Gelar Profesor Jadi Incaran
Gelar profesor yang sering dipanggil dengan ‘Prof’ merupakan idaman semua orang yang bergelut di bidang akademik. Mengapa demikian? Gelar ini merupakan yang tertinggi dan sangat susah untuk mendapatkannya. Di Indonesia gelar tersebut merujuk kepada kepakaran dalam bidang tertentu.
Oleh: Dr. Mangihut Siregar, M.Si.
Gelar profesor yang sering dipanggil dengan ‘Prof’ merupakan idaman semua orang yang bergelut di bidang akademik. Mengapa demikian? Gelar ini merupakan yang tertinggi dan sangat susah untuk mendapatkannya. Di Indonesia gelar tersebut merujuk kepada kepakaran dalam bidang tertentu.
Menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 pasal 23 ayat 1 dijelaskan bahwa guru besar atau profesor merupakan jabatan fungsional untuk dosen dan aktif mengajar di perguruan tinggi. Selanjutnya, pada UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dipertegas lagi bahwa guru besar atau profesor merupakan jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang masih mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi. Melalui aturan ini dengan jelas bahwa gelar profesor disematkan kepada mereka yang bergelut di bidang akademik.
Untuk mendapatkan gelar profesor bukanlah hal yang mudah tetapi harus memenuhi syarat yang sangat sulit. Beberapa syarat di antaranya memiliki ijazah S3, mengajar minimal 10 tahun secara kontinu, memiliki artikel ilmiah di jurnal internasional bereputasi sebagai penulis pertama, berpengalaman sebagai promotor bagi mahasiswa S-3, ditambah syarat lainnya. Sangat wajar mereka yang berhasil menggapai gelar tersebut dapat berbangga diri karena mampu melewati berbagai rintangan dimaksud.
Gelar profesor merupakan jabatan tertinggi dalam dunia akademik. Gelar tersebut merupakan simbol pencapaian intelektual sejati. Semua yang berprofesi dosen jabatan yang paling tertinggi adalah professor, bukan rektor suatu universitas, bukan direktur dari pascasarjana, bukan dekan suatu fakultas atau jabatan struktur lainnya. Oleh sebab itu semua dosen yang normal selalu bermimpi dapat meraih profesor. Merupakan suatu keanehan apabila seorang dosen yang selalu bergelut di bidang akademik tidak menginginkan gelar profesor.
Mereka yang sudah berhasil meraih jabatan tertinggi profesor tentu akan mendapatkan penghormatan dari teman dosen dan juga masyarakat umum. Selain itu setiap dosen yang sudah berhasil meraih profesor akan mendapat tunjangan yang relatif besar. Oleh karena itu, semua dosen tentu saja mengincar jabatan guru besar alias profesor.
Bagaimana kalau politisi meraih gelar profesor? Beberapa politisi sudah mendapatkan gelar profesor misalnya, Megawati Soekarnoputri (PDIP), Susilo Bambang Yudhoyono (Partai Demokrat), Siti Nurbaya Bakar (Partai Nasdem), Fahmi Idris (Partai Golkar), Bambang Soesatyo (Partai Golkar), dan lainnya. Menurut Permendikbud Ristek 38/2021, pasal 1 ayat 2, ada profesor kehormatan. Profesor kehormatan merupakan jabatan akademik profesor yang diberikan kepada seseorang yang berasal dari nonakademik yang memiliki kompetensi luar biasa. Jabatan itu bukan karena yang dicapai melainkan karena kehormatan atau pemberian atas jasa-jasa yang sangat luar biasa.
Dari deretan nama di atas, apakah gelar profesor yang dimiliki para politisi itu sudah layak atau bukan? Beberapa di antara mereka sangat layak mendapatkannya, misalnya Megawati Soekarnoputri. Beliau ikut meletakkan tonggak sejarah reformasi pada tahun 1998. Tetapi ada yang sangat tidak layak akan gelar profesor yang diperolehnya, misalnya Bambang Soesatyo.
Bambang Soesatyo, sering dipanggil Bamsoet, dapat menamatkan jenjang S-2 sebelum lulus S-1. Bamsoet menyelesaikan S-3 tahun 2023, tetapi pada tahun 2024 sudah dapat meraih gelar profesor. Gelar profesor yang diraih Bamsoet banyak mendapat kritikan terlebih dari kalangan akademisi. Salah satunya melalui surat edaran Rektor Universitas Islam Indonesia (UII) Nomor 2748/Rek/10/SP/VII/2024 yang menyebutkan seluruh surat-menyurat selain ijazah dan transkrip nilai agar penulisan namanya (Prof. Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D menjadi Fathul Wahid) dituliskan tanpa gelar.
Apabila dilihat maksud dibalik surat edaran tersebut adalah protes yang menyalahgunakan gelar profesor tersebut. Banyak orang berlomba-lomba mengincar gelar profesor dengan cara yang tidak wajar. Melalui kuasa yang dimiliki jabatan akademik tertinggi ini dapat dengan mudah diraih. Berbagai aturan dan orang yang terlibat di dalamnya bisa diatur sesuai dengan keinginan yang punya kuasa.
Meminjam teori Bourdieu (1930-2002), bahwa modal harus ada pada setiap ranah atau arena atau medan. Legitimasi aktor di masyarakat tergantung dari modal yang dimiliki. Semakin besar modal yang dimiliki maka posisi si aktor semakin legitimate. Modal dibagi empat jenis yaitu, ekonomi, budaya, sosial dan simbolik. Gelar profesor masuk jenis modal simbolik. Melalui gelar yang diraih oleh politisi tanpa melihat proses pencapaian legitimasi mereka semakin bertambah.
Salah satu tujuan akademisi meraih gelar profesor adalah untuk mendapatkan modal ekonomi (uang). Tujuan ini sangat berbeda dengan politisi yang mengincar gelar profesor. Uang bukan menjadi tujuan karena mereka sudah mendapatkan kemewahan yang cukup dari negara. Malah mereka menukar uang itu dengan modal simbolik gelar profesor. Aktor yang terlibat dalam pemberian gelar bisa diatur melalui kuasa yang dimiliki atau “dibeli” melalui modal ekonomi yang dimiliki. Fenomena ini mengakibatkan terjadi pengakumulasian modal dan juga pertukaran modal ekonomi dengan modal simbolik.
Modal simbolik profesor mereka gunakan untuk popularitas dan elektabilitas. Semakin banyak modal simbolik yang dimiliki, semakin populis dan elektabilitasnya semakin tinggi. Itulah sebabnya politisi juga ikut mengincar gelar profesor. Dengan cara apapun yang memungkinkan, mereka akan lakukan demi penambahan modal.
Semoga ke depan gelar profesor yang diincar setiap orang dicapai sesuai dengan aturan yang berlaku demi kebaikan kita bersama.
Dr. Mangihut Siregar, M.Si, adalah Dekan FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan Anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).
Artikel ini telah disunting oleh Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum., dosen Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).