Apakah Emosi adalah Penanda Kelemahan Kita?

Oleh: Daniel Ginting

Nov 22, 2024 - 09:00
Apakah Emosi adalah Penanda Kelemahan Kita?

Emosi merupakan kondisi mental yang sering kali mendapat stigma karena dianggap penanda kelemahan atau kurangnya pengendalian diri seseorang. Dalam percakapan sehari-hari, kita biasa mendengar orang berkata "Kamu terlalu emosional dalam menanggapi kritik. Harusnya kamu bisa lebih profesional." Di sini, kata "emosional" berarti perilaku yang berlebihan. Contoh lain adalah “jangan terlalu emosional, itu cuma hal kecil kok." Dalam konteks ini, kata "emosional" berarti perilaku yang tidak pantas.

Mengapa emosi itu sering disalahkan dan dijadikan kambing hitam khususnya bila ada masalah seperti pertikaian atau konflik. Ujung-ujungnya bisa kita tebak yaitu rasa penyesalan.

Baru-baru ini di sebuah sekolah di Surabaya dikabarkan bahwa ada seorang pria dengan emosi yang meledak-ledak memaksa seorang siswa untuk bersujud dan menggonggong seperti anjing. Kabarnya, tindakan agresif ini dilakukan sebagai bentuk pembalasan atas ejekan yang menimpa anaknya. Namun, selang beberapa hari kemudian, pria yang marah-marah itu membuat video klarifikasi permintaan maaf kepada publik atas tindakannya. Apakah permintaan maaf ini akibat tekanan dari netizen atau berasal dari sanubarinya yang terdalam? Saya tidak tahu tetapi setidaknya sikap itu membenarkan peribahasa yang mengatakan penyesalan selalu datang terlambat.

Bagaimanakah emosi yang meledak-ledak itu bisa terjadi?

Kita tidak perlu terkejut kalau sifat marah itu adalah sifat bawaan yang secara genetik diturunkan kepada makhluk hidup, khususnya manusia dan hewan. Tujuannya adalah agar makhluk hidup itu tetap survive terhadap rangsangan di luar yang dianggap ancaman. Perilaku “bawaan” ini lahir dari pemrosesan emosi yang sangat dasar atau biasa disebut primary emotional processing pada otak yang cara kerjanya terjadi berdasarkan prinsip homeostasis atau keseimbangan internal. Perasaan-perasaan yang menimbulkan ketidaknyamanan perlu diatasi. Umumnya ada dua jenis tindakan yaitu fight or flight. Fight berarti melawan ancaman dan sebaliknya flight melarikan diri karena ancaman jauh lebih besar dari kemampuan untuk melawan.

Di kelas, perilaku sebagai hasil dari primary emotional process sangat mungkin terjadi. Misalnya, seorang guru menjadi sangat frustrasi karena perilaku murid-muridnya yang bersikap tidak sesuai dengan perspektif atau harapan guru tadi. Singkat kata, murid dianggap mengganggu proses pembelajaran. Ternyata tidak sedikit dilaporkan bahwa respons guru menjadi tidak terkendali: meledak-ledak dalam kemarahan sambil mengeluarkan “kata-kata kasar dan pedas” kepada siswa. Kasus lain, misalnya, siswa bisa menjadi super agresif saat dia merasa dipermalukan saat guru memberi teguran keras di depan teman-temannya. Siswa yang menilai harga dirinya "direndahkan" bisa merespons balik dengan pembangkangan dan bahkan bicara kasar dan akhirnya meninggalkan kelas.

Kasus pengusaha dari Surabaya, guru yang marah dan siswa yang walk out dari kelas adalah contoh di mana pikiran logis bisa menjadi terganggu atau tidak berfungsi secara optimal saat proses emosi primer terjadi, terutama ketika emosi yang kuat mendominasi respons seseorang. Secara neurologis pada saat emosi yang meledak, terjadi dominasi amigdala dalam otak yang awalnya berfungsi untuk mengatur emosi dalam merespons situasi. Tetapi karena terlalu aktif, dominasinya mengganggu kinerja prefrontal cortex yang bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan rasional, perencanaan, dan kontrol diri. Sebagai buahnya, muncul respons emosional yang intens dan impulsif dan bahkan menghasilkan tindakan agresif irasional.

 

Apakah contoh-contoh di atas berarti pembenaran stigma emosi?

Tidak juga. Pengalaman emosional justru menjadi salah satu syarat pengadaan proses belajar mengajar yang bermutu. Sebagai contoh model pembelajaran asosiatif yang diperkenalkan oleh mazhab behaviorism. Dalam eksperimen tersebut, Pavlov menunjukkan bahwa hewan dapat belajar mengasosiasikan stimulus yang awalnya netral (seperti suara bel) dengan respons fisiologis tertentu (seperti mengeluarkan air liur) setelah pengulangan yang konsisten. Proses yang sama dapat terjadi pada manusia, di mana pengalaman-pengalaman tertentu mengubah cara manusia merespons situasi di masa depan, baik secara positif maupun negatif.  Di kelas, seorang siswa mungkin merasa gugup saat pertama kali presentasi di depan kelas. Namun, setelah beberapa kali pengalaman berbicara di depan teman-temannya dan mendapatkan pujian atau dukungan dari guru dan teman, siswa tersebut mulai belajar dan mengasosiasikan berbicara di depan kelas dengan rasa percaya diri dan kepuasan. Respons awal yang penuh ketakutan lambat laun berubah menjadi rasa percaya diri yang terwujud dalam perilaku yang terkendali.

Resonansi asosiasi seperti apakah yang umumnya ditangkap masyarakat saat mendengar istilah Ujian Nasional ?

Ujian Nasional (UN) secara asosiatif sering menggambarkan proses emosional pengalaman masa lalu yang mencemaskan. Kata-kata seperti "Ujian Nasional", atau kata "kelulusan", membuat otak kita terlanjur mengasosiasikannya dengan kecemasan. Sebagai salah satu saran untuk mereduksi kecemasan ini adalah untuk mengubah perannya dalam menentukan kelulusan siswa. Jika UN tidak lagi dijadikan sebagai satu-satunya penentu kelulusan, siswa tidak akan merasa bahwa masa depan mereka bergantung sepenuhnya pada ujian tersebut.

Kalau memang emosi memiliki kontribusi positif, lalu seperti apakah bentuknya dalam mendukung pembelajaran?

Riset menemukan bahwa ada hubungan kuat antara retensi dengan pengalaman yang syarat pesan emosi.  Ahli neurosains menyebutkan ingatan ini sebagai “flashbulb memory" atau ingatan terhadap peristiwa yang terjadi di luar dugaan dan memiliki efek kejut kuat. Sekalipun masih diperdebatkan, tetapi kebanyakan ahli sepakat bahwa justru peristiwa yang penuh nuansa emosi negatif, misalnya bencana alam, cedera yang dialami, peristiwa pembunuhan, serangan teroris, kecelakaan hebat, pembunuhan tokoh, perang, dst. cenderung jauh lebih bisa diingat detailnya dibandingkan pengalaman hidup dengan emosi positif. Peristiwa-peristiwa sederhana pun bisa lebih diingat. Sebagai contoh, saya masih bisa menceritakan cukup detail bagaimana saya pernah mendapatkan hukuman pukulan dengan sebuah lidi dari ayah saat beliau mengetahui saya dan teman-teman berenang di atas batang pisang di aliran sungai Brantas yang deras. Peristiwa ini begitu berkesan karena melibatkan figur penting dalam hidup bagi saya. Perasaan takut dan terkejut karena hukuman ditambah dengan tingginya risiko yang bisa berdampak fatal: berenang di aliran air yang deras dan berdekatan dengan dam air terjun. Memang ada elemen asosiatif yang masih melekat di benak saya setiap kali saya melewati jalan yang sama dengan aliran sungai Brantas. Air itu menghidupkan ingatan saya dengan figur-figur yang penuh kesan seperti ayah dan teman-teman.

Jaak Panksepp, ahli neurosains, menegaskan bahwa ketika manusia tidak hanya berhenti dalam tataran asosiatif namun mampu memaknai peristiwa hidup dalam spektrum yang lebih luas, maka mereka dapat mencapai tingkat pemahaman emosional yang lebih dalam, memperkaya pengalaman batin, serta membentuk pola pikir dan tindakan yang lebih adaptif dan bermakna dalam menghadapi tantangan kehidupan. Tahap pengolahan emosi seperti ini disebut sebagai tertiary emotional process. Dalam proses tersier, kita tidak hanya merasakan emosi pada saat peristiwa terjadi tetapi juga merenungkan dan menganalisis perasaan tersebut. Buahnya adalah pencapaian kesadaran diri yang lebih tinggi: pemahaman terhadap diri sendiri, termasuk mengidentifikasi pola pikir, keyakinan, dan nilai-nilai yang memengaruhi cara seseorang memandang dunia. Alhasil, cara bertindak seperti ini menghindarkan orang dari reaksi impulsif yang dapat merugikan diri sendiri atau orang lain. Manusia yang reflektif adalah manusia yang bijaksana dalam mengambil keputusan: mengalkulasi tindakannya secara lebih hati-hati dengan mempertimbangkan segala kemungkinan di depan.

Ada berita baik! Apa itu?

Pengalaman emosional yang diproses pada tingkat tersier juga lebih mudah diingat, memperkuat pemahaman dan pembelajaran jangka panjang dari peristiwa tersebut. Ketika kita mengalami peristiwa emosional, amigdala, bagian otak yang mengatur respon emosional, mulai aktif. Aktivitas amigdala ini kemudian meningkatkan atensi kita terhadap peristiwa tersebut, membuat kita lebih fokus dan lebih waspada terhadap detail yang terjadi. Peningkatan atensi ini memungkinkan informasi penting atau emosional untuk lebih mudah dikodekan dalam hippocampus, bagian otak yang bertanggung jawab untuk penyimpanan memori jangka panjang. Proses ini membuat pengalaman emosional lebih mudah diingat dan lebih berarti dibandingkan peristiwa yang tidak melibatkan emosi, yang memerlukan usaha lebih melalui pengulangan dan latihan untuk memperkuat memori. 

Lalu apa implikasi dari hubungan kuat retensi dan pengalaman yang sarat nuansa emosi?

Setidaknya kita sebagai pendidik bisa memetik beberapa pelajaran penting. Mengurangi tekanan dan ketegangan dapat membantu siswa tetap fokus pada pembelajaran. Memberikan umpan balik yang konstruktif, menghindari hukuman berlebihan, dan menghargai usaha siswa juga mendukung untuk menciptakan atmosfer belajar yang lebih menyenangkan dan memotivasi. Jadi, pengalaman emosional siswa yang positif akan membuat materi pelajaran lebih mudah diingat, sebaliknya pengalaman yang penuh frustrasi atau ketakutan bisa menghambat pembelajaran.

Perlu diingat bahwa rasa takut dan khawatir tidak selalu sepenuhnya buruk. Rasa takut atau khawatir dapat berfungsi sebagai dorongan yang memotivasi siswa untuk belajar lebih sungguh-sungguh. Misalnya, rasa khawatir tentang ujian bisa mendorong siswa untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik. Dengan kata lain, rasa takut atau khawatir menjadi energi yang mendorong siswa untuk bertindak demi mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan rasa percaya diri. Namun, ada batasan penting di sini. Jika rasa takut atau khawatir terlalu intens atau berlarut-larut, emosi tersebut dapat menjadi penghambat. Ketakutan yang berlebihan bisa memicu stres, yang pada akhirnya memengaruhi kemampuan siswa untuk fokus, berpikir kreatif, atau mengingat informasi.

Metode mengajar seperti story telling yang erat dengan unsur emosi bisa dijadikan salah satu pilihan cara mengajar untuk membuat materi pembelajaran lebih berkesan. Cerita, yang sering kali melibatkan elemen emosi dan pengalaman pribadi. Ketika siswa terlibat dalam cerita yang menyentuh perasaan atau menggugah imajinasi mereka, informasi yang disampaikan dalam cerita tersebut menjadi lebih mudah diingat. Selain itu, cerita dapat menyederhanakan konsep-konsep yang sulit dan menjadikannya lebih mudah dipahami melalui analogi atau contoh konkret yang mengena.

Ternyata emosi tidak selamanya negatif. Belajar tentang eksistensi emosi membuat kita semakin sadar masih banyak yang harus dibenahi. Saya pun masih perlu banyak  belajar mengolahnya dengan baik. Jadi, singkat kata emosi bukanlah hal yang harus dihindari, tetapi harus dipahami dan dikelola untuk mendukung perkembangan diri.

 

Daniel Ginting adalah guru besar Sastra Inggis Universitas Ma Chung.

Editor: Wadji