Gamification (Teknik Design Permainan)

Mau main atau belajar? Ya mainlah jawabannya anak-anak. Sebagai orang tua apa kita kecewa? Iya kecewa, eits tapi nanti dulu. Ini memang masa mereka untuk bermain, namun kita tetap bisa selipkan belajar tanpa mereka sadari tentunya, yaitu dengan gamifikasi. Bermain pun pasti memilih gadget apalagi dari kecil sudah kita biasakan mereka menonton kartun favorit menggunakan gadget tersebut. Namun sebagai orangtua kita harus mengatur apa saja yang mereka konsumsi serta menentukan durasi waktunya.

Nov 26, 2022 - 17:37
Gamification (Teknik Design Permainan)
Ilustrasi

Oleh: Ichi Ahada, M.M, M.Pd

 Mau main atau belajar? Ya mainlah jawabannya anak-anak. Sebagai orang tua apa kita kecewa? Iya kecewa, eits tapi nanti dulu. Ini memang masa mereka untuk bermain, namun kita tetap bisa selipkan belajar tanpa mereka sadari tentunya, yaitu dengan gamifikasi. Bermain pun pasti memilih gadget apalagi dari kecil sudah kita biasakan mereka menonton kartun favorit menggunakan gadget tersebut. Namun sebagai orangtua kita harus mengatur apa saja yang mereka konsumsi serta menentukan durasi waktunya.

Sudah banyak sekali startup game edukasi yang mengutamakan belajar sambil bermain yang di dukung dengan tampilan warna warni, teka teki, latar musik, dan video yang anak-anak sukai tentunya. Saya mengambil contoh game edukasi yang dibuat oleh EDUCASTUDIO yang banyak seliweran di google play baik di smartphone android maupun ios dengan produknya yaitu MARBEL (mari belajar sambil bermain). Ratusan MARBEL dapat didownload dengan mudah mulai dari belajar berhitung, mengenal huruf, bahasa Inggris dan bahasa asing lain. Bermain melengkapi kosa kata, pelajaran agama, bahkan comprehension (pemahaman)  dari bacaan, semua dikemas dalam sebuah permainan yang menyenangkan.

Sebagai orang tua tentunya kita memilih hal yang baik bukan? Gamifikasi dan game-based learning (GBL) adalah jawabannya terutama bagi anak-anak jaman sekarang. Meskipun begitu, baik gamifikasi dan GBL tetap tidak dapat menggantikan pedagogi dan pengalaman belajar secara menyeluruh namun kedua hal tersebut dapat melengkapi dan memperkaya pengalaman anak-anak. Keduanya juga dapat memotivasi dan membantu mereka belajar mandiri dan mensupport pengetahuan untuk anak-anak.  

Marbel dari Educastudio berkomitmen untuk mendukung dan membimbing pembelajaran anak-anak dengan fiturnya yang mudah dimainkan. Namun pengawasan orang tua sangat penting sehingga kita harus untuk mendampingi buah hati kita selama proses belajar menggunakan gadget tersebut dan memberikan pengertian kepada hal yang mereka belum mengerti. Ini karena kita adalah tempat bertanya bagi anak-anak. Komitmen educastudio dengan produk MARBEL juga bertujuan untuk menjadikan user (pemakai) berakhlak mulia dan cerdas dan terbukti dari MARBEL yang telah dibuat.

Lalu bagaimana dengan gamifikasi dalam pembelajaran bahasa asing misalnya dalam bahasa Inggris? Tentunya sudah banyak berseliweran macam-macam aplikasi pembelajaran bahasa Inggris maupun bahasa asing lainnya. Aplikasi-aplikasi tersebut dapat menginspirasi banyak pengajar menerapkan gamifikasi agar para pelajar memiliki pendekatan terbaru dalam belajar.  Mari kita sebut saja ada Elsa, Duolinggo, BUsuu dan masih banyak lagi yang dapat menjadi pelengkap dalam belajar bahasa asing dengan semua fitur gamifikasinya.

Pendekatan gamifikasi dapat diterapkan dalam pelajaran apapun dan bidang manapun karena tujuan gamifikasi semata-mata agar pelajar memiliki cara lain dalam belajar yang dapat meningkatkan kegembiraan dalam belajar hal tertentu. Kalaupun mereka ‘kecanduan’, mereka menyalurkannya ditempat yang tepat dan mempunyai pengalaman yang menarik bagi mereka yang sampai ke level-level tertentu. Gamifikasi juga dapat memperbanyak perbendaharaan kosa kata bagi para pelajar apalagi jika ada penghargaan prestasi mereka dalam bermain sambil belajar tersebut.

Gamifikasi dapat diadopsi dan diadaptasikan ke dalam hal apapun, baik itu pelajaran sekolah bahkan dunia bisnis lagipula masyarakat dari golongan manapun dan di usia berapapun menyukai permainan. Gamifikasi tidak hanya untuk mendapatkan poin semata tetapi ada banyak hal yang menarik yang bisa didapatkan seperti pemahaman, penguasaan akan suatu hal, melakukan tantangan demi tantangan dan tak lupa untuk bersosialisasi dengan orang lain seperti yang dikutip dari Karl Kappa. Gamifikasi memang menggunakan desain elemen permainan seperti mencapai tujuan, kompetisi, mendapat reward atau poin bahkan dapat mengulangi kesempatan yang sama. 

Beberapa hal yang harus diluruskan tentang konsep gamification adalah bahwa gamifikasi itu bukanlah gaming bukan pula games-based learning (GBL). Mereka berbeda. Dari segi tampilan, olahan dan tujuan, gamifikasi hanya menyerupai gaming namun kontennya kaya akan pembelajaran. Gamifikasi sudah banyak diolah dengan berbagai konten di semua bidang, bisa dinikmati semua kalangan dan mendorong untuk pembelajaran mandiri. Sudah banyak pula penelitian gamifikasi yang menghasilkan data berbagai persepektif yang positif dari belajar melalui gamifikasi. Begitu pula dengan GBL, hanya saja dalam GBL anak-anak secara umum menggunakan aplikasi permainan (game) yang membantu proses pembelajaran. Sudut pandang gamifikasi adalah aksi (behavior) namun dalam GBL adalah berpikir (thinking).

Game edukasi memang menyenangkan untuk anak-anak akan tetapi juga memiliki kelemahan yang signifikan yaitu adanya reward dalam game edukasi yang membuat anak-anak terkadang hanya berfokus mengejar reward itu saja dan tidak adanya penjelasan ahli (misalnya guru) sehingga membuat belajar dengan game hanya sebagai kesenangan semata. Belum lagi mudahnya diprediksi sehingga terkesan membosankan dan menjadikan kurang bermakna. Oleh karena itu tugas kita sebagai orangtua yaitu mendampingi anak-anak ketika menggunakan aplikasi atau penerapan gamifikasi tersebut.

Ichi Ahada, M.M, M.Pd adalah dosen Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mulawarman. Tulisan ini disunting oleh Dr. Sulistyani, M.Pd, dosen Prodi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Nusantara PGRI Kediri dan anggota Perkumpulan Ilmuwan Social Humaniora Indonesia (PISHI).