BRIN Berada Dalam Pusaran Kritik
"Dari awal, memang kita sudah mengkritik, bahwa keberpihakan postur anggaran BRIN pada riset negara kita masih minim sekali," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman. "Karena apa, dari anggaran total Rp6,38 triliun, 4 triliun-nya full dipakai untuk operasional belanja kepegawaian," sambungnya. Terpisah, Peneliti Teknik Kelautan Wahyu Widodo Pandoe punya cerita miris soal nasib riset dan anggaran yang cekak usai kehadiran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Mengutip situs resmi DPR, pagu anggaran BRIN pada 2022 sebetulnya mencapai Rp6,3 triliun. Namun, dalam rapat bersama Komisi VII DPR, Senin (30/1), Rp4 triliun dari anggaran tersebut dipakai untuk operasional belanja pegawai.
Namun sayangnya, dana sebesar itu keberpihakannya pada riset sangat minim, justru terbesar untuk pengeluaran rutin pegawai.
"Dari awal, memang kita sudah mengkritik, bahwa keberpihakan postur anggaran BRIN pada riset negara kita masih minim sekali," kata Wakil Ketua Komisi VII DPR Maman Abdurrahman.
"Karena apa, dari anggaran total Rp6,38 triliun, 4 triliun-nya full dipakai untuk operasional belanja kepegawaian," sambungnya.
Terpisah, Peneliti Teknik Kelautan Wahyu Widodo Pandoe punya cerita miris soal nasib riset dan anggaran yang cekak usai kehadiran Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Saking cekaknya anggaran, buoy, resminya bernama InaBuoy, yang berguna sebagai pendeteksi tsunami pun tak diakomodasi.
InaBuoy digunakan salah satu alat pendeteksi tsunami dalam program Indonesia Tsunami Early Warning System (INA TEWS) garapan BRIN.
Kritik Maman itu dibenarkan oleh Wahyu. Menurutnya, anggaran yang besar pasca-peleburan sejumlah badan riset ternyata tidak berdampak signifikan.
"Dulu rencana digabung dan hasilnya anggaran besar ternyata enggak signifikan juga. Artinya anggaran Rp6,3 triliun, jumlah dari enam entitas lembaga yang dilebur. Artinya Rp4 triliun itu hanya untuk operasional kantor dan operasional riset yang kecil. Jadi enggak ada gaungnya, beda dengan ketika kita di BPPT dulu," katanya.
Sebelumnya, program ini merupakan garapan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Namun program tersebut beralih usai BPPT dilebur bersama sejumlah lembaga riset lainnya menjadi BRIN.
"Sekarang buoy tidak ada yang jalan. Kita tidak ada dana. Tidak ada anggaran. Terakhir pemasangan tahun lalu," kata Wahyu, mengutip CNNIndonesia.com, Kamis (2/2).
Ia mengatakan buoy yang digunakan di InaTEWS dibuat di PT. PAL Surabaya. Sebelum dipakai, buoy terlebih dahulu menjalani tes sebelum ditaruh di lautan untuk mendeteksi tsunami.
"Dibuatnya di PT PAL karena supaya masuk ke industri. Lalu ke Jakarta dikirim ke kapal berangkat ke laut tapi dites dulu. Prosedurnya ada, prosedur baku untuk tes macem-macem," kata Wahyu.
Alat ini merekam data perubahan tekanan air menggunakan sensor pressure. Data tersebut dikirim menggunakan gelombang akuatik ke satelit yang kemudian diterima oleh Indonesia Tsunami Observation Center (Ina TOC) di Gedung Soedjono Djoenoed Poesponegoro di Jalan M.H. Thamrin, Jakarta.
Sayangnya, kantor itu kosong dan tak ada aktivitas sejak BRIN menghentikan anggaran untuk InaTEWS. Buoy yang ditempatkan di lautan pun terbengkalai.
Padahal, Wahyu menuturkan semula ada 10 unit buoy yang rencananya dibuat dengan 6 untuk beroperasi dan empat untuk cadangan.
"Jadi setiap kita datang ke lokasi angkat yang lama, ganti yang baru, buoy lama refurbished untuk deployment penggantian berikutnya. Istilahnya "rotational buoy" ujar Wahyu.
Sayangnya, kondisi yang ada saat ini jauh dari harapan. Wahyu menuturkan, ada buoy yang seharusnya sudah diambil pada 2022 namun tidak dilakukan "karena ketiadaan anggaran".
"Kenapa harus diambil? Baterai ya 1 tahun sekali harus diganti, paling lambat 18 bulan. Tapi itu sudah lewat semua," katanya.
Laporan terakhir pun mencatat, buoy yang ada di barat Bengkulu menjadi yang terakhir beroperasi pada Agustus 2022. Padahal, ada enam buoy yang terpasang pada 2021.
"Lokasi dari enam: Sumba, Denpasar, Malang, Cilacap, Selat Sunda dan Bengkulu. Dulu beroperasi ini. Bengkulu terakhir ya," ujar Wahyu.
Kondisi tersebut membuat Wahyu prihatin. Pria yang sudah aktif di Early Warning System (EWS) sejak 2006 itu menilai anggaran yang ada saat ini tidaklah cukup.
Padahal, aset yang dimiliki demikian besar. "Ya prihatin saja bahwa aset yang sudah demikian besar tidak berlanjut. Kalaupun berlanjut dengan dana yang minim tidak cukup untuk menjalankan EWS. Tapi kita berupaya gimana lagi, kita tunggu," katanya.
Selain itu, Wahyu menyebut ada perbedaan orientasi antara BPPT dan BRIN saat ini. Di BPPT, penelitian yang dibuat berorientasi kepada produk yang bisa diimplementasikan.
"Sementara sekarang tidak banyak kelihatan di hilir, tetapi banyak riset yang di hulu," kata Wahyu.
Menurut Wahyu, hal tersebut terjadi karena "arahan pimpinan" untuk mempelajari teknologi kunci. Namun menurutnya, hal tersebut justru menjadi bumerang. "Nanti kita belajar teknologi kunci, tetapi orang lain udah berjalan lebih jauh," katanya.
Dalam rapat dengan Komisi VII DPR, Laksana Tri Handoko menyatakan akan melakukan penyelidikan internal soal penggunaan anggaran itu.
"Kami akan segera juga melakukan investigasi di internal kami terkait hal-hal yang sudah jadi masukan yang tadi disampaikan oleh bapak/ibu sekalian," ucapnya.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menepis sejumlah kritik terkait dugaan 'borok' lembaga yang diterima dalam setidaknya dua pekan terakhir, mulai dari dugaan penghilangan jejak Habibie hingga soal anggaran buoy.
Awal Februari, BRIN diberitakan tak menyediakan anggaran khusus untuk alat deteksi tsunami buoy atau InaBuoy. Hal itu mengakibatkan program deteksi dini tsunami InaTEWS terlantar.
Selain itu, lembaga riset ini menuai sorotan usai tak menempatkan nama mantan Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie dalam diorama lini masa sejarah ilmu pengetahuan dan teknologi Indonesia di kantornya.
Setelah dua pekan terakhir terbilang 'silent', dengan beberapa pengecualian statement bantahan yang singkat, BRIN memberi pernyataan soal isu-isu panas di kantornya, Jakarta, Jumat (10/2).
Buoy
Kepala BRIN Laksana Tri Handoko mengklaim tak menghentikan anggaran alat deteksi tsunami buoy. Ia menyebut itu tak cocok diterapkan di Indonesia.
"Bukan kita hentikan, [tapi] karena skema anggaran berubah," ujar dia, di kantornya, Jakarta, Jumat (10/2).
Ia menuturkan "apa yang dilakukan di BRIN dan BPPT itu adalah riset. Jadi kita belum pernah mengoperasiokan alat deteksi dini tsunami. Karena BRIN atau siapa pun tidak akan pernah menjadi operator."
"Yang jadi operator itu BMKG," lanjut Handoko.
BRIN sebelumnya juga menyebut sedang mencari alat deteksi tsunami yang lebih murah dan efektif.
Habibie
BRIN juga mengaku tak berusaha menghilangkan jejak Habibie dari sejarah iptek. Nama Habibie bahkan diabadikan untuk Kawasan Administrasi (KA) BRIN di Jl. M.H. Thamrin, Jakarta.
Selain itu, nama penggagas pesawat terbang made in Indonesia N-250 tersebut menjadi identitas Kawasan Sains dan Teknologi (KST) terbesar BRIN di Serpong, yaitu KST B.J. Habibie.
Senada, Handoko mengaku menjadikan Habibie sebagai inspirasinya.
Meski begitu, iaenggan mengganti diorama atau alat peraga bertuliskan lini masa sejarah riset di Indonesia yang nihil nama teknokrat Habibie.
"Enggak usah, emang kenapa? Halah, wong hanya begitu aja, itu kan sudah dua tahun di situ," ujar dia, saat ditanya wartawan soal potensi pergantian diorama itu, di kantornya, Jumat (10/2).
Dugaan anggaran hilang
Komisi VII DPR, dalam rapat dengar pendapat dengan BRIN, Senin (30/1) sore, mempertanyakan anggaran program-program terkait masyarakat.
Mereka menyebut program yang menyertakan daerah-daerah pemilihan (dapil) anggota Komisi VII itu baru terealisasi Rp100 miliar dari total anggaran Rp800 miliar.
Menjawab hal itu, Handoko menyatakan usulan program dari Komisi VII DPR senilai Rp800,8 miliar tak ada dalam UU 28 Tahun 2022 tentang APBN Tahun Anggaran 2023.
"Perlu ditekankan bahwa di dalam UU di atas tidak ada persetujuan DPR RI dan pemerintah atas alokasi Rp800,8 miliar," kata Handoko, dalam pernyataannya, Jumat (10/2).
"Sehingga akan sangat menyesatkan publik apabila diinformasikan seolah-olah anggaran tersebut telah teralokasi di dalam APBN BRIN, baik pada TA 2022 maupun pada TA 2023."
Program MBBM
BRIN juga sebelumnya diberitakan 'menyalurkan' dana program Masyarakat Bertanya BRIN Menjawab (MBBM) ke anggota Komisi VII DPR di Kalimantan Utara.
Program itu bertujuan untuk memberikan pelatihan pemberdayaan dan peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat. Komisi VII sendiri sudah membantahnya.
"Terkait program MBBM, tidak ada anggaran masuk ke DPR," ungkap Handoko.
Dugaan mutasi peneliti
Handoko mengklaim tidak akan mengusik peneliti atau pegawai yang membocorkan masalah internal lembaga, termasuk soal buoy.
"Teman-teman (peneliti dan pegawai) di BRIN buka borok sendiri, emang ada yang saya apa-apain?" jawab dia, saat ditanya soal potensi mutasi pegawai 'bocor', di kantornya, Jakarta, Jumat (10/2).
"Saya panggil (peneliti itu) kamu komplainnya apa. Apa yang dipermasalahkan? Ya ngapain juga [ada pemutasian]. Kita belum pernah melakukan itu," tuturnya.
Desakan mundur
Komisi VII DPR juga sempat merekomendasikan pencopotan Handoko dari jabatannya usai ada pemberitaan soal dugaan penggunaan dana BRIN oleh DPR di daerah pemilihan (dapil) tertentu.
Laksana Tri Handoko menyerahkan nasib rekomendasi pencopotan dirinya dari jabatan Kepala BRIN kepada Presiden.
"Kalau dicopot namanya usulan, namanya ranah dan keputusan politik dari anggota [DPR], ya boleh-boleh saja, enggak apa-apa," tandas dia.(Sirhan Sahri)
What's Your Reaction?






