Gen Z Biasa dan Istimewa

Generasi yang lahir di bawah tahun 80-an, masih merasakan suasana belajar yang lebih tenang. Bisa duduk manis lebih lama dalam mendengarkan penjelasan guru. Hormat dan berlaku sopan adalah hal yang utama. Seorang guru betul-betul menjadi pusat perhatian dalam proses belajar.

Sep 4, 2024 - 07:40
Gen Z Biasa dan Istimewa
Sanusi

Oleh: Sanusi, M.Pd.

 

Generasi yang lahir di bawah tahun 80-an, masih merasakan suasana belajar yang lebih tenang. Bisa duduk manis lebih lama dalam mendengarkan penjelasan guru. Hormat dan berlaku sopan adalah hal yang utama. Seorang guru betul-betul menjadi pusat perhatian dalam proses belajar. Apalagi mereka yang sempat mengenyam pendidikan pondok, bisa berjam-jam mengaji turutan bersama sang kyai tanpa ada keributan. Para santri manut-manut saja, mereka yang sedikit membandel dihantui stigma santri gagal.

  Seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi sikap belajar anak-anak pun berubah drastis. Peneliti ahli dalam bidang demografis Wiliam Straus dan Neil Howe mengistilahkan generasi yang lahir periode tahun 1980—2000 dengan sebutan generasi milenial atau generasi Y karena pengaruh lingkungan dan boomingnya kemajuan teknologi dalam hal belajar generasi Y memiliki karakter sebagai berikut; lebih percaya user generated contect, kurang suka membaca secara konvensional, lebih menguasai teknologi dibanding dengan orang tua, milenial cenderung tidak loyal, tetapi bisa belajar efektif dan mereka cenderung ingin mendapat jawaban yang instan (Hardika, 2018).

Sejumlah karakteristik yang melekat pada generasi milenial di atas, menuntut guru untuk lebih kreatif. Dalam berkomunikasi guru harus mampu menyesuaikan dengan mereka. Hal ini memaksa guru untuk bisa mengenali siswanya, minimal mengimbangi kosakata-kosakata yang populer di kalangan mereka. Selanjutnya, guru harus lebih banyak melibatkan siswa dalam belajar, hindari pembelajaran yang hanya satu arah, dan dorong mereka untuk memiliki kreativitas  yang tinggi. Lebih lanjut, tidak kalah penting guru harus mengajari siswa untuk berpikir kritis dan analitis. Tanamkan kepada mereka boleh kritis, tetapi harus berdasarkan analisis yang matang.

Baby boomer melahirkan generasi milenial yang dirasa sudah banyak lompatan kemajuan, apalagi generasi yang dilahirkan oleh kaum milenial, yang kita kenal dengan sebutan Gen Z.  The Rising Children in Digital Era karya Elisabeth T Santosa, menuliskan tujuh karakter yang melekat pada mereka, yaitu: memiliki ambisi besar untuk sukses, berperilaku instan, cinta kebebasan, percaya diri, menyukai hal yang detail, keinginan untuk mendapatkan pengakuan, dan lekat dengan dunia digital, teknologi dan informasi.

Kombinasi karakter yang melekat pada Gen Z, seperti di atas betul-betul penulis rasakan ketika mengajar anak-anak di pondok ibunda kami di kota kecil Majalengka. Ketika masuk ruang belajar suara riuh sulit ditenangkan, sejurus kemudian terpikir untuk mengadakan ice breaking terlebih dahulu dengan melatih konsentrasi mereka. Saya pun berteriak, “buka mulut, tertawa tiga kali, ha...ha...ha, buka mulut tertawa dua kali ha...ha, buka mulut tertawa satu kali...ha, buka mulut tertawa tanpa suara....”. Singkatnya dengan permainan seperti ini, konsentrasi mereka mulai teralihkan untuk siap menerima pelajaran. Ketika saya mengajarkan beberapa kosakata bahasa Arab yang berkaitan dengan anggota tubuh, seluruh santri diminta berdiri dan saya sebutkan kosa katanya lalu mereka disuruh memegang bagian tubuh masing-masing yang disebutkan dalam bahasa Arab, selama 15 menit melalui metode ini 25 santri usia SD telah mampu menghafal 10 kosakata tanpa keliru.

Sesi berikutnya melalui bantuan infokus kami tayangkan video berbahasa Arab tentang penyebutan anggota tubuh langsung mendengarkan native speakernya. Dengan cara demikian, anak-anak dapat menyimak secara tepat pengucapan tiap kosakata sesuai penutur jatinya. Melalui cara belajar seperti ini, semua indra penyerap informasi berjalan semuanya. Secara meyakinkan terbukti mempermudah pelajaran mengendap di dalam otak anak-anak.

Sesi paling akhir sebelum menutup belajar hari itu, kami adakan kuis cepat tepat. Siapa yang mengacungkan tangan lebih cepat dan menjawab soal dengan tepat, ia mendapatkan hadiah menarik. Dalam sesi kuis ini diterapkan berbagai aturan yang mendidik, seperti antri menjawab dan acungkan tangan dulu baru sebutkan nama lalu sampaikan jawaban. Jika tidak mengikuti aturan sekalipun jawaban benar, maka tidak diberikan reward. Dengan cara ini anak-anak lebih serius mengasah kemampuan mereka dan di sisi lain kita bisa memberikan penilaian sejauh mana daya serap tiap santri.

Contoh sederhana pembelajaran di atas, mulai dari pemanasan, proses memberi dan menerima pelajaran sampai menentukan penilaian, menggambarkan kebutuhan belajar, dan mengajar generasi Z. Hal ini menegaskan bahwa untuk mengajari mereka tidak cukup setumpuk ilmu saja. Kita perlu memikirkan metode pembelajaran yang tepat untuk mereka. Tidak sampai di situ, kita juga harus mempersiapkan media belajar yang relevan dengan dunia mereka. Skill mengajar yang didukung pemilihan metode dan media pembelajaran yang tepat dan merupakan perpaduan yang jitu untuk menghadapi Gen Z di ruang belajar.

Transfer ilmu di dunia sekarang sangat beragam medianya dan dengan mudah bisa diperoleh. Apakah melalui medsos atau buku-buku digital. Misalnya, dalam pembelajaran bahasa Inggris, kita tidak harus menghadirkan native speaker secara langsung, cukup bermodal kuota bisa menonton percakapan orang Inggris dari media. Tetapi satu hal yang tidak bisa kita tinggalkan adalah mengajarkan akhlak kepada anak didik dan itu lebih tepat diajarkan langsung. Akhlak butuh keteladanan dan keteladanan bisa lahir dari kebiasaan yang diperlihatkan berulang-ulang.

Rule yang diterapkan ketika kuis merupakan upaya membiasakan anak didik untuk menerapkan akhlak. Jadi, dalam hal ini pelajaran akhlak menjadi paket komplit yang bisa diterapkan dalam mata pelajaran apa pun. Seorang ahli bahasa tidak ada kewajiban mutlak untuk ahli dalam bidang matematika, demikian sebaliknya. Namun, akhlak yang baik wajib dimiliki oleh setiap orang dari berbagai disiplin ilmu. Karena itu, tidak salah jika ada ungkapan yang menyatakan akhlak lebih tinggi daripada ilmu. Terakhir teruntuk Gen Z atau sekarang muncul lagi istilah Gen Alpha, dengan segala kemudahan yang ada kalian pintar itu biasa. Jika kalian tampil dengan akhlak mulia, maka kalian layak disebut istimewa.

 

Sanusi, M.Pd. adalah Dai, anggota Humanity First Indonesia, dan Pengurus Pusat Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

                                    

Editor: Dr. Indayani, M.Pd. adalah Dosen Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan Pengurus Pusat PISHI.