini jelas bila kita menggunakan kalimat," Sudahkah Anda belajar bagaimana mengemudikan mobil?"

Kadang-kadang dalam percakapan sehari-hari,  kita menggunakan ketiga arti itu secara serempak, misalnya bila kita melontarkan kalimat," Sudahkah saudara belajar mengikat dasi tanpa melihat pada cermin?"

Dalam contoh ini, sesungguhnya yang kita maksudkan adalah  tiga pertanyaan yaitu:

Pertama, "Apakah saudara sudah menemukan hasil dalam memecahkan problem?"

Kedua, "Apakah saudara sudah memiliki ingatan?"

Ketiga, "Apakah saudara sudah mengembangkan keterampilan mengikat dasi dengan hasil yang baik?"

Demikianlah beberapa tindakan biasa yang menjelaskan arti belajar yang sebenarnya dalam hidup manusia.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa manusia yang berkembang senantiasa ingin mencari suatu nilai yang lebih baik dan sempurna. Begitupun dalam usahanya memajukan diri sendiri.  Manusia coba belajar segala sesuatu yang membuat dirinya berarti. Itulah sebabnya,  belajar pun mempunyai makna, proses, dan cara-cara yang khas. Makna, proses, dan belajar itu hendaknya dipahami dan dilaksanakan dalam pembinaan diri sendiri dan pembinaan generasi muda yang akan meneruskan nilai-nilai yang baik.  Khususnya, nilai yang realistis humanistis.

Kiranya,  apa yang disajikan dalam tulisan ini dapat memberi sedikit manfaat buat perkembangan kepribadian dan kemajuan hidup personal dan komunal dalam negara yang sedang belajar membangun dan berkembang Ini. Akhirnya,  semoga kita dapat mencontohi Einstein dalam menciptakan kebahagiaan dari hal yang biasa yakni belajar.

Akal pikiran yang sendiri mengemudi, laksana tenaga yang menjebak diri, sedangkan perasaan yang tak terkendali bagaikan api membawa yang menghanguskan diri (Kahlil Gibran)

 

 

Usman Nagi, S.Pd adalah Pengawas Madrasah, Kementrian Agama Kab. Nagekeo, NTT dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Dewi Kencanawati, M.Pd. dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Nusantara PGRI Kediri dan Ketua 5 PISHI