Even ICCCF di Kampung Celaket-Kota Malang, Selama Ini Berjalan Ditengah Ketidak Hadiran Penguasa
Hanan berharap, Pemerintah Daerah peka terhadap perubahan zaman, contoh kasusnya adalah beberapa daerah yang awalnya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, tiba-tiba hadir menghentak dunia, itu tak lebih karena pemerintah daerahnya hadir ditengah hiruk pikuk kebudayaan dan kesenian yang dihelat warganya.
NUSADAILY.COM – MALANG – Even tahunan warga Kampung Celaket, Kota Malang, yang bertajuk International Celaket Cross Cultural Festival (ICCCF), berjalan ditengah keengganan penguasa daerah Kota Malang untuk ikut cawe-cawe.
Bayangkan, sejak ICCCF pertama dihelat pada 2011 lalu, baru kali ini atau ICCCF ke 8 mendapat kucuran dana Pemkot Malang. Itupun karena terpaksa harus dibantu karena desakan Ketua DPRD Kota Malang saat itu I Made Ryandiana Kartika.
Nampaknya Made, melihat potensi pengembangan wisata, UMKM setempat serta pentingnya membentengi anak bangsa dari pengaruh budaya luar yang tak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Dihubungi terpisah, Abdul Hanan Jalil, pendiri sekaligus sponsor utama perhelatan warga kampung yang mendunia itu mengakui bahwa perubahan perilaku warga Celaket sejak adanya ICCCf sangat drastis.
“Bayangkan, awal tahun 90 an hingga periode 2 ribuan, siapa warga Kota Malang yang tahu Kampung Celaket, Masyarakat Kota Malang berpikir dua kali untuk melintas di Celaket jika malam menjelang, karena kampung yang saya tempati ini dikenal sebagai kampung ‘Slum’. Bahkan di Kepolisian mendapat predikat merah,” kata pelestari Batik Tulis Celaket Khas Malangan ini.
Tapi lihat sekarang, imbuh Hanan, banyak mata, bahkan mata Masyarakat dunia mulai melirik ke Kampung lama ini. “Warga Celaket saat ini mulai bangga dengan nama kampungnya sendiri, bahkan banyak tempat usaha yang dinamai asli Celaket, contohnya Mie Bakar Celaket, Bakso Surya Celaket, Rujak Celaket dan masih banyak lagi. Artinya warga sudah bangga dengan kampungnya sendiri,” katanya.
Hanan berharap, Pemerintah Daerah peka terhadap perubahan zaman, contoh kasusnya adalah beberapa daerah yang awalnya bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa, tiba-tiba hadir menghentak dunia, itu tak lebih karena pemerintah daerahnya hadir ditengah hiruk pikuk kebudayaan dan kesenian yang dihelat warganya.
“Sehingga Otonomi daerah yang digaungkan Pemerintah Pusat dan semangat Presiden Prabowo untuk mensejahterakan warganya lewat beragam program unggulan bisa dimaknai oleh Pemerintah Daerah sebagai revitalisasi dapat dimulai dari kampung, sebab, jika warga kampung sejahtera, maka Indonesia sudah berada diambang Indonesia emas, seperti yang selalu dibangga-banggakan Pak Prabowo” pungkas Hanan.
Mendapat Apresiasi Tokoh Nasional
Penilaian tak jauh beda juga diberikan oleh Pendiri Padepokan Kosgoro, Ridwan Hisjam, Ia menyatakan, entah ini terjadi secara kebetulan atau memang sudah digariskan, warga Kampung Celaket yang wilayahnya dibelah Kali Brantas, atau tepatnya membentang dari ujung timur Kelurahan Oro Oro dowo, Kelurahan Samaan dan Rampal Celaket, boleh dibilang sangat luar biasa.
Keberadaan perkampungan tua di Kota Malang ini patut menjadi contoh toleransi. “Tak Cuma toleransi soal agama, juga toleransi antar-bangsa,” kata Politisi Senior Partai Golkar, Ridwan Hisjam, saat memberikan sambutan pada acara Prosesi Naditirapradisan, rangkaian ICCCF ke 8 tahun 2024, pada Sabtu 26 Oktober lalu.
Tatok, sapaan akrab Ridwan menyebut, jarang suatu kampung yang dengan penuh penghormatan kedatangan tamu asing terutama yang beda agama. “Sehingga boleh dikatakan, warga dunia sudah seharusnya belajar toleransi ke even ICCCF di Kampung Celaket Kota Malang,” ujarnya.
Keterlibatan ISO
ICCCF memang festival di kampung. Tepatnya digelar Kampung Celaket. Tapi, coba baca komentar dari seorang mahasiswa tentang festival ini. “Ini acara penting yang berfungsi sebagai platform unik untuk pertukaran keragaman budaya, sekaligus menumbuhkan pemahaman global,” kata mahasiswa bernama Mohammed Alhadi Ibrahim Bosha Ahmed itu
Mahasiswa dengan panggilan akrab Bosha itu berasal dari Sudan. Dia kini sedang studi di program doktoral bidang mikrobiologi lingkungan di Fakultas MIPA, Universitas Brawijaya.
Bosha yang juga Presiden Internatonal Student Organization (ISO), bukan hanya sekadar menyaksikan festival di Celaket itu. Bersama anggota ISO lain dari 45 negara, dia juga terlibat di rangkaian agenda festival yang dikenal dengan nama lengkap International Celaket Cross Culture Festival (ICCCF) itu. Khususnya, ICCCF ke 8 yang digelar 26-27 Oktober 2024 lalu, di Celaket.
Ada beberapa agenda dalam ICCCF 2024. Mulai dari sarasehan budaya dengan tema Mencari Model Lanskap Pemajuan Kebudayaan, prosesi budaya selamatan kali bertajuk Naditirapradisan di pinggir Sungai Brantas, pertunjukan seni dan musik lintas bangsa, hingga karnaval.
Sarasehan budaya digelar pada hari pertama ICCCF, Sabtu, 26 Oktober 2024,. Sebagai narasumber adalah Prof. Dr. Wahyudi, M.Si, sosiolog dari Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan Dwi Cahyono, sejarahwan Malang.
Dalam sarasehan ini, dibahas lanskap budaya Malang, khususnya kampung Celaket. Diskusi yang terjadi antara lain menyoroti pentingnya keberlanjutan budaya di tengah arus globalisasi.
Bosha dan mahasiswa asing dari berbagai negara ikut dalam seminar tersebut sebagai peserta, bersama akademisi dan pemerhati budaya Malang, serta tokoh masyarakat setempat. Mereka juga terlibat dalam workshop budaya yang memberi kesempatan kepada warga asing itu, untuk belajar sekaligus mempraktikkan seni budaya Malangan.
Sabtu malamnya, digelar pertunjukan tradisional di Kampung Celaket. Antara lain pencak silat dan tari-tarian. Puncaknya, pada Minggu, 27 Oktober, 2024 digelar karnaval budaya dan pertunjukan seni lintas bangsa.
Karnaval dengan rute sekitar Celaket-Jalan Jaksa Agung Suprapto, Kota Malang itu menarik perhatian, karena di antara peserta, ada tidak kurang dari 100 penampil asing. Mereka ada yang tampil dengan kostum khas negaranya, atau memakai kostum budaya Indonesia.
Meski tidak semeriah karnaval besar di Kota Malang, seperti Malang Flower Carnival misanya, karnaval ICCCF ini tidak kalah menarik. Terutama, karena banyaknya penampil asing di antara para peserta karnaval asli warga Celaket.
ICCCF memang kini merupakan festival internasional. Namun, awal mulanya, event ini adalah kegiatan semacam bersih desa di Celaket yang dimulai pada tahun 2006.
Kegiatan bersih desa ini rupanya menarik banyak penonton wisatawan mancanegara (wisman) yang sedang di Malang, Bahkan, makin tahun makin banyak wiswan yang menyaksikan. Hingga akhirnya, Hanan Djalil, seniman sekaligus tokoh masyarakat Celaket, pada tahun 2011 menggagas untuk menjadikan kegiatan bersih desa itu menjadi festival internasional.
Lahirlah ICCCF, yang untuk kali pertama akhirnya bisa digelar pada tahun 2012. Dalam ICCCF yang pelaksanannya didukung Pemerintah Kota Malang, warga mancanegara tidak lagi sekadar jadi penonton. Tapi juga dilibatkan sebagai penampil.
Pada ICCCF 2012 itu, ada penampil dari 18 negara. Sedangkan dari dalam negeri, selain para seniman dan penampil Malang, juga terlibat seniman dan penampil dari penjuru tanah air. Berbagai pentas seni dan budaya digelar, mulai dari tari topeng Malangan, jaranan, reog Ponorogo, wayang kulit hingga pentas musik indie dan festival jazz di tepi sungai Brantas, Celaket. Juga ada diskusi dan karnaval budaya.
ICCCF berikutnya, 2013 lebih meriah lagi. Disebut-sebut, ada penampil, seniman dan budayawan dari 35 negara yang terlibat. Tema ICCCF 2013 yang disebut sebagai ICCCF II ini adalah Unity in Diversity yang ditandai dengan karnaval kostum dunia.
Masing-masing penampil dari ke-35 negara itu tampil dengan dandanan eksentrik dan kreatif, namun tetap mengacu budaya daerahnya. Selain itu, dimeriahkan juga kostum dari 34 provinsi di Nusantara.
Begitulah, selanjutnya ICCCF terus berlangsung. Meski, sempat beberapa tahun tidak terselenggaranya. Antara lain waktu terjadi pandemi COVID-19.
Selain peserta internasional yang terus bertambah dengan karnaval dan pertunjukan seni lintas budaya yang mempesona, ICCCF makin menjadi event budaya yang diapresiasi banyak pihak. Antara lain ditunjukkan dengan banyaknya budayawan top Indonesia ikut hadir seperti Sujiwo Tejo, Didik Nini Towok dan beberapa nama besar lainnya, Tokoh nasional pun juga sempat hadir dalam beberapa gelaran event ICCCF, mulai dari menteri hingga Panglima TNI.
Pilar Budaya dan Sosial
Pada penyelenggaraan ICCCF 2024 atau ICCCF ke-8, mulai terlibat Sustainable Development Goals Center atau SDGs Center UB. Menurut Dr. Ahmad Imron Rozuli, M.Si dari SDGs Center UB, keterlibatan pihaknya merupakan upaya untuk melangsungkan dan keberlanjutan atas pilar budaya dan sosial. ICCCF dianggap merupakan perwujudan dari pilar budaya dan sosial, khususnya di Malang.
Dia menambahkan, melalui ICCCF ini ada beberapa tujuan dari SDGs yang bisa didorong untuk dicapai. “Jadi, disamping untuk kepentingan pelestarian budaya, lewat ICCCF ini, kami berharap bisa terlibat dalam pengembangan lanskap budaya untuk mendorong aspek sosial, ekonomi serta pemberdayaan masyarakat,” kata Imron yang juga Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Politik dan Ilmu Pemerintahan (FISIP) UB ini.
Imron mengatakan, ke depan pihaknya akan lebih memperhatikan untuk terlibat dalam penataan lanskap arsitektural dan sosial pelaksanaan ICCCF. Tujuannya,menurut agar event ini memiliki kontribusi lebih lagi bagi pengembangan ekonomi masyarakat.
Terpisah, Presiden ISO Bosha menambahkan, bahwa ICCCF membantu menjembatani kesenjangan budaya, yang memungkinkan antara warga Malang dan warga asing saling menghargai nuansa perbedaan sekaligus menumbuhkan rasa saling menghormati. Dia juga meyebut ICCCF jadi ajang yang tepat untuk belajar berbagai kegiatan budaya Malang. Mulai musik, seni tari-tarian, kuliner hingga adat istiadat Jawa.
“Sebagai WNA atau Wong Ngalam Asli cabang Sudan Afrika dan pendukung Arema FC yang bangga, festival ini menunjukkan makna sebenarnya dari slogan Salam Satu Jiwa. Mahasiswa internasional dan masyarakat lokal adalah satu jiwa,” ujar Bosha, yang suka berseloroh ini.
Dia pun menyebut ICCCF sebagai perwujudan potensi dialog, pemahaman, dan pertumbuhan kooperatif yang berkelanjutan antara penduduk lokal Malang dan komunitas mahasiswa internasionalnya.
Bosha juga memberi saran, ke depan acara seperti ICCCF ini terus dikembangkan. Dia menyarankan kepada para pemimpin Malang untuk lebih memperkuat interaksi budaya, lewat berbagai program yang memungkinkan interaksi antara masyarakat lokal dan warga pendatang. Usulannya itu mencakup program pertukaran budaya, lokakarya pengembangan keterampilan, festival keberagaman tahunan, proyek relawan komunitas, diskusi panel, penjangkauan media sosial, program bimbingan, dan program relawan kolaboratif.(wan)