Ancaman Resesi Global di Tahun 2023, Mending Nabung atau Investasi?

'Awan gelap' bakal bakal menyelimuti perekonomian dunia tahun 2023. Dunia dihadapkan oleh ancaman resesi global yang salah satunya dipicu oleh pengetatan moneter yang dilakukan oleh berbagai bank sentral melalui kenaikan suku bunga acuan.

Jan 3, 2023 - 06:00
Ancaman Resesi Global di Tahun 2023, Mending Nabung atau Investasi?
Ilustrasi (blog.amartha)

NUSADAILY.COM – JAKARTA - 'Awan gelap' bakal bakal menyelimuti perekonomian dunia tahun 2023. Dunia dihadapkan oleh ancaman resesi global yang salah satunya dipicu oleh pengetatan moneter yang dilakukan oleh berbagai bank sentral melalui kenaikan suku bunga acuan.

Tentu saja, hal itu juga menjadi tantangan bagi Indonesia. Bagi masyarakat, hal ini juga menjadi tantangan karena juga menjadi pertimbangan dalam hal menempatkan kekayaannya. Lalu, bagaimana sebaiknya?

Kepala Ekonom PT Bank Central Asia Tbk, David Sumual menjelaskan, kondisi tahun tahun 2022 dan tahun 2008 hampir serupa. Pada tahun 2008, banyak kelas aset mengalami penurunan imbal hasil. Namun, ada beberapa kelas aset yang memiliki imbal hasil yang lumayan seperti US treasury.

Sementara, di tahun 2022 hampir semua kelas aset mengalami pelemahan.

"Kecuali mungkin yang pegang deposito aja," katanya dilansir dari detikcom ditulis Senin (2/1/2023).

Di tahun 2023, David mengelompokan menjadi dua periode yakni periode awal dan akhir tahun. Menurutnya, untuk paruh pertama 2023, kondisinya tak jauh beda dengan tahun 2022. Menurutnya, bank sentral masih agresif mengerek suku bunga acuan.

Sementara, pasar saham cenderung ditinggal investor. Hal itu seperti halnya terjadi di luar negeri di mana saham-saham teknologi juga dihindari. Secara umum, kata dia, kinerja saham akan menurun.

Dia juga menilai, harga komoditas cenderung melemah. Pelemahan ini juga bakal berlanjut pada awal tahun 2023.


David memperkirakan, kondisi akan berubah di periode selanjutnya. Dia menduga, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) tak terus-terusan melanjutkan pengetatan moneter.

"Untuk berikutnya sangat tergantung perkembangan geopolitik dan juga bagaimana Fed melanjutkan atau tidak kebijakan moneter ketatnya. Dugaan saya sih mereka nggak bisa terus-terusan melakukan kebijakan moneter yang terlalu ketat," terangnya.

Berkaca dari hal tersebut, menurutnya, fixed asset masih akan menarik untuk paruh pertama tahun 2023. Begitu juga dengan obligasi, meski kecenderungan harganya menurun.

"Seperti deposito itu menarik, kan trennya lagi meningkat (suku bunga). Jadi terus juga untuk obligasi menarik, obligasi korporasi atau obligasi pemerintah menarik, walaupun dari segi harga masih bisa ada kecenderungan sedikit lagi turun karena trennya Fed masih menaikan suku bunga, tapi mungkin nggak banyak lagi, terbatas, asing saya perhatikan mulai masuk pelan-pelan," ungkapnya.


"Untuk reksadana juga menarik yang berkaitan dengan fixed asset kan banyak," tambahnya.

Selanjutnya, dia mengatakan, saham bisa dikoleksi pelan-pelan. Apalagi, harga sejumlah saham telah mengalami penurunan cukup dalam.

"Untuk saham mungkin di tahun depan sudah bisa lebih agresif tapi mungkin masih ada kecenderungan menurun, seperti saya bilang nebak di bulan kapan menarik, tapi sudah mulai bisa dikoleksi pelan-pelan, karena kan banyak harga saham mulai turun cukup dalam di beberapa sektor," jelasnya.

Sementara, Direktur Equator Swarna Capital Hans Kwee menjelaskan, tahun 2023 pasar modal dunia diliputi kekhawatiran potensi resesi global akibat kenaikan suku bunga yang agresif dari berbagai bank sentral akibat inflasi yang tinggi. Ada juga risiko geopolitik yang berpotensi membuat terjadinya perang nuklir yang berakibat perang dunia ke 3.

Menurutnya, pasar saham Indonesia tetap menarik karena puncak inflasi sudah dilalui untuk AS di tengah tahun dan zona Eropa di akhir tahun 2022.

"Hal ini mendorong potensi puncak kenaikan suku bunga AS dan sebagian besar bank sentral adalah Q2 2023. Sebagian besar bank sentral menyisakan kenaikan 50-75 basis poin kenaikan suku bunga. Pertumbuhan ekonomi global kemungkinan akan melambat di tahun 2023 dan sebagian negara terancam mengalami resesi," ujarnya.

Menurutnya, ekonomi Indonesia tetap kuat dampak gangguan pasokan akibat COVID-19 dan perang Ukraina-Rusia mendorong komoditas tetap tinggi.

Kenaikan suku bunga berbagai bank sentral sudah mendekati puncak mendorong aliran dana asing cenderung kembali masuk ke pasar Indonesia. Rupiah juga akan cenderung lebih stabil dan cenderung menguat.

"Pasar modal Indonesia khususnya pasar obligasi akan menarik. Pasar saham terlihat masih akan positif tahun depan," katanya.(eky)