Badai PHK Nasional dan Internasional Tak Kunjung Usai
Pemutusan hubungan kerja (PHK) tak kunjung usai, baik di dalam dan luar negeri. Tidak hanya perusahaan rintisan alias startup berbasis teknologi di Indonesia, badai PHK juga menerjang perusahaan besar mancanegara, seperti Amazon, Twitter, hingga Meta.
NUSADAIL.COM – JAKARTA - Pemutusan hubungan kerja (PHK) tak kunjung usai, baik di dalam dan luar negeri. Tidak hanya perusahaan rintisan alias startup berbasis teknologi di Indonesia, badai PHK juga menerjang perusahaan besar mancanegara, seperti Amazon, Twitter, hingga Meta.
Lebih dari 18 ribu karyawan Amazon terdampak PHK dengan dalih memburuknya kondisi ekonomi global belakangan ini. Informasi lengkap soal siapa saja yang terkena PHK akan disampaikan perusahaan pada 18 Januari mendatang.
Namun, CEO Amazon Andy Jassy sudah mengatakan dalam memo yang dibagikan perusahaan ke karyawan, pekerja yang terdampak kebijakan PHK mencakup mereka yang mengisi posisi HRD dan toko Amazon.
Merespons PHK massal di perusahaan IT hingga startup yang tak kunjung usai, Ekonom sekaligus Co-Founder & Dewan Pakar Institute of Social Economics and Digital (ISED) Ryan Kiryanto menduga ada dua faktor utama yang menjadi biang kerok.
Pertama, pemulihan ekonomi negara-negara maju selepas pandemi covid-19 tidak secepat perkiraan.
Secara khusus, Ryan menyoroti bagaimana The Fed melakukan kebijakan agresif menaikkan suku bunga acuan untuk meredam inflasi Amerika Serikat (AS).
Namun, hal tersebut bertolak belakang dengan upaya mendorong pertumbuhan ekonomi. Pada akhirnya, banyak orang tidak berinvestasi atau melakukan konsumsi, melainkan condong menyimpan uang di bank atau lembaga keuangan.
"Ini yang membuat permintaan produk teknologi atau yang terkait dengan produk-produk turunan teknologi itu turun. Mau gak mau perusahaan-perusahaan berbasis teknologi yang besar ini harus menyeimbangkan sisi keuangannya agar tidak terlalu tekor atau boros. Karena ternyata penjualannya tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya," jelasnya kepada, Jumat (13/1).
"Negara Barat itu sangat biasa melakukan rasionalisasi karyawan atau bahasa kita di Indonesia melakukan PHK. Kita bisa lihat Amazon, Twitter, atau Facebook, dan sebagainya. Itu untuk menyeimbangkan neraca perdagangan mereka di saat ekonomi sedang melambat," sambung Ryan.
Kedua, Ryan melihat pekerja kembali melakukan aktivitas normal setelah pandemi covid-19, tidak seperti yang dibayangkan sebelumnya bahwa akan berlaku sistem work from home (WFH) atau bekerja secara hybrid tanpa perlu ke kantor. Fakta tersebut turut memukul jumlah penjualan barang-barang elektronik hingga penggunaan layanan jasa berbasis IT.
Ketika pandemi covid-19, pekerja sampai harus berlangganan Zoom, beli laptop canggih, eksternal kamera, hingga menggunakan speaker tambahan untuk bekerja dari rumah.
Namun, permintaan yang tinggi di periode pandemi tersebut menyusut ketika covid-19 mereda. Bahkan, Ryan mengaku barang-barang tersebut sudah tidak ia pakai lagi karena lebih sering bertemu langsung di kantor.
"Sebetulnya yang terjadi di dalam negeri ini sama dengan yang terjadi di negara maju. Di AS orang banyak WFH, lalu kita produksi di dalam negeri, ngikut. Kita kan follower, karakter kita kan follower, ngikut. Tapi ternyata di sana tidak sesuai yang diperkirakan sebelumnya, kita ikut-ikutan jadi korban. Makanya beberapa perusahaan berbasis IT sudah mengurangi karyawannya, tempo hari 18 ribu (PHK) itu Amazon," tuturnya.
Kendati demikian, Ryan tidak bisa memastikan sampai kapan badai PHK ini berlangsung. Menurutnya, semua itu tergantung kondisi keuangan perusahaan. Ia hanya menekankan perusahaan IT mau tidak mau harus melakukan reshaping atau memformulasikan ulang model perusahaan agar bisa bertahan di tengah ketidakpastian global.
(roi)