Error Correction dalam Pembelajaran Bahasa sebagai Pendekatan Disiplin Positif: "Solusi Konstruktif untuk Kriminalisasi Guru”

Oleh: Dr. Agus Sholeh, M.Pd.

Dec 5, 2024 - 08:51
Error Correction dalam Pembelajaran Bahasa sebagai Pendekatan Disiplin Positif:  "Solusi Konstruktif untuk Kriminalisasi Guru”

Saya sering bertanya kepada mahasiswa di Program Studi Pendidikan “Apakah kalian masih ingin menjadi guru di tengah fenomena yang terjadi di Indonesia?” dengan tantangan kesejahteraan, pengakuan terhadap peran guru, dan risiko kriminalisasi akibat penerapan disiplin (terutama guru honorer). Saya juga mencoba menelisik masalah ini dari sisi pembelajaran bahasa yang saya tekuni.

Meskipun disiplin merupakan bagian penting dari proses pendidikan, guru yang sering menerapkan tindakan yang dianggap wajar dan sesuai norma justru dilaporkan atau dihukum. Kasus-kasus seperti ini semakin menggambarkan ketidakpastian yang dialami oleh guru di Indonesia. Mereka berisiko dihukum karena upaya mendidik yang dianggap berlebihan atau disalahpahami.

Beberapa kasus yang mengusik harga diri guru baru-baru ini, seperti yang terjadi pada Pak Sambudi, guru SMP di Sidoarjo pada 2016, yang dilaporkan ke polisi setelah mencubit seorang siswa yang tidak melaksanakan salat berjamaah. Pak Zaharman, guru olahraga di Rejang Lebong pada 2023, yang kehilangan penglihatan setelah dilempari ketapel oleh orang tua siswa yang tidak setuju dengan hukuman yang diberikan, menunjukkan betapa besar tekanan yang dihadapi guru. Ibu Khusnul Khotimah di Jombang yang dilaporkan orang tua murid ke polisi lantaran dituding lalai mengawasi siswa saat jam kosong. Ibu Supriyani di Konawe Selatan dilaporkan orang tua murid atas tuduhan penganiayaan pada April 2024 sempat mendekam di penjara, walaupun akhirnya divonis tidak bersalah dan bebas. Kejadian yang mengiris hati ini menggarisbawahi pentingnya perlindungan hukum bagi guru dan peran masyarakat dalam mendukung lingkungan pendidikan yang aman dan bebas dari kekerasan dan kriminalisasi terhadap guru.

Kekerasan dalam pendidikan, meskipun dalam bentuk pendisiplinan, tetap tidak dibenarkan. Guru harus mendidik dengan cara yang mengutamakan perlindungan hak anak, sesuai dengan prinsip UU Perlindungan Anak (UU No. 35/2014). Proses pembelajaran bisa tetap berjalan efektif, meski tanpa kekerasan. Selain itu, pendekatan yang berbasis pada komunikasi terbuka antara guru, siswa, dan orang tua sangat penting dalam menghindari konflik. Dalam kasus-kasus seperti yang menimpa Pak Sambudi dan Pak Zaharman, jika ada komunikasi yang lebih baik antara pihak sekolah dan orangtua, banyak ketegangan bisa diselesaikan tanpa harus melibatkan tindakan hukum.

Dalam pembelajaran bahasa, sebenarnya ada pendekatan untuk menegur siswa dengan cara lebih konstruktif, yaitu Error Correction (Krashen, 1987) dan (Richards, 2000). Guru menggunakan teknik yang lebih lembut, seperti "recasting" (mengulang kalimat siswa dengan cara yang benar) atau "clarification requests" (meminta penjelasan tentang kesalahan siswa), yang tidak hanya membantu siswa memperbaiki kesalahan, tetapi juga mengurangi rasa malu atau frustrasi yang bisa berujung pada ketegangan atau perlawanan. Dalam mengajarkan siswa untuk mengelola emosi mereka melalui teknik peer correction (koreksi teman sejawat) dan self-correction (koreksi diri), dapat mengurangi perilaku agresif dan menciptakan suasana kelas yang lebih damai.

Koreksi Kesalahan dalam Pembelajaran Bahasa sebagai Solusi: metode koreksi kesalahan yang diterapkan dengan cara yang penuh perhatian dan tidak menghukum dapat menciptakan suasana yang lebih positif antara guru dan siswa, serta mengurangi potensi ketegangan yang dapat berujung pada kekerasan. Sebagai contoh, menggunakan Recasting (pengulangan kalimat siswa dengan cara yang benar) atau Clarification Requests (meminta penjelasan dari siswa tentang kesalahan mereka) tidak hanya membantu siswa memperbaiki kesalahan mereka, tetapi juga mengurangi rasa malu atau frustrasi yang bisa menyebabkan perlawanan atau kekerasan. Koreksi yang penuh pengertian dan tanpa penghukuman akan mengurangi kemungkinan timbulnya ketegangan yang dapat berkembang menjadi konflik yang lebih besar.

 

Menjaga Keharmonisan dan Mengurangi Ketegangan: penerapan teknik koreksi yang mendukung juga dapat memperkuat hubungan positif antara guru dan siswa. Guru yang memberikan koreksi dengan cara yang lembut dan tidak mempermalukan, akan menciptakan rasa aman bagi siswa untuk belajar tanpa rasa takut akan dihukum. Dengan demikian, ketegangan yang dapat menyebabkan kekerasan atau kriminalisasi dapat dihindari. Selain itu, mengajarkan siswa untuk mengelola emosi mereka melalui teknik Peer Correction dan Self-Correction dapat meningkatkan keterampilan sosial mereka dan mencegah mereka berperilaku agresif, baik terhadap teman sekelas maupun terhadap guru. Hal ini juga akan membantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih damai, mengurangi konflik, dan mengurangi potensi kriminalisasi terhadap guru yang hanya berusaha menjalankan tugas mereka.

Menyelesaikan Konflik dengan Pendekatan yang Positif: ketegangan yang terjadi antara guru dan orang tua sering muncul dari ketidaksepahaman atau ketidakpuasan terhadap metode pengajaran atau disiplin yang diterapkan. Dalam kasus seperti Pak Sambudi, Pak Zaharman, atau Ibu Khusnul, kekerasan atau tuduhan kekerasan muncul, pendekatan yang lebih komunikatif dan penuh pengertian dari kedua belah pihak dapat menjadi solusi. Koreksi kesalahan yang dilakukan dengan penuh perhatian tidak hanya mencegah kesalahpahaman, tetapi juga memperbaiki saluran komunikasi antara guru, siswa, dan orang tua.

Dalam mengadopsi metode Error Correction dalam pembelajaran bahasa secara bijaksana, dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang lebih harmonis, bebas kekerasan, dan mengurangi potensi kriminalisasi guru. Pendekatan ini membantu mengurangi ketegangan dan konflik, serta memperkuat komunikasi positif antara guru dan siswa. Dalam upaya menjaga keharmonisan dunia pendidikan, kami berharap Presiden, Pemerintah, MPR, DPR, Menteri Pendidikan, dan pejabat penegak hukum yang baru terus berkomitmen untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan bagi guru, serta menciptakan kebijakan yang mendukung profesi guru tanpa ancaman kriminalisasi. Kami juga berharap masyarakat semakin aktif terlibat dalam pendidikan sehingga menciptakan lingkungan belajar yang berkualitas, penuh kasih sayang, dan bebas dari kekerasan. (****)

 

 

Dr. Agus Sholeh, M.Pd. adalah Dosen Pendidikan Bahasa Inggris di Universitas Kanjuruhan Malang dan Anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

 

Editor: Dr. Indayani, M.Pd., Dosen Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan Pengurus Pusat PISHI.