Berkenalan dengan Samin, Masyarakat Sedulur Sikep
Oleh: Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum.
Pertama kali mendengan kata “Samin” yang terbayang adalah orang yang aneh, wong sudrun, wong mbrengkunung, dan wong sakarepe dewe. Namun stigma negatif itu seketika hilang, ketika kaki ini menapak di bumi Sedulur Sikep yang berada di Dusun Jepang, Desa Margomulyo, Kecamatan Margomulyo, Kabupaten Bojonegoro. Sambutan dari Sedulur Sikep begitu hangat, semanak serta terbuka pada rombongan kami dan kepada siapapun yang datang. Mereka menyambut setiap tamu yang hadir dengan senyuman yang lebar nan tulus. Tak lupa salam kedatangan selalu diucapkan dengan berhasabat dan dilanjutkan dengan percakapan yang sangat akrab, meski pun baru pertama kali bertemu.
Hari itu, Sabtu Pon tanggal 13 Sura Taun Je (1958) atau tanggal 20 Juli 2024, bertepatan dengan rangkaian Festival Samin ke-8 dengan mengangkat tema “Obor Sewu, Mikul Dhuwur Mendhem Jero”. Tema ini sengaja diangkat dengan maksud bahwasannya Sedulur Sikep dengan ajaran Saminnya dapat menjadi obor sebagai pepadang lelaku-nya manusia di bumi ini. Di samping itu, Sedulur Sikep diharapkan dapat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari para sesepuhnya, khususnya ajaran yang diberikan oleh Mbah Samin Surosentiko atau Raden Kohar (Randublatung, 1859 – Sawahlunto, 1914) yang merupakan pelopor dari ajaran Samin.
Bambang Sutrisno (43 tahun), penerus Samin V, pada acara Ngangsu Kawruh mengungkapkan panjang lebar terkait dengan ajaran Samin yang dianut oleh Sedulur Sikep. Orang Samin hendak membangun sebuah negara batin yang jauh dari sikap drengki srei, tukar padu, dahpen kemeren. Sebaliknya, mereka hendak mewujudkan perintah "Lakonana sabar trokal. Sabare dieling-eling. Trokale dilakoni." Ajaran ini menekankan bahwa hidup harus sabar dan harus selalu diingat bahwa hidup harus sabar. Kecuali itu, hidup juga harus trokal, yaitu berusaha semaksimal mungkin untuk mengisi hidup dan kehidupan.
Drengki srei adalah sikap yang dapat merusak dalam bermasyarakat atau bersaudara, yaitu sikap yang selalu tidak suka melihat kesenangan orang atau suka mengganggu ketenangan orang. Sikap tukar padu yaitu sikap yang suka akan bermusuhan atau berantem dengan siapapun, terutama dengan tetangga. Hal ini tentunya akan mengancam ketentraman terutama dalam bertetangga atau bermasyarakat. Sedangkan sikap dahpen kemeren adalah sikap di mana manusia hendaknya tidak mudah menuduh orang berbuat salah atau dosa dan iri pada orang lain, baik harta benda, posisi, jabatan ataupun status sosial. Karena sikap kemeren (iri) akan menggerogoti ketenangan batin dan hidup bagi manusia itu sendiri. Orang hidup itu harus pasrah, semeleh, sabar, narimo ing pandum, seperti air telaga yang tidak bersuara namun memberi kehidupan yang ada di sekitarnya.
Ajaran di atas merupakan intisari dari pokok ajaran Saminisme yang mencakup:
1. Agama adalah senjata atau pegangan hidup. Paham Samin tidak membeda-bedakan agama, oleh karena itu orang Samin tidak pernah mengingkari atau membenci agama. Yang penting adalah tabiat dalam hidupnya.
2. Jangan mengganggu orang, jangan bertengkar, jangan suka iri hati, dan jangan suka mengambil milik orang.
3. Bersikap sabar dan jangan sombong.
4. Manusia hidup harus memahami kehidupannya sebab hidup adalah sama dengan roh dan hanya satu, dibawa abadi selamanya. Menurut orang Samin, roh orang yang meninggal tidaklah meninggal, namun hanya menanggalkan pakaiannya.
5. Bila berbicara harus bisa menjaga mulut, jujur, dan saling menghormati. Berdagang bagi orang Samin dilarang karena dalam perdagangan terdapat unsur “ketidakjujuran”. Juga tidak boleh menerima sumbangan dalam bentuk uang.
Masyarakat Sedulur Sikep sangat perhatian terhadap lingkungannya. Mereka tidak pernah mengeksploitasi alam secara berlebihan, namun sebaliknya mereka memanfaatkan alam secukupnya saja. Hal ini dilandasi oleh ajaran masyarakat Sedulur Sikep yang sangat sederhana, apa adanya, dan tidak berlebihan. Tanah bagi mereka bagaikan seorang ibu, karena tanah sebagai tempat hidup dan memberi penghidupan bagi mereka. Oleh karena itu, mereka yang kebanyakan sebagai petani tradisional dalam memperlakukan lahan pekarangan dan sawahnya dengan sangat baik dan hati-hati. Mereka mengolah lahan hanya berdasarkan musim saja, yaitu ketiga (kemarau) dan rendeng (penghujan). Masyarakat Sedulur Sikep menyadari betul bahwa kekayaan alam akan segera habis atau tidak tergantung pada perilaku dan sikap pemakainya.
Masyarakat Sedulur Sikep menganggap pemerintahan tidak jujur baik dari masa penjajahan Belanda, penjajahan Jepang bahkan pemerintah Indonesia. Mereka menentang cara-cara kekejaman yang dilakukan oleh para penguasa dalam menarik pajak pada masyarakat awam. Masyarakat Sedulur Sikep menganggap semua manusia itu bersaudara, sedulur atau bersaudara. Mereka juga menentang adanya perbedaan dalam kasta dalam masyarakat. Oleh karena itu, mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa (undha usuk basa) seperti yang dianut masyarakat Jawa pada umumnya. Mereka menggunakan bahasa Jawa ngoko sebagai bahasa komunikasi dalam sehari-hari. Mereka berpendapat bahwa dalam menghormati orang lain tidaklah dari bahasa yang digunakan, namun dari sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh penuturnya.
Masyarakat Sedulur Sikep dalam berpakaian biasanya mengenakan baju warna hitam, lengan panjang dan tanpa berkerah. Kaum laki-laki (Samina) biasanya memakai ikat kepala, udeng, dengan nuansa warna hitam atau wulung. Saat ini mereka memiliki ikat kepala dengan corak batiknya sendiri yakni batik obor sewu. Sedangkan untuk wanita (Samini) mengenakan kebaya lengan panjang dan berkain yang menjuntai ke bawah sampai atas mata kaki atau di bawah tempurung lutut.
Masyarakat Sedulur Sikep memiliki persamaan dalam hal kekerabatan dengan masyarakat Jawa pada umumnya, baik dalam sebutan atau pun cara penyebutannya. Mereka tidak begitu mengenal hubungan kekerabatan untuk generasi lebih tua sebelum mbah, misalnya buyut atau cangggah. Dalam hal hubungan dengan tetangga baik sesama Sedulur Sikep maupun masyarakat luar, tetap terjaga dengan baik. Masyarakat Sedulur Sikep mempunyai tradisi saling berkunjung kepada keluarga yang memiliki hajat meskipun jauh tempat tinggalnya. Hal ini dilakukan semata untuk menjaga dan melestarikan hubungan dalam kekerabatan atau kekeluargaan agar selalu guyub rukun.
Stigma negatif tidak berhenti di seputar perilaku masyarakat Sedulur Sikep, namun juga pada ajaran perkawinan. Orang awam menilai masyarakat Samin menganut paham “kumpul kebo’ , hidup serumah tanpa ikatan (nikah). Hal ini dibantah oleh Bambang Sutrisno. Mas Bambang, sebutan akrabnya, menuturkan bahwa ajaran perkawinan masyarakat Sedulur Sikap tidak serendah. Bagi masyarakat Samin, dalam proses perkawinan apabila sudah terjadi perkenalan antara pihak laki-laki dan perempuan kemudian dilanjutkan dengan pertemuan dan lamaran dari pihak laki-laki dan diterima (direstui) oleh pihak perempuan, maka mereka sudah boleh kumpul.
Pada esok harinya pihak laki-laki harus matur kepada orang tua si perempuan untuk bercerita pengalaman kumpul semalam dan membicarakan proses berikutnya, syukuran perkawinan. Hal ini dilandasi oleh sikap jujur masyarakatnya. Dahulu bagi mereka acara penerimaan lamaran sudah dianggap sah dan diakui oleh warga sebagai keluarga baru tanpa mencatatkan diri ke Kantor Urusan Agama (KUA) atau Kantor Catatan Sipil. Saat ini bila ada acara pertemuan atau lamaran bagi calon pengantin, pihak KUA untuk hadir langsung dan mencatat proses itu sebagai pernikahan yang sah. Hal ini untuk menepis stigma negatif dan suatu pernyataan bahwa pernikahan dalam masyarakat Sedulur Sikep sudah sah baik secara adat maupun secara negara.
Kekinian, masyarakat Sedulur Sikep jauh lebih terbuka dan maju. Selain melakukan Festival Samin yang begitu megah, mereka juga memiliki ajang pencarian bakat bagi pemuda dan pemudi dari masyarakat Samin seperti layaknya putra-putri tingkat daerah atau nasional. Samina adalah sebutan untuk putra Samin, dan Samini sebutan untuk putri Samin. Selain itu, generasi muda Samin tidak sedikit yang mengenyam bangku sekolah, dari Sekolah dasar bahkan sampai Perguruan Tinggi.
Seperti halnya putra dari Mas Bambang yang baru saja menyelesaikan program sarjana di salah satu PTS ternama di Kota Madiun. Bahkan putra dari Mas Bambang pernah memenangkan Festival Film Pendek di tingkat nasional. Sungguh suatu prestasi yang luar biasa! Bagi masyarakat Sedulur Sikep, biarlah stigma negatif diberikan pada mereka, namun mereka tidak akan pernah melawannya. Mereka yakin dengan gerakan diam (tanpa perlawanan verbal dan fisik), orang yang tadinya berpikir negatif akan mencarinya. Sungguh prinsip hidup yang begitu luhur dan teguh. Acungan dua Jempol bagi masyarakat Sedulur Sikep yang begitu rumaket…(****)
Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum., adalah dosen Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).
Tulisan ini sudah disunting oleh Dr. Dewi Kencanawati, M.Pd., dosen Universitas Nusantara PGRI Kediri dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).