Duh! Lulusan Sarjana Makin Susah Cari Kerja, Ini Penyebabnya

Salah satu sarjana muda yang harus bergulat dengan kenyataan susahnya mencari kerja. Ia kenyang mendapat penolakan saat melamar kerja.

Nov 26, 2022 - 17:14

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Setelah lulus menjadi sarjana, semakin susah cari kerja, seakan telah menjadi gambaran umum dan rasanya tak sekadar ungkapan angin lalu

Hidup di negara dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa tentu bukan perkara mudah.
Generasi Z yang digadang-gadang menjadi tonggak sejarah bisa saja menyerah. Tetapi, bendera putih tentu bukan cerminan dari para sarjana muda.

Ikhram Hafiz Rahmadi, salah satu sarjana muda yang harus bergulat dengan kenyataan susahnya mencari kerja. Ia kenyang mendapat penolakan saat melamar kerja.

Ia lulus dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2021 lalu saat dunia dihantam covid-19 dan Indonesia mengejar pemulihan ekonomi.

BACA JUGA : Mencari Sebab dan Jawab Lulusan Sarjana Makin Susah Cari Kerja

Memang, kemudahan teknologi bisa mendorongnya agresif melamar sana-sini. Ia menjajal seluruh opsi, mulai dari pegawai muda Bank Indonesia (BI), CPNS, hingga rekrutmen di OJK. Sayang, dewi fortuna belum mampir dalam hidupnya.

Ia sedikit berbelok mencoba peruntungan di industri manufaktur, termasuk perusahaan rintisan (startup) karya anak-anak muda. Namun, kotak masuk surat elektronik nihil dan teleponnya pun tak kunjung berdering.

Tak cuma di Jakarta, Ikhram bahkan mencoba melamar kerja di perusahaan di kampung halaman, yaitu Subang, Jawa Barat. Ada secercah harapan ketika ia masuk tahap negosiasi gaji. Sayangnya, usaha itu pun lagi-lagi kandas.

"Tantangan (mencari pekerjaan) itu para jobseeker clueless. Kadang bingung harus nunggu satu lamaran sampai tahap akhir atau masukin lamaran lain ke instansi dan posisi berbeda. Kalau untuk lowongan sesuai kualifikasi, sebenarnya di manajemen itu ada banyak sekali," ungkapnya mengutip CNNIndonesia.com, Sabtu (22/10).

Sebagai orang yang tertarik di bidang finansial dan SDM alias human resources, Ikhram mengakui ada persaingan yang ketat dalam mencari kerja.

"Misalkan, mau jadi recruiter, HR. Nah, kita (lulusan manajemen) harus bersaing dengan lulusan psikologi. Sedangkan, kalau kita mau belajar psikologi itu jauh lebih sulit. Itu kendala utamanya," katanya.

BACA JUGA : UU Cipta Kerja Terbit, Perda Tata Ruang Kota Malang Direvisi

Kehadiran sistem akselarasi karier alias bootcamp juga dinilai Ikhram bisa memicu kesenjangan. Pasalnya, bagi mereka yang berduit bisa membeli paket bootcamp berbayar dengan mudah dan memperoleh sertifikat keahlian, sedangkan yang tidak akan semakin tertinggal.

Setali tiga uang. Rachma Nurma Gupita, sarjana sastra Inggris lulusan Stikubank Semarang pada 2021 lalu juga mengalami kesusahan mencari kerja. Bahkan, puluhan surat lamaran kerja telah dilayangkan, baik secara offline maupun online, namun tak satu ikan pun nyangkut di kailnya.

Rachma sempat beberapa kali maju ke tahap wawancara. Namun, ia kalah dengan kandidat lain. "Tantangannya, selalu tersingkir sama yang lebih berpengalaman. Sementara aku benar-benar fresh graduate, non-pengalaman, meski kualifikasi dari perusahaan minimal lulusan SMA/SMK," jelasnya.

Pengalaman magang semasa kuliah di Language Training Center (LTC) sebagai asisten pengajar pun tak dilirik. Sementara, pengalaman yang sesuai dengan posisi kerja impian nyaris nihil.

Solusinya, sembari menunggu panggilan kerja, Rachma aktif mengikuti berbagai pelatihan, webinar, hingga meluaskan jejaringnya di jobfair. Ia juga sibuk membantu jualan sembako di kelontong milik keluarga.

Lalu, bagaimana dengan nasib lulusan politeknik yang dipandang lebih siap kerja? Mengingat, Stigma sarjana jago teori ketimbang praktik.

Siti Zuraidah lulusan Administrasi Negara Politeknik Negeri Pontianak dan Anisa Aprilyanti dari Manajemen Pemasaran Politeknik Negeri Samarinda kenyataannya juga menghadapi tantangan masuk ke dunia kerja setelah lulus tahun lalu.

Lowongan kerja dengan gaji di bawah standar menjadi musuh utama. Siti dan April yang tinggal di Pulau Borneo merasakan bagaimana minimnya lapangan kerja yang bisa mengakomodir kualifikasi serta gelar sarjana mereka

"Walau dari info lowongan kerja banyak tersebar secara online, tapi (setelah melamar) nggak ada kejelasan dari instansi atau perusahaan tersebut," kata Siti.

Siti mengaku bahwa kebanyakan perusahaan mencari admin dengan lulusan SMA/sederajat untuk menekan pengeluaran gaji. Pada akhirnya, ia sebagai lulusan sarjana merasa selalu terpinggirkan.

Ia tak masalah jika harus melamar kerja di bidang lain. Namun, beberapa perusahaan yang dituju enggan menerima karyawan dari jurusan lain di luar posisi terkait, termasuk dirinya yang bergelar sarjana administrasi negara.

"Tantangan lain yang saya hadapi itu minimal pengalaman kerja. Apalagi kalau sebelumnya belum pernah kerja dalam jangka waktu setahun di bagian admin. Sekarang, beberapa perusahaan mencari kandidat yang memang sudah punya pengalaman kerja," paparnya.

Sembari terus melakukan evaluasi diri, Siti aktif dalam kegiatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di Pontianak. Ia rajin mengikuti sosialisasi dari Kementerian Koperasi dan UKM hingga turun langsung dalam proses pengurusan produk halal dan Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) setempat.

April juga merasakan apa yang dikeluhkan Siti. Ia ingin menjadi sekretaris atau customer service, tetapi terkendala dengan lowongan kerja yang tersedia dan tawaran gaji rendah dari perusahaan.

"Banyak lowongan kerja, tapi yang dicari itu pasti (lulusan) teknik. Mungkin karena di sini banyak tambang sama industri alat berat, jadi lulusan teknik itu pasti dibutuhkan banget di sini," ujarnya.

"Ada lagi, pas saya interview itu keliatan HRD-nya berat mau nerima karena saya lulusan S1 sedangkan gaji yang mereka tawarkan itu cocoknya dengan lulusan SMA/SMK. Di sini banyak yang masih cari lulusan SMA/SMK. Kalau ada yang cari lulusan S1 pasti cari yang sudah berpengalaman minimal 2-3 tahun," sambung April.

April mengaku sempat terkendala dengan kondisi kesehatan karena alergi obat. Ia jatuh sakit dan terpaksa harus menunda mencari kerja beberapa bulan selepas lulus kuliah.

Kini, ia pun aktif mencoba banyak hal sembari terus melamar kerja. Mulai dari membuat buket kecil untuk dijual ke anak-anak di sekitar lingkungan rumahnya, freelance copywriting, belajar Microsoft Excel dan bahasa asing, hingga ikut pelatihan serta webinar.

Ekonom Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) Teuku Riefky menilai masalah ketenagakerjaan di Indonesia bisa dilihat dari dua sisi, yakni tenaga kerja dan sectoral

Riefky melihat banyak lulusan sarjana sekarang yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasar. Oleh karena itu, perusahaan masih perlu memberikan pelatihan tambahan kepada para karyawan baru agar kemampuannya sesuai dengan kebutuhan.

"Dari sisi sektoral, ada juga beberapa sektor yang beberapa penyerapannya belum maksimal. Contoh sektor manufaktur, di mana kalau kita lihat muncul tren sarjana teknik yang kemudian bekerja di sektor perbankan," jelasnya.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal memandang sebenarnya sektor potensial bagi sarjana muda adalah yang sesuai dengan pendidikannya.

"Jadi bukan ada tren pekerjaan. Misal sekarang yang sedang menguntungkan di perbankan, lantas semua yang engineering juga disuruh mengambil pekerjaan di perbankan. Ya nggak begitu juga. Walau pada kenyataannya banyak yang seperti itu, tapi itu tidak semestinya," jelas Faisal.

Ia memberikan saran beberapa pilihan sektor potensial bagi generasi muda. Hal ini penting dipertimbangkan ketika ingin menempuh pendidikan di bangku kuliah agar kelak mudah mendapatkan pekerjaan.

"Jadi ini pertimbangan para generasi muda untuk mengambil kuliah. Memang trennya lebih banyak ke digital ke depan itu, mulai dari programming sampai dengan salesnya. Itu yang jelas akan terus berkembang," jelasnya

Faisal juga menyarankan sarjana muda menyesuaikan dengan arah prioritas pembangunan pemerintah. Sektor-sektor mendasar, seperti infrastruktur diklaim akan terus menjanjikan.

Industri juga masih menjanjikan di masa mendatang, yakni industri yang akan terus bergerak selama populasi masih ada. Ia menyarankan generasi muda melirik sektor food and beverage (F&B).

Kemudian, sektor pertanian dan perikanan yang masih potensial untuk digeluti para sarjana muda. Keduanya merupakan sektor yang terkait dengan kebutuhan dasar manusia.

"Jadi, harus ada memang generasi muda yang masuk ke sektor pertanian supaya kita menciptakan ketahanan pangan. Karena kalau tidak, ini produksi pangan akan berkurang, sehingga kita malah jadi ketergantungan impor," saran Faisal.

Faisal menyimpulkan bahwa faktor yang menentukan adalah kualitas para sarjana muda setelah mereka lulus. Jika kemampuan yang dimiliki sesuai dengan kebutuhan pasar, maka hal itu akan mempermudah jalan mereka.

"Walaupun mereka misal lulusan information technology (IT), tapi tidak sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan atau ada skill-skill yang kurang, ya tetap saja susah untuk diserap," imbuhnya.

Peneliti Makroekonomi LPEM UI Teuku Riefky ikut memberikan solusi agar permasalahan ketenagakerjaan bisa teratasi. Menurut dia, perlu ada perluasan sektor pasar tenaga kerja serta pemenuhan kualitas dan skill yang dibutuhkan dari sang pencari kerja.

Untuk mewujudkan hal tersebut, Riefky mengatakan perlu kolaborasi lebih dekat antara universitas alias dunia pendidikan dengan dunia usaha serta industri.(han)