Cerita Ekspor Pasir Laut Ditutup Mega-SBY, Dibuka Era Jokowi dengan Dalih Hanya Sedimen
Berdasarkan kebijakan tersebut, Jokowi memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut sebagai upaya pengendalian hasil sedimentasi di laut. Belakangan Jokowi berdalih yang diekspor itu bukanlah pasir laut, melainkan hasil sedimentasi laut.
NUSADAILY.COM – JAKARTA - Larangan ekspor pasir laut yang sudah berjalan selama 20 tahun sejak masa kepemimpinan Presiden ke-5 RI Megawati Soekarnoputri kini disebut dibuka kembali di ujung masa kepresidenan Joko Widodo (Jokowi) pada 2024 ini.
Pembukaan kembali ekspor pasir laut diatur lewat Permendag 20/2024 dan Permendag 21/2024 yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Berdasarkan kebijakan tersebut, Jokowi memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut sebagai upaya pengendalian hasil sedimentasi di laut. Belakangan Jokowi berdalih yang diekspor itu bukanlah pasir laut, melainkan hasil sedimentasi laut.
"Yang dibuka itu sedimen, sedimen yang mengganggu alur jalannya kapal. Sekali lagi bukan, kalau diterjemahkan pasir, beda lho ya," kata Jokowi di Menara Danareksa, Jakarta Pusat, Selasa (17/9).
"Sedimen itu beda, meskipun wujudnya juga pasir, tapi sedimen. Coba dibaca di situ, sedimen," imbuh pria yang akan mengakhiri masa jabatannya pada Oktober mendatang.
Namun, keputusan Jokowi membuka kembali ekspor tersebut setelah dilarang di masa pemerintahan dua presiden sebelumnya--Megawati dan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selama dua periode--terlanjur menuai beragam tanggapan dari berbagai pihak yang terdampak.
Berbagai keberatan dilayangkan atas langkah pemerintahan Jokowi itu, baik dari nelayan, pemerhati lingkungan, LSM, Susi Pudjiastuti yang eks menteri Jokowi di KKP, hingga PDIP.
Berikut riwayat larangan ekspor pasir laut yang disetop era Mega dan SBYhingga kini dibuka kembali oleh Jokowi di ujung masa kepresidenannya pada 2024 ini.
Mengutip dari berbagai sumber sejarah ekspor pasir laut Indonesia yang pertama dibuka pada dekade 1970an di masa pemerintahan Presiden ke-2 RI Soeharto untuk memenuhi kebutuhan Singapura.
Kemudian pemerintahan Presiden ke-5 RI, Megawati menghentikannya pada 2002 lalu karena dinilai merusak lingkungan.
Mulanya, Megawati menetapkan larangan untuk mengekspor pasir laut pada tahun 2002 guna mencegah kerusakan lingkungan lebih lanjut yang disebabkan oleh pengerukan pasir laut berlebih, sehingga berpotensi memicu tenggelamnya pulau-pulau kecil.
Lahir Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri yakni Menperindag, Menteri Kelautan dan Perikanan, dan Menteri Lingkungan Hidup (Nomor 89/MPP/Kep/2002, SKB.07/MEN/2002, dan 01/MENLH/2/2002) yang diteken pada 14 Januari 2002.
Tiga menteri kala itu yakni Menperindag Rini S Soemarno, Menteri KP Rokhmin Dahuri, dan MenLH Nabiel Makarim menyatakan SKB soal penghentian ekspor sementara pasir laut itu berlaku mulai 18 Januari 2002.
Lalu Megawati meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut, dirinya membatasi ekspor pasir laut. Keppres itu diteken pada 23 Mei 2002.
Pasal 8 ayat (2) Keppres tersebut menyatakan, "Pasir laut yang ditetapkan sebagai komoditi yang diawasi tata niaga ekspornya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat diubah menjadi komoditi yang dilarang ekspornya setelah mempertimbangkan usulan dari Tim Pengendali dan Pengawas Pengusahaan Pasir Laut."
Kemudian muncul Surat Keputusan (SK) Menteri Perdagangan Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 yang berisi penghentian ekspor pasir laut.
Larangan ini sempat ditegaskan kembali di masa kepemimpinan Presiden ke-6 RI, SBY, pada 2007 silam sebagai bentuk perlawanan aktivitas pengiriman pasir ilegal ke Singapura. Pemerintah dan DPR mengesahkan Undang-Undang (UU) Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang salah satu aturannya adalah larangan penambangan pasir.
Urgensi pelarangan ekspor pasir laut tak hanya karena memperburuk ekosistem pesisir dan laut. Pada 2007 silam, Freddy Numberi yang menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) era SBY kala itu menyatakan Pulau Nipah dan Sebatik di wilayah Batam pun hampir tenggelam karena abrasi dari aktivitas pengerukan pasir. Mengutip dari Antara, Dirinya menegaskan bahwa aktivitas ekspor pasir laut merugikan.
Pun demikian diungkap Menlu kabinet SBY pada 2007 silam, Hassan Wirajuda.
"Pelarangan ekspor pasir juga lebih banyak pada keprihatinan kita pada kerusakan lingkungan ... itu sepenuhnya hak negara berdaulat, tidak perlu dikait-kaitkan dengan perbatasan," kata Hassan yang dikutip dari artikel di Antara terbit 12 Maret 2007.
Kebijakan itu diubah oleh Jokowi melalui Peraturan Pemerintah (PP) 26 Tahun 2023, sehingga kini keran ekspor dibuka lagi, serta ditambah aturan pelaksana dua peraturan menteri perdagangan (Permendag) sebagai produk hukum turunan PP Jokowi.
PP 26/2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut itu disahkan Jokowi pada 15 Mei 2023. PP tersebut merupakan turunan dari UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Materi UU Kelautan itu sebagian ada yang berubah lewat UU Ciptaker yang menjadi omnibus law.
PP 26/2023 tersebut dinilai menjadi ruang untuk membuka kembali keran ekspor pasir laut dengan dalih untuk mengendalikan hasil sedimentasi di laut. Lahirnya PP 26/2024 itu mencabut Keppres Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian Dan Pengawasan Pengusahaan Pasir Laut.
Pasal 1 ayat (2) PP 26 Tahun 2023 tertulis, "Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut adalah upaya terintegrasi yang meliputi perencanaan, pengendalian, pemanfaatan, dan pengawasan terhadap sedimentasi di Laut."
Kemudian pada Pasal 9 ayat (2) PP tersebut, aktivitas ekspor dapat dilakukan sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan disesuaikan dengan ketentuan dari peraturan perundang-undangan.
Hal ini diamini pula oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Isy Karim. Menurutnya, pengaturan dilakukan guna menanggulangi sedimentasi yang dapat menurunkan daya dukung serta daya tampung ekosistem pesisir dan laut, serta kesehatan laut.
Menindaklanjuti PP tersebut kemudian terbit Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 33 Tahun 2023 Tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.
Dan, kemudian ekspor pasir laut atau 'hasil sedimentasi di laut' itu dibuka lewat aturan turunan pada dua permendag: Permendag 20/2024 dan Permendag 21/2024.(han)