Akan Jadi Apa Negeri Ini Ketika BI Tak Lagi Haram Diisi Kalangan Politisi, Inflasi Bisa Tembus 600 %

Pada masa itu, kata Faisal, Indonesia harus menghadapi krisis ekonomi yang sangat buruk dan tergambar dari tingkat inflasi yang mencapai ratusan persen. Puncaknya terjadi pada tahun 1966, inflasi tembus 635,26 persen yang kemudian sering disebut hiperinflasi. Hal tersebut akibat tidak terkontrolnya pencetakan uang, lemahnya produksi, hingga anjloknya sentimen terhadap rupiah.

Nov 2, 2022 - 17:43
Akan Jadi Apa Negeri Ini Ketika BI Tak Lagi Haram Diisi Kalangan Politisi, Inflasi Bisa Tembus 600 %

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) beberapa waktu lalu menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) alias Omnibus Law Keuangan inisiatif Komisi XI untuk dilanjutkan menjadi RUU Usulan DPR RI.

Adapun, mengenai aturan BI di dalam Omnibus Law Keuangan beberapa poin telah diubah dari aturan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Perbandingan dalam draft RUU PPSK awal dengan draft tertanggal 22 September 2022 beberapa aturan diubah dan ditambah. Salah satunya adalah mengenai syarat Anggota Dewan Gubernur BI.

DPR memutuskan untuk menghapus Pasal 47 huruf C dari UU BI sebelumnya di dalam RUU PPSK. Pasal ini adalah substansi mengenai BI terkait pelarangan Anggota Dewan Gubernur BI menjadi pengurus atau anggota partai politik.

Seperti diketahui, lewat Omnibus Law Keuangan ini, maka sederet aturan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dirombak.

Wakil Ketua Komisi XI DPR Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Amir Uskara dihapuskan klausul tersebut di dalam Omnibus Law Keuangan, bukan artinya Deputi Gubernur BI boleh berpolitik. Namun, sumber daya manusia dari Deputi Gubernur BI boleh berasal dari kalangan politisi.

"Kan kita disini (kalangan politisi) banyak profesional yang banyak masuk sini. Artinya kita gak mau batasi, sepanjang dia punya kemampuan, kapasitas dan kompetensi, bisa masuk," jelas Amir.

Kendati demikian, Amir menekankan, apabila sang politisi tersebut sudah masuk menjadi Deputi Gubernur BI, mereka juga harus meninggalkan posisinya di partai politik.

Amir menilai, usulan dari Komisi XI DPR untuk bisa menunjuk Deputi Gubernur BI dari kalangan politisi, tidak akan menimbulkan persepsi publik untuk 'menggoyang' independensi BI sebagai bank sentral.

Toh, melihat kinerja anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang juga tak jarang berasal dari kalangan politisi, mereka pada akhirnya bekerja secara profesional.

"Saya kira tidak (menimbulkan persepsi buruk masyarakat), seperti BPK selama ini professional. Padahal sebagian dari sini (kalangan politisi), setelah masuk sana juga profesional juga," jelas Amir.

"Mereka kan punya aturan atau undang-undang sendiri, artinya begitu dia masuk diikat oleh undang-undang. Jadi, kalau ada yang mengatakan bisa dipolitisasi, enggak lah," kata Amir lagi.

Mengenai kerahasiaan informasi, DPR menyisipkan satu pasal yakni Pasal 64A, yang pada intinya setiap perseorangan yang menjabat atau pernah menjabat sebagai anggota Dewan Gubernur BI, pejabat, atau pegawai BI dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi apapun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali dalam rangka pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenangnya berdasarkan keputusan BI atau dijawabkan oleh UU.

Seperti diberitakan sebelumnya, Pasal 47 C Undang-undang tentang Bank Indonesia (BI), entah kenapa, tiba-tiba raib dalam Rancangan Undang-undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan atau RUU P2SK.

Sejak omnibus law disahkan, sektor keuangan ini, dalam jajaran dewan Gubernur BI tak lagi diharamkan diisi oleh pengurus dan/atau anggota partai politik. 

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Indonesia (Core) Mohammad Faisal menilai, penghapusan ketentuan itu akan berimplikasi buruk pada stabilitas moneter dan ekonomi di Tanah Air  nantinya.

Sebab, BI sebagai otoritas moneter tidak lagi bisa independen menjalankan mandatnya menjaga makro ekonomi nasional.

"Jelas implikasinya akan sangat sangat buruk. Karena artinya independensi bank sentral itu sudah bisa diintervensi secara politik," kata Faisal saat dihubungi, Sabtu, 22 Oktober 2022.

Sekalipun anggota dewan gubernur nantinya yang berpolitik itu memiliki kompentensi yang sangat baik secara teknis, Faisal menganggap, politikus akan sangat sulit independen dalam menjalankan tugas-tugasnya.

Sebab, secara individu, dia akan sangat tergantung pada ketentuan-ketentuan dan kepentingan partainya sendiri.

"Bagaimanapun, ada kepentingan politiknya karena berasal dari partai politik, harus patuh terhadap partai. Ini yang berbahaya," ujar Faisal. "Padahal sebagai bank sentral harus independen dari segala kepentingan, baik politik maupun interest pribadi.

Faisal mengingatkan, ada sejarah kelam yang masih tercatat hingga ini bagaimana buruknya kondisi perekonomian bangsa saat BI tidak lagi independen.

Kondisi ini dapat ditelusuri kembali saat masa demokrasi terpimpin, di bawah pemerintahan Presiden Soekarno, atau lebih tepatnya di akhir masa kepemimpinannya.

"Bank sentral saat itu diintervensi pemerintah, terutama pada masa demokrasi terpimpin, oleh Soekarno. Sehingga pada saat itu banyak keputusan atau kebijakan moneter karena di-drive oleh kepentingan dari pemerintah saat itu, dalam hal ini presiden," ujar Faisal.

Pada masa itu, kata Faisal, Indonesia harus menghadapi krisis ekonomi yang sangat buruk dan tergambar dari tingkat inflasi yang mencapai ratusan persen.

Puncaknya terjadi pada tahun 1966, inflasi tembus 635,26 persen yang kemudian sering disebut hiperinflasi.

Hal tersebut akibat tidak terkontrolnya pencetakan uang, lemahnya produksi, hingga anjloknya sentimen terhadap rupiah.

 "Hyperinflation sampai dilakukan juga sanering, dilakukan juga redenominasi rupiah, sehingga membawa sampai ke krisis ekonomi, krisis politik juga akhirnya, sampai melengserkan presiden," tuturnya.

"Nah hal ini yang kita justru ingin hindari, apalagi sudah ada ancaman resesi global juga ke depan."

Di tengah pembahasan ketentuan yang ada dalam RUU P2SK itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo saat di sela-sela pengumuman hasil rapat dewan gubernur bulanan pada Kamis lalu menekankan, Presiden Joko Widodo atau Jokowi hingga kini berkomitmen menjaga independensi BI.

"Bapak presiden sendiri terus menegaskan independensi BI adalah merupakan hal mendasar sebagai salah satu pilar kredibilitas dari kebijakan ekonomi kita. Kebijakan makro ekonomi dan kebijakan di bidang ke bank sentral khususnya mengenai moneter," ujar Perry saat itu.

Sampai kini, dia mengaku, masih terus melakukan koordinasi mendalam terhadap para pemangku kepentingan untuk membahas RUU P2SK, terutama dengan para anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) seperti Menteri Keuangan, Kepala Dewan Komisioner OJK, serta Kepala Dewan Komisioner LPS.

"Mengenai hal ini pada waktunya bersama pemerintah kami akan menyampaikan pandangan-pandangan secara bersama, termasuk berkaitan dengan apa yang diperlukan dalam mereformasi di sektor keuangan untuk terus mendorong ekonomi kita lebih tumbuh menuju Indonesia maju," kata Perry.

Ini Ketentuan Bank Indonesia yang Dihapus

Ketentuan pimpinan Bank Indonesia (BI) tak boleh dijabat oleh anggota partai politik (parpol) dihapus dalam Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPKS).

Sebelumnya ketentuan itu diatur dalam Pasal 47 Ayat (1) huruf c UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Pasal tersebut mengatur tiga larangan untuk pimpinan BI atau Dewan Gubernur BI. “Anggota dewan Gubernur baik sendiri maupun bersama-sama dilarang

(a) mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung pada perusahaan mana pun juga,

(b) merangkap jabatan pada lembaga lain kecuali karena kedudukannya wajib memangku jabatan tersebut,” tulis Pasal 47 Ayat (1) UU Bank Indonesia dikutip Kamis (29/9/2022).“

(c) menjadi pengurus dan atau anggota partai politik,” bunyi ketentuan tersebut.

Namun aturan itu dihapus dalam draf RUU PPKS yang disetujui untuk dibawa ke baleid pada Rapat Paripurna DPR ke-5 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2022-2023, Selasa (20/9/2022).(A.Hanan Jalil)