Buwas Mengaku Tahu Siapa Mafia Penyebab Beras Mahal, Tapi Kok Cuma Koar-koar Ya

Buwas mengaku sudah mengetahui siapa saja mafia tersebut. Ia pun memperingatkan para mafia untuk tidak lagi mengintimidasi pedagang beras. "Tidak ada (lagi) mafia-mafiaan, ngapain kumpulin pedagang diintimidasi. Jangan dipikir saya tidak tahu, ada rekamannya semua, siapa yang hadir saya tahu, di mana tempatnya saya tahu. Masalah beras untuk masyarakat dipakai mainan. Jangan merasa hebat, ngancam-ngancam," tegas Buwas di Kantor Bulog, Jumat (20/1).

Feb 8, 2023 - 17:05
Buwas Mengaku Tahu Siapa Mafia Penyebab Beras Mahal, Tapi Kok Cuma Koar-koar Ya

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Pemerintah telah mengimpor 500 ribu ton beras untuk memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP) yang digunakan untuk operasi pasar. Namun yang terjadi, harga beras di pasar naik dalam beberapa Minggu terakhir.

Berdasarkan Panel Harga Badan Pangan Nasional, harga beras premium pada Selasa (7/2) naik 0,15 persen menjadi Rp13.330 per kilogram dibanding minggu lalu. Kemudian beras medium naik 0,09 persen menjadi Rp11.690 per kilogram.

Harga ini melampau harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp9.450 per kilogram.

Tak hanya harganya yang naik, persediaan beras juga mulai langka. Setidaknya hal itu lah yang diungkapkan penjual beras Pasar Induk Cipinang. Ketua Koperasi Pasar Induk Beras Cipinang (KKPIBC) Zulkifli Rasyid mengatakan stok beras tersisa 13.370 ton.

"Memang stok di PIBC ini sangat menipis, 13 ribu ton. Kalau awal Januari stok PIBC itu 25.462 ton, akhir Januari ini 13.370 ton," katanya, dikutip dari CNBC TV, Kamis (2/2).

Ada Mafia Permainkan Harga

Pemerintah sudah berupaya mengatasinya dengan mengimpor beras dari berbagai negara. 

Perum Bulog mengimpor 500 ribu ton beras dari Vietnam, Myanmar, Thailand, dan Pakistan. Direktur Utama Bulog Budi Waseso (Buwas) mengatakan beras impor yang sudah masuk saat ini baru mencapai 300 ribu ton. Sisa 200 ribu ton lagi sedang dalam perjalanan masuk ke Indonesia.

Padahal, 500 ribu ton beras awalnya ditargetkan masuk seluruhnya pada Desember 2022.

"Impor yang sudah masuk 300 (ribu) lebih dari 500 (ribu), sisanya ini sekarang di lautan dan pelabuhan, tunggu bongkar. Sebenarnya sudah diprioritaskan hanya karena cuaca, kalau enggak berasnya bisa rusak" ujar Buwas di Kantor Pusat Bulog, Jakarta Selatan, Kamis (3/2).

Beras sudah mulai disalurkan untuk operasi pasar. Total beras yang sudah disalurkan di seluruh Indonesia mencapai 209 ribu ton dari awal tahun 2023 hingga 3 Februari.

Buwas mengatakan Bulog menjual beras Rp8.300 per kg per kilogram untuk harga dari gudang sehingga seharusnya beras tersebut dijual paling mahal ke konsumen sesuai harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp9.450.

Buwas menuding ada mafia yang menjual beras Bulog kepada pedagang dengan harga mahal. Mafia tersebut sengaja menghalangi pedagang membeli beras langsung dari Bulog.

Penjual yang terhalangi membeli beras dari Bulog harus membeli beras dari mafia dengan harga di atas Rp8.300 per kg. Hal ini membuat harga di tingkat konsumen mahal.

Buwas mengaku sudah mengetahui siapa saja mafia tersebut. Ia pun memperingatkan para mafia untuk tidak lagi mengintimidasi pedagang beras.

"Tidak ada (lagi) mafia-mafiaan, ngapain kumpulin pedagang diintimidasi. Jangan dipikir saya tidak tahu, ada rekamannya semua, siapa yang hadir saya tahu, di mana tempatnya saya tahu. Masalah beras untuk masyarakat dipakai mainan. Jangan merasa hebat, ngancam-ngancam," tegas Buwas di Kantor Bulog, Jumat (20/1).

Maka dari itu, Buwas mengatakan seluruh pedagang beras sekarang bisa langsung membeli beras ke Bulog dengan harga beras Rp8.300 per kg. Ia pun menegaskan tidak akan memberikan beras kepada para mafia tersebut.

"Orang yang mengintimidasi (pedagang) tidak akan saya kasih sebutir (beras) pun," lanjutnya.

Tak hanya soal harga dan pasokan, urusan beras juga bermasalah dalam hal data di mana data yang dimiliki Bulog berbeda dengan Kementerian Pertanian (Kementan).

Buwas mengatakan stok beras di penggilingan menipis sehingga Bulog tidak dapat menyerap dengan maksimal. Sedangkan Kementan mengatakan produksi beras dalam negeri surplus.

Terpisah, Zulkifli Hasan, Menteri Perdagangan menegaskan, kelangkaan pasokan beras di Pasar Induk Cipinang sebenarnya sudah terjadi sejak Desember 2022. Saat itu, stok beras di gudang ada di kisaran 25 ribu ton.

Ia menyebut stok beras langka terjadi karena pasokan beras dari daerah mengering karena tidak panen. Dengan begitu, beras dari daerah sudah tidak mengalir ke pasar induk.

Menanggapi permasalahan beras tersebut, Direktur IDEAS (Indonesia Development and Islamic Studies) Yusuf Wibisono menyayangkan Bulog yang gagal menyelesaikan impor 500 ribu ton beras di Desember 2022. Namun ia menilai harga beras harusnya sudah turun pada Februari ini karena menjelang panen raya pada akhir Februari hingga awal Maret.

"Jika harga beras masih tinggi hingga awal Februari 2023 ini ketika beras impor sudah masuk sejak Januari dan panen raya sudah di depan mata, hal ini anomali, seharusnya itu sudah sangat cukup menekan psikologis pasar bahwa pasokan Bulog memadai dan pasokan dari petani sudah mulai masuk dan berpuncak di akhir Februari atau awal Maret," ujar Yusuf, mengutip CNNIndonesia.com.

Menurutnya, masih tingginya harga beras saat ini mengindikasikan dua hal. Pertama, terbatasnya pasokan beras di pasar yang menunjukkan bahwa produksi domestik tidak mencapai target dan karena itu surplusnya sangat tipis.

Kedua, intervensi dari Bulog melalui operasi pasar tidak cukup masif. Hal itu sekaligus mengindikasikan proses impor beras sejak Desember 2022 berjalan sangat lambat.

Ia menjelaskan intervensi pasar dari Bulog sangat diharapkan saat ini untuk menekan harga. Jika Bulog bisa setiap hari melakukan operasi pasar dalam jumlah cukup signifikan, Yusuf menilai seharusnya efektif meredam kenaikan harga beras.

Di lain sisi, Yusuf mengatakan sampai saat ini memang data produksi beras masih bermasalah. Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan produksi beras 2022 mencapai 32,1 juta ton, naik sekitar 700 ribu ton dibandingkan 2021.

Namun Bulog mengatakan tidak ada pasokan beras di pasar domestik sehingga untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, impor harus dilakukan.

Kemudian produksi beras nasional dalam 4 tahun terakhir sendiri cenderung turun, dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,4 juta ton pada 2021

"Hal ini menunjukkan ada masalah dalam proyeksi BPS. Maka proyeksi BPS tentang kenaikan produksi beras di 2022 menurut saya perlu diterima dengan hati-hati," ujar Yusuf.

Ia mengatakan yang menjadi titik masalah adalah luas lahan sawah. Meski kini metode estimasi BPS sudah jauh lebih baik dengan menggunakan Kerangka Sampel Area (KSA), basis estimasi yang berdasar luas lahan baku sawah 2019 yang sebesar 7,46 juta hektare.

Padahal, konversi lahan sawah masif terjadi di Jawa karena dipenuhi berbagai proyek strategis nasional seperti jalan tol Trans Jawa yang banyak mengorbankan lahan pertanian produktif.

Berdasarkan hasil penelitiannya, Yusuf menemukan peta lahan sawah dilindungi pada 2021 di 8 provinsi utama beras yaitu Banten, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTB dan Sumbar, terdapat selisih hingga 136 ribu hektar dengan luas lahan baku sawah di 2019. Tanpa perlindungan, lahan sawah seluas itu sangat mungkin sudah dikonversi.

"Dengan kata lain, sangat mungkin luas lahan baku sawah 2019 sebesar 7,46 juta hektare sudah mengalami penurunan signifikan sekarang ini," kata Yusuf.

Dengan demikian, Yusuf menilai kenaikan harga beras saat ini tidak hanya karena kelemahan impor beras oleh Bulog, tetapi juga kegagalan pemerintah meningkatkan produksi beras, terutama dalam melindungi alih fungsi lahan pertanian pangan produktif.

Sementara itu, Peneliti CELIOS Andri Perdana mengatakan ada beberapa alasan kenapa beras masih mahal. Pertama stok beras Bulog yang berasal dari produksi domestik yang makin menipis.

Kedua beras impor masih sedikit yang didistribusikan oleh Bulog. Tidak hanya masalah jumlah yang didistribusikan, Andri menilai kemahalan harga juga terjadi karena beras impor masih memakai perantara.

Sementara itu untuk menipisnya stok CBP dari produksi domestik, ia menilai itu semua terjadi karena Bulog tidak menyerapnya secara efektif. Padahal produksi padi tahun lalu melampaui target yakni 106,61 persen atau 55,44 juta ton dari target 54,56 juta ton.

"Kita lihat tahun kemarin Bulog baru masif menyerap dan dan mencari hasil di akhir tahun, padahal panen raya sudah sejak kuartal-I 2022 dan bahkan pada Maret-Mei kemarin petani kesulitan untuk menjual hasil panennya," ujarnya.

Andri menjelaskan sebenarnya produksi beras pada tahun lalu banyak. Tapi petani lebih memilih menjual ke bandar atau spekulan karena Bulog tidak menyerap dengan aktif.

Padahal, harga beras yang dijual petani ke bandar berada di luar kendali pemerintah. Jadi stok yang biasanya dibeli Bulog untuk menstabilkan harga sudah di tangan swasta.

Dengan kondisi itu, harga dan pasokan di luar kendali pemerintah. Di sisi lain, pedagang pun tidak mau rugi untuk menjual stok ini dengan harga murah karena belinya dulu di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP).

Di lain sisi, Andri menjelaskan beras impor yang mau dijual bulog dengan HET RP9.540 memiliki kualitas lebih bagus dari beras medium dan bahkan premium domestik yang harganya sekarang sudah sekitar Rp10.800-R11.500 (area Jawa) untuk medium dan Rp12.400-Rp13.000 (area Jawa) untuk premium.

Beras impor ini harga belinya bagi pedagang lebih murah dari beras premium domestik, tapi dari segi kualitas lebih baik dari beras medium.

"Jadinya banyak pedagang yang mengoplos beras impor bulog ini ke beras premium karena untungnya lebih tinggi, dan kalau dijual sesuai HET sekalipun akan cepat habis diborong dan harganya kembali ke luar kendali pemerintah," ujarnya.

Sementara terkait perbedaan data beras, Andri menilai salah satu penyebabnya karena penyerapan Bulog yang terlambat. Misalnya saat Bulog sempat ditanya oleh DPR karena hanya mendapatkan 20 ribu beras, padahal data Kementan menunjukkan harusnya ada 100 ribu ton.

Andri menilai hal ini terjadi karena beras terlambat diserap oleh Bulog dan sudah dijual petani ke bandar.

Andri mengatakan memang ada faktor-faktor lain seperti kemungkinan perhitungan BPS yang overestimate, dan kenaikan harga produksi seperti pupuk yang membuat petani membatasi produksi.

Namun, stok CBP yang diserap Bulog tahun lalu dinilai terlalu rendah jika dibandingkan dengan total produksi padi tahun lalu yang tidak mengalami kendala dari segi iklim dan cuaca.

"Rendahnya stok CBP ini juga akhirnya membuat celah bagi spekulan untuk mempengaruhi pasar," tandasnya.

Selain itu, nilai HPP yang ditentukan pemerintah juga menjadi batasan bagi Bulog untuk dapat menyerap hasil tani setelah kenaikan harga produksi. HPP yang terbatas ini membuat petani lebih memilih untuk menjual hasil taninya ke bandar dan bahkan spekulan.

"Apabila pemerintah tidak melakukan penyesuaian HPP, maka akan sulit bagi Bulog untuk menyerap beras apalagi dengan target 2,4 juta ton di tahun ini," ujar Andri.(han)