Berharap dari Ketidakmungkinan

Oleh: Dr. Mangihut Siregar, M.Si.

Oct 11, 2024 - 08:35
Berharap dari Ketidakmungkinan

Pada hari Senin, 1 Oktober 2024 DPR periode 2024-2029 resmi dilantik. Pelantikan ini akan dilanjutkan pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2024. Pelantikan kedua lembaga ini merupakan rangkaian Pemilu serentak tahun 2024 yang pertama sekali dilakukan di Indonesia.

Patut kita syukuri pelantikan DPR, DPRD provinsi, DPRD kota dan kabupaten relatif berjalan dengan baik. Demikian juga pemilihan pimpinan parlemen (MPR, DPR, dan DPD) berjalan dengan baik. Pembagian kekuasaan di ketiga lembaga tersebut dilakukan secara merata alias negosiasi antar elit. Hanya pemilihan pimpinan DPD yang mengalami sedikit dinamika namun tetap diakhiri dengan situasi yang kondusif. Semoga pelantikan presiden dan wakil presiden periode 2024-2029 juga berjalan dengan baik.

 

Dominasi Petahana di Parlemen

Sebanyak 580 anggota DPR sudah dilantik. Mereka berasal dari 8 partai politik: PDI-P memperoleh 110 kursi, Golkar 102 kursi, Gerindra 86 kursi, Nasdem 69 kursi, PKB 68 kursi, PKS 53 kursi, PAN 48 kursi dan Demokrat memperoleh 44 kursi. Satu partai yang sebelumnya mempunyai suara di parlemen yaitu PPP tidak lolos ambang batas di parlemen. Dengan demikian hanya 8 partai yang berhak menempatkan wakilnya duduk di Senayan.

Dari 580 anggota DPR yang baru dilantik, sebanyak 307 orang atau 53% merupakan wajah lama. Ada yang sudah dua periode bahkan lebih dari dua periode sebagai anggota DPR. Dari data ini terlihat bahwa wajah DPR kita didominasi wajah lama. Tentu kebijakan yang akan mereka ambil terkait dengan tugas dan wewenang DPR tidak jauh beda dengan sebelum-sebelumnya. Mereka akan lebih suka menikmati zona aman daripada memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.

Kinerja DPR periode 2019-2024 sangat rendah sekali. Total RUU yang selesai hanya 27 RUU (10,26%). Persentase yang sangat kecil ditambah RUU yang selesai dikerjakan bukan kebutuhan masyarakat umum. Beberapa contoh RUU yang merupakan kebutuhan publik yang diterlantarkan: RUU Perampasan Aset, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT), dan RUU Masyarakat Hukum Adat.

Di sisi yang lain RUU yang tidak masuk prolegnas tetapi kebutuhan kelompok elit akan menjadi prioritas. Hal ini terlihat dari RUU: Kementerian Negara, Wantimpres, Polri dan TNI. Fenomena ini akan tetap bertahan untuk periode selanjutnya karena mereka penyandang yang terhormat masih didominasi petahana.

 

Koalisi Besar di Pemerintahan

Pemerintahan yang akan dipimpin Prabowo dan Gibran merupakan koalisi besar. Dari 580 anggota DPR ada sebanyak 470 suara (81%) secara resmi yang sudah bergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM). Hanya PDI-P untuk sementara yang belum menentukan sikapnya apakah bergabung dengan pemerintahan KIM plus. Kemungkinan PDI-P untuk bergabung sangat besar dan jika hal ini terjadi maka lengkap sudah 100% partai politik di Indonesia merupakan pendukung pemerintah.

Indonesia merupakan negara demokrasi. Demokrasi yang sehat apabila terjadi keseimbangan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan harus dibagi dan saling mengawasi demi menjaga keseimbangan. Pemusatan kekuasaan pada salah satu lembaga akan merugikan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan checks and balances agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang.

Apabila kekuasaan eksekutif lebih dominan bahkan menguasai legislatif dapat dipastikan lembaga legislatif tidak dapat melakukan fungsi kontrol. Alih-alih mengontrol kekuasaan eksekutif yang super power, legislatif malah menjadi lembaga pelegitimasi kekuasaan eksekutif. Pemerintah selaku lembaga eksekutif akan melakukan kebijakan sesuai dengan keinginannya. Sebaliknya, apabila legislatif yang paling dominan, pemerintah sangat sulit melaksanakan programnya. Oleh karena itu diperlukan kekuatan yang berimbang antara legislatif dan eksekutif. Eksekutif dan legislatif harus sama-sama kuat sehingga tercipta demokrasi yang baik.

Pergantian kekuasaan yang akan terjadi dari pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin ke Prabowo-Gibran mengalami ketimpangan. Partai-partai yang sudah bergerombol mendukung pemerintah akan bersepakat untuk mengutamakan kelompoknya (koalisinya). Hampir tidak ada lagi partai yang akan mengkritisi semua program pemerintah. Rakyat yang sudah mendelegasikan kekuasaannya kepada DPR hanya sebagai penonton terhadap sikap para politisi yang terhormat.

Mereka menyandang gelar yang terhormat hanya membutuhkan rakyat saat kampanye. Setelah suaranya diberikan di TPS, di saat itu juga tanggung jawab mereka yang terhormat kepada rakyat sudah selesai. Selanjutnya para yang terhormat akan mengabdikan dirinya kepada partai. Mereka harus tunduk kepada partai bukan kepada rakyat yang diwakili. Apabila dewan terhormat mengutamakan rakyat yang diwakilinya dan tidak tunduk kepada keinginan partai alias ketua partai maka siap-siap akan diganti. Alasan pencopotan bisa pergantian antar waktu (PAW) atau alasan lain yang dibuat-buat.

Fenomena ini menjadikan para dewan bukan mewakili rakyat melainkan mewakili partai bahkan mewakili keinginan elit partai. Maka hampir dapat dipastikan kebijakan pemerintahan periode 2024-2029 adalah kebijakan para kelompok elit. Eksekutif dan legislatif sudah berkoalisi bahkan bersekongkol menjadi satu barisan. Masih adakah lembaga yang diharapkan untuk memperjuangkan kebutuhan masyarakat umum? Semoga dari ketidakmungkinan ini ada secercah harapan baru. (****)

 

Dr. Mangihut Siregar, M.Si. adalah Dekan FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, dan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI), email: [email protected].

Editor: Wadji