Domino dan Politik Jagong Bayi

Oleh: Dr. Wadji, M.Pd.

Dec 14, 2024 - 12:03
Domino dan Politik Jagong Bayi
Dr. Wadji, M.Pd. Redaktur Ahli Nusadaily.com dan Ketua Umum Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Pilkada 2024 baru saja usia dilaksanakan. Selama hiruk pikuk pesta demokrasi tersebut tak jarang kita mendengar idiom-idiom yang mendadak populer, seperti “kambing hitam”, “kuda hitam”, dan “efek domino”, dan masih banyak lagi lainnya. Setiap ideom pasti memiliki sejarah yang melatarbelakangi kelahirannya. Tafsir terhadap idiom adalah berdasarkan konvensi masyarakat penggunanya. 

Idiom “kambing hitam” berlatar belakang kitab suci Perjanjian Lama. Dalam Imamat 16:9-10 disebutkan “Lalu Harun harus mempersembahkan kambing jantan yang kena undi bagi TUHAN itu dan mengolahnya sebagai korban penghapus dosa. Tetapi kambing jantan yang kena undi bagi Azazel haruslah ditempatkan hidup-hidup di hadapan TUHAN untuk mengadakan pendamaian, lalu dilepaskan bagi Azazel ke padang gurun.”” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “kambing hitam” dimaknai sebagai orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, tetapi dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan. Sementara itu bentukan “mengambinghitamkan” bermakna menjadikan kambing hitam, mempersalahkan, menuduh bersalah.

Meskipun sama-sama hitamnya, idiom “kuda hitam” memiliki latar belakang sejarah yang berbeda dengan “kambing hitam”. Di dalam kitab suci Perjanjian Baru memang ada “kuda hitam.” Konteksnya ada dalam Wahyu 6:5, “Dan ketika Anak Domba itu membuka meterai yang ketiga, aku mendengar makhluk yang ketiga berkata: "Mari!" Dan aku melihat: sesungguhnya, ada seekor kuda hitam dan orang yang menungganginya memegang sebuah timbangan di tangannya.” Alkitab Sabda menafsirkan “kuda hitam dan penunggangnya” melambangkan kelaparan yang besar.

Dalam konteks di luar Alkitab, Benjamin Disraeli adalah orang yang kali pertama memperkenalkan ideom “kuda hitam.” Seekor kuda hitam dalam novel The Young Duke karya Disraeli, tanpa diduga sebelumnya memenangi pergelaran pacuan kuda. Dari idiom itulah kemudian sejumlah kemenangan calon tak terduga dari beberapa pemilihan presiden di beberapa negara disebut sebagai “kuda hitam.”

Selain “kambing hitam” dan “kuda hitam”, idiom yang sedang populer saat ini adalah “efek domino.” Idiom yang satu ini tak pernah dijumpai dalam kitab suci manapun. Meskipun demikian, langsung atau tidak langsung “efek domino” juga memiliki kaitan dengan dua idiom sebelumnya. Dengan kata lain, biasanya ketiga idiom itu sering muncul dalam satu paket perbincangan politik di media masa. 

Domino yang kita kenal saat ini adalah nama sebuah permainan dengan menggunakan kartu yang berjumlah 28. Kartu-kartu itu bergambar titik-titik besar, dan tiap kartu dibagi menjadi 2 bidang. Setiap bidang kartu terdapat 0 sampai 6 titik. Permainan yang berasal dari Tiongkok ini semula bernama pai gow, namun setelah masuk Eropa lebih dikenal sebagai “domino,” yang berasal dari kata dominus yang arti harfiahnya adalah pemilik. Karena mekanisme permainannya dengan cara mencocokkan kesamaan jumlah titik pada salah satu bidang kartu, maka jika ada peristiwa yang menimbulkan rangkaian peristiwa serupa lainnya disebut sebagai “efek domino.” Kuda hitam dan kambing hitam juga memiliki potensi efek domino. 

Seiring melejitnya idiom “efek domino,” namun popularitas idiom ini tak bisa menggeser permainan domino itu sendiri. Bahkan saat ini di negeri kita permainan domino telah masuk sebagai salah satu cabang olahraga yang dipertandingkan secara nasional. Banyak permainan yang berkembang di tanah air, namun tidak sepopuler dan setahan domino. Permainan-permaian daerah yang pada masa kecil saya sangat populer, namun seiring kemajuan teknologi elektronik dan digital, satu per satu hilang ditelan zaman. Namun demikian tidak terjadi pada permainan domino. Popularitas permainan domino dimasyarakat kita akan mempermudah mencari atlet-atlet domino yang andal di masa mendatang.

Di era ponsel android dengan macam-macam fitur permainan yang tersedia, permainan domino tampaknya juga tak pernah tergeser posisinya. Di pos kamling dan di pangkalan ojek, sekalipun ponsel android menjadi teman setia penggunanya, namun kegiatan main domino masih sering kita dapati. Remaja masa kini juga banyak yang gandrung dengan permainan domino. Oleh karenanya, sangat beralasan mengapa domino masuk sebagai salah satu cabang olahraga.

Hari ini, setelah sembilan abad berlalu, tidak seperti permainan-permainan klasik lainnya, domino tidak dianggap sebagai permainan yang ketinggalan zaman. Permainan domino masih menjadi media yang manjur dalam memecah kesunyian, dan mencairkan kekakuan komunikasi. Permainan domino menjadi ajang memperkuat tali silaturahim sekaligus berlatih menerima realitas, karena dalam permainan ini ada kemenangan dan kekalahan. Baik yang menang maupun yang kalah tidak ada dendam, semua masih saling menyapa dan tertawa bersama.

Di banyak desa di Indonesia jagong bayi masih merupakan tradisi yang terus lestari hingga saat ini. Jagong bayi adalah istilah Jawa untuk menyebut kegiatan menyemarakkan suasana dan turut bergembira atas kelahiran bayi. Kegiatan ini biasanya dilakukan dengan cara berkumpul di rumah orang tua bayi tersebut. Jagong bayi biasanya diisi dengan perbincangan santai sambil menikmati kopi dan kudapan yang disajikan oleh tuan rumah. Agar pertemuannya makin gayeng dan untuk mengusir rasa kantuk, permainan domino selalu menjadi teman yang baik. Karena mekanisme permainannya yang tak begitu sulit, maka domino bisa dimainkan oleh siapa saja.

Di sela-sela permainan domino seringkali juga diselingi dengan perbincangan ringan, mulai dari sendau gurau sampai perbincangan politik. Sebagai manusia sosial dan politik, peserta jagong bayi tak lepas dari keterlibatannya dalam perbincangan politik. Calon presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif acapkali diperdebatkan di forum jagong bayi. Ada kesepakatan, ada juga ketidaksepakatan. Yang jelas ketika hari coblosan tiba, di TPS area jagong bayi itu berlangsung, ternyata mereka juga tak satu suara. Suara beragam. Dalam forum jagong bayi itu ternyata mereka telah sepakat untuk tidak sepakat. Itulah contoh sikap dewasa peserta jagong bayi dalam berdemokrasi. Sembari terus melestarikan tradisi, domino tetap menjadi teman sejati, dan demokrasi dihayati dari hati ke hati.

Dr. Wadji, M.Pd. adalah Redaktur Ahli Nusadaily.com dan Ketua Umum Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).